Hima menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Erlangga.
"Eh, Mba Hima apa kabar?" Tanya Joko sambil mengusap wajahnya yang terkena tetesan air hujan.
"Alhamdulilah baik, Mas Joko."
"Ayo masuk mba, hujannya bertambah deras,"
Hima menatap ke arah Joko, tapi mendadak perhatiannya teralihkan oleh seseorang yang sedang keluar dari mobil yang terparkir di sebrang rumah Erlangga.
'Nurul' Gumam Hima.
Tanpa memperdulikan hujan yang mengucur deras Hima berlari kearah mobil itu, dan berhenti tepat di depan perempuan yang ia panggil dengan sebutan Nurul.
Erlangga dan Joko mematung melihat aksi tak terduga yang dilakukan Hima.
Hima terengah, manik matanya menyusuri setiap jengkal tubuh Nurul yang kini berdiri di hadapannya. Hima menarik nafas panjang melihat Nurul dengan penampilan yang berlawanan dengan apa yang sering ia kenakan dulu. Pakaian minim dan tak lagi berjilbab. Hima menyeka wajahnya yang terkena guyuran hujan, kemudian dengan pelan dia berkata;
"Ibu mu merindukanmu, dia mencarimu kemana-mana, sebaiknya kamu pulang, jangan membuat masalah lagi."
Nurul terkejut, namun kemudian dia tertawa sinis.
"Untuk apa aku pulang? tidak ada gunanya, lagipula aku bukan anak kecil lagi, aku baik-baik saja kan? kamu lihat keadaanku. sehat-sehat sajakan? bahkan aku merasa lebih baik sekarang!."
"Badanmu sehat, tapi otak mu mulai tidak waras,"
"Aku tidak bisa pulang sekarang."
"Demi Allah, Rul. kasihanilah Ibumu. Lupakan semua yang sudah terjadi."
"Allah?! Demi Allah? kenapa harus demi Dia?Tanyakan pada Allah, Him! Kenapa Dia membuat hidupku hancur padahal aku sudah menyembahnya menjalankan semua perintahnya? Mana bukti kalau Allah itu Maha pengasih dan penyayang pada hambanya."
"Astagfirullahaladzim, kamu benar-benar sudah tidak waras, kata-katamu tidak mencerminkan orang yang beragama. bahkan orang gila dijalanan lebih tinggi derajatnya dari orang seperti dirimu yang tahu agama dan bewawasan luas tapi melupakan kebesaran Tuhannya. Kaulah orang gila sesungguhnya."
Erlangga baru tersadar jika Hima tak membawa payung, tubuhnya sudah bayah kuyup terkena guyuran hujan. Erlangga masuk kedalam rumah dan segera keluar sambil membawa payung dan sebuah jaket. Joko ternganga melihat sahabatnya berlari sambil membawa payung di bawah guyuran hujan. Tepat ketiaka Erlangga sampai, Nurul kembali masuk ke dalam mobil dan segera melajukan mobilnya.
Hima menekuk lutut dengan pandangan yang terarah pada mobil yang dikendarai Nurul. Rasa dingin di tubuhnya tak lagi ia rasakan, tubuhnya bergetar dan isakan terdengar lirih tersamarkan oleh gemuruh hujan. Lama Hima terdiam menundukkan kepalanya dalam-dalam hingga tak ia sadari tubuhnya tak lagi terkena guyuran, dia menoleh ke samping kemudian menengadahkan wajahnya, dilihatnya Erlangga yang tersenyum kepadanya, Hima membalas dengan senyum getir.
"Semakin lama kamu berdiam disini, aku yakin kamu tidak akan bisa bangun esok hari, atau lebih parahnya kau akan masuk rumah sakit karena demam tinggi."
Lagi, Hima tersenyum dan perlahan mulai bangkit dan berdiri sejajar dengan Erlangga.
"Maaf aku merepotkanmu lagi."
"Ayo kita masuk ke rumah, maka aku akan memaaf kanmu."
Hima mengangguk pelan.
"Pakai ini, pakaianmu basah."
Hima meraih jaket yang disodorkan kepadanya, tak ada pilihan lain kecuali memakai jaket itu untuk menutupi lekuk tubuhnya yang basah terkena air hujan.
Sampai diteras langkah Hima terhenti, Erlangga spontan menatapnya.
"Ayo masuk, ada Joko juga didalam."
"Basah. Disini saja."
"Udah, masuk . . .!"
Hima tak enak hati karena tetesan air mengucur terus dari pakaiannya hingga membasahi lantai yang ia pijak. Joko berlari ke pintu dan memberikan handuk pada Erlangga dan Hima.
Joko masuk kembali kedapur untuk mengambil teh panas yang sudah ia buat kemudian menyuguhkannya ke ruang tamu.
Hima duduk di kursi kayu yang tak jauh dari pintu, Erlangga dan Joko duduk di sofa ruang tamu sambil menyesap teh mereka.
"Maafkan saya,"
"Minum tehnya dulu, biar ga masuk angin." Ucap Erlangga.
Hima patuh kemudian menyesap tehnya perlahan.
"Maaf kalau boleh tahu, mbak Hima kenal dengan istrinya Mas Irfan?" Tanya Joko.
"Istri?" Tanya Hima sedikit terkejut.
"Iya, setahu ku dia memang istrinya Mas Irfan yang tinggal disebrang ruamahku itu, walau mereka sepertinya jarang pulang ke ruamah itu."
Hima menunduk setelah mendengarkan apa yang dikatakan Erlangga. Hima tidak menyangka bahwa sahabatnya akan bertindak sejauh ini, pergi dari rumah dan menikah secara diam-diam, bahkan dia sangat yakin jika ibunya tak mengetahui perihal pernikahannya.
Hening, tak ada satupun dari mereka yang mengeluarkan suara, Erlangga dan Joko hanya saling menatap karena tak mengerti dengan permasalahan antara Hima dan Nurul.
-----------------------
"Perempuan seperti apa yang menjadi kekasihmu? kenapa kamu ga bilang dari dulu kalo kamu sudah punya kekasih? jadi bapak ndak jodohin kamu sama Hima, sekarang gimana bapak harus menyampaikan ini pada sahabat bapak?"
"Maafkan Farhan, Pak. Tapi saya dan Hima sudah sepakat untuk tidak melanjutkan perjodohan ini."
"Bawa dulu kekasihmu kemari, bapak mau tahu, kalau memang dia gadis baik, bapak akan mempertimbangkannya."
"Injih, pak. Saya akan menyuruhnya datang kemari."
"Ya sudah, Bapak mau istirahat dulu."
"Injih, Pak."
Farhan menyandarkan punggungnya dikursi rotan, hatinya semakin berdebar mengingat perkataan bapaknya. Bagaimana jika bapaknya bertemu dengan Pricilia yang keturunan Tionghoa? Farhan mendesah berat, mengingat dia tidak menyampaikan pada bapaknya, jika Pricilia adalah nonmuslim?
Farhan tak mengetahui jauh disana Pricilia sedang merasakan kesakitan diseluruh tubuhnya, ayahnya yang seorang kristiani yang selalu terpaut dengan gereja kini tengah murka karena anak perempuannya yang selama ini ia kenal sebagai pribadi yang dekat dengan tuhan dan menjadi aktifis gereja justru berpaling dari agama yang selama ini di anutnya.
Pricilia secara berani dan terang-terangan mengaku bahwa dia kini menjadi seorang mualaf, dengan tega ayahnya mengusir Pricilia dari rumah dan mencoret namanya dari daftar keluarga.
Pricilia keluar dari rumah, menyeret koper berwarna hitam dengan langkah tertahan, terkadang dia menoleh kebelakang, menatap gerbang khas tionghoa yang kini tertutup rapat.
"Ya Allah, kuat kan hati hamba, dan tunjukkanlah kemana kaki hamba harus melangkah."
Disaat kegetiran melanda hatinya, hanya satu yang ia harapkan akan ada disisinya, Farhan . . . laki-laki yang sangat ia cintai, ayah dari bayi yang kini tengah ia kandung. Dan apa yang dia harapkan terkabul tatkala dia menerima pesan dari Farhan untuk menyusulnya ke Yogyakarta. Dengan berucap hamdalah dia melangkah dengan langkah penuh keyakinan, menuju stasiun dan berangkat ke Yogyakarta.