Lea masuk kedalam restoran dengan terburu buru, rambutnya basah karena diluar hujan. Ia segera berlari kedalam ruang ganti dan mengganti pakaiannya, diikatnya rambut panjang itu lalu ia bergegas kearea dapur.
Ia memeriksa beberapa pesanan yang masih belum dibuat, tangannya dengan cepat meraih bahan makanan dan membantu paman yang sedang sedikit kesusahan. Sesekali ia mengusap keringatnya didahi, serta membenarkan ikatan rambutnya.
"Bukannya ini pekan ujian?" Tanya paman.
Lea mengangguk.
"Pulang saja, belajar yang benar minggu ini" ucap paman saat melihat Lea bolak balik kedapur untuk mengambil makanan yang sudah siap disajikan.
Lea mengabaikan ucapan paman, ia bergegas kearah meja kasir saat seseorang berdiri untuk membayar. Senyumannya lebar sembari menyapa lalu berterima kasih saat pelanggan tersebut pergi.
"Paman, kurasa Kayla tidak datang hari ini" ucapnya.
"Paman menyuruhnya pulang, agar bisa belajar. Bukankah pekan ujian penting untuk kalian?" Tanya pamannya.
Lea mengangguk, "Tapi aku lebih suka disini daripada duduk belajar, paman tau aku sudah cukup pintar bukan? Pekan ujian tak ada apa apanya dibanding olimpiade tahun lalu" lanjut Lea.
Pamannya keluar dari dapur sembari menarik tangan Lea, "Pulanglah dan kembali minggu depan, hasil ujianmu harus bagus supaya Ibu dan Ayah bangga. Paman juga akan ikut bangga kalau hasil ujianmu bagus"
Melihat ketulusan yang dibalut paksaan itu hanya membuat Lea tersenyum, ia mengangguk dan segera mengganti pakaian setelah menyelesaikan pesanan terakhir. Saat sebelum keluar restoran, matanya tertuju pada dua orang yang sedang berbincang bincang disudut restoran sembari memilih milih menu.
Perempuan itu menghampiri Nata dan Alvin yang belum menyadari bahwa Lea ada disana.
"Akhirnya kita bertemu disini" sapa Lea menghampiri meja Nata.
Laki laki itu sedikit terkejut melihat Lea berdiri disana, sedangkan Alvin yang sudah mengenali suaranya bahkan sama sekali tak menoleh karena masih kesal dengan kejadian beberapa hari lalu.
"Hey, apa kabar?" Tanya Nata.
Lea menggangguk, "baik, sepertinya suasana hatimu sudah membaik"
"Aku pasti akan datang lagi ke bar" ucap Nata.
Alvin sedikit terheran heran dengan tingkah Nata yang berubah saat berbicara dengan perempuan yang membuatnya kesal itu. Bahkan hanya mendengar suaranya saja ia sudah kesal setengah mati, beberapa kali ia menekan tombol pulpen dengan cepat menandakan ketidaknyamanannya.
"Aku tidak boleh menyapanya, apalagi menanyai tentang nomor telponnya. Dia tak boleh tau aku pernah mencoba menelponnya" pikir Alvin.
Alvin terus memasang wajah kesal, sedangkan Nata justru asik berbincang dengan Lea yang biasa saja. Seolah olah ia tak melakukan kesalahan apapun. Meski begitu, Alvin yang penasaran tetap mendengarkan pembicaraan antara Lea dan Nata. Setelah mereka selesai, Lea berpamitan dan pergi keluar dari restoran.
"Kalian saling kenal?" tanya Alvin penasaran.
"Kami berkenalan di bar, ternyata dia asik diajak bicara" jelas Nata.
"Hah? Asik? Gue rasa dia ga seasik itu" lanjut Alvin kesal.
Nata sedikit keheranan, ia memperhatikan wajah Alvin yang begitu kesal.
"Lo ditolak sama dia berarti, hahahah" Nata tertawa terbahak bahak.
"Sial" umpat Alvin.
"Kenapa emang?" Tanya Nata.
"Beberapa hari lalu, gue sengaja minta nomor telpon dia karena penasaran. Terus lo tau apa?" Cerita Alvin.
"Hhhm?"
"Nomor telpon yang dia kasih, itu nomor telpon pijat plus plus. Gila kan?" Kali ini Alvin bercerita dengan nada kesalnya.
Nata tertawa keras sampai orang orang memperhatikannya, ia tak bisa berhenti tertawa.
"Hahahaha, terus?"
"Ya gue ga akan pernah nanya lagi soal nomor telponnya, gue ga akan pernah bahas ini didepannya. Supaya dia tau kalau gue sama sekali ga tertarik sama dia dan ga pernah menghubungi dia" lanjut Alvin.
Nata mengangguk, kali ini dia menyingkirkan gelasnya agar tak menghalangi pandangannya pada Alvin. Ia terus memperhatikan wajah Alvin, mencoba membuka pembicaraan serius.
"Lo tau kan julukan Lea dikampus?" Tanya Nata.
Alvin mengangguk, "Dewi?"
Kali ini Nata yang mengangguk, "lo bayangin, semua rumor itu terus beredar bahkan di tahun pertama. Banyak orang yang bergosip tentang dia. Waktu itu juga kita ada bersama Joy bukan?"
"Hhhmm"
"Sekarang bayangin, dengan pamor sejelek itu. Bukannya memang udah pantes dia untuk lebih hati hati meski hanya sekedar nomor telpon?"
"Gue tetep ga setuju sih kalau itu disebut sebagai hati hati, itu jelas jelas penipuan. Dia pikir gue bodoh!"
Nata menggeleng, "Mungkin dia berpikir kalau lo adalah penipunya. Laki laki yang tiba tiba minta nomor ponsel dia, apalagi kalau bukan mau manfaatin dia karena rumor yang ada di kampus?"
"Sejujurnya buat gue itu alasan"
"No, mungkin bukan cuma lo satu satunya cowo yang diperlakukan begini"
Alvin terdiam.
"Kalau lo terus menolak argumen gue, itu karena lo hanya menerima pendapat lo aja. Dan ucapan gue ga berarti apa apa disini, lo bebas berpikir soal apapun. Gue ga peduli juga"
Kali ini, Alvin tak tinggal diam. Dia segera membereskan barang barangnya diatas meja dan dimasukkan ke tas.
"Gue balik duluan ya" pamit Alvin.
Nata mengangguk, ia melihat Alvin menghilang dari kejauhan. Laki laki itu tersenyum tipis, ada sedikit rasa getir pada perasaannya. Ia senang bisa bertemu Lea, sejak hari itu ia memutuskan untuk ingin membuka hatinya pada Lea dan terus mencari tau soal Lea, bahkan sampai ia tau bahwa Lea bekerja direstoran ini dan mencoba mendatanginya.
Namun hatinya gentar saat melihat reaksi Alvin pada perempuan itu, ia tak bisa menolak untuk menyadari bahwa Alvin juga tertarik pada Lea dari cara matanya melihat perempuan itu. Bahkan sejak Lea masuk kedalam restoran. Meski terlihat kesal, Alvin terlalu sering memperhatikan perempuan itu sampai tak fokus berbicara dengannya.
"Mungkin dia bukan perempuan yang tepat" pikir Nata menyerah.
Ia kembali membuka laptopnya dan mulai berlatih untuk ujian besok.
***
Lea sedikit menyesal karena menuruti ucapan paman dan bergegas pulang meski restoran masih ramai, padahal ia masih ingin berada disana.
Pulang kerumah bukan solusi baginya, karena terkadang ia harus bertemu dengan ayah tirinya yang selalu mampir saat jam makan siang.
Kali ini Lea berjalan kaki tanpa arah, dijalanan yang basah karena hujan. Ia menunduk sembari melihat lihat tempat yang ingin ia kunjungi untuk membuang waktu.
"Pantai!" Tiba tiba ide gila itu terlintas dipikirannya.
Area pantai memang tak jauh dari sana, hanya butuh waktu sekitar satu jam setengah menggunakan bus. Matanya berbinar saat memikirkan ide gila itu, ia tersenyum lebar mengingat ia masih punya baju cadangan didalam tas.
Langkah kakinya mulai membesar, sesekali ia melompat karena senang. Lea bersenandung keras karena suasana hatinya berubah menjadi senang.
Tinnnnnn! Tinnnnn!
"Hahhhhhh?" Teriak Lea terkejut saat sebuah mobil membunyikan klakson tepat dibelakangnya.
Perempuan itu membalikkan tubuh, kedua tangannya bertolak pinggang dan ia mengerutkan dahi untuk memberitahu bahwa ia sedang akan marah.
Tiba tiba, Alvin membuka kaca mobil. Ia tersenyum pada Lea. Lea yang merasa canggung juga tersenyum melihat pria itu. Seketika keheningan muncul diantara mereka yang saling tersenyum tanpa mengucapkan apapun.
Sebelah alis Lea naik keatas, mempertanyakan keberadaan Alvin dengan mobilnya. Namun Alvin juga tersenyum dengan bola mata yang bergerak kekanan dan kekiri. Lea menghela nafasnya karena tak sabar dengan maksud Alvin.
"Ada apa?" Tanya Lea kehilangan kesabaran.
"Kamu akan pergi kemana?" Alvin bertanya balik.
Lea yang enggan menjawab memutar matanya, "kesuatu tempat yang menyenangkan" jawabnya.
"Apa ada tempat yang begitu?" Tanya Alvin lagi.
"Setidaknya, saat ini menyenangkan dipikiranku. Tolong jangan hancurkan itu" Singkat Lea.
Alvin tersenyum canggung, "boleh aku ikut?" Tanyanya memberanikan diri.