webnovel

#2 Kang Sugi

Kang Sugi adalah anak satu-satunya dari Mamak Mun. Jadi ibuku punya lima saudara kandung, dan dua saudara tiri. Mamak Mun adalah anak nomer tiga, ibuku anak nomer empat. Jadi, antara ibuku dan Mamak Mun lumayan akrab karena jarak usianya hanya terpaut tiga tahun saja.

Ibuku adalah seorang PNS guru SD di desa sebelah. Jadi, sejak usia tiga bulan, aku sudah sering diasuh Mamak Mun karena ditinggal ibu bekerja. Mamak Mun tentu sangat senang mengasuhku, karena beliau, kata Ibu, memang mengidam-idamkan anak perempuan, tapi tak kunjung hamil lagi.

Jadilah, meskipun kami sepupu, Kang Sugi sudah seperti kakanganku sendiri, sudah seperti kakak kandung. Dia dibelikan mainan apa, aku juga dibelikan. Dia makan apa, aku juga makan itu. Itu berlangsung hingga aku SMP. Dan di sinilah mulai terjadi perbedaan kami, aku lanjut hingga SMA, tapi Kang Sugi tidak. Mamak Mun masih orang yang berpikiran kolot, untuk apa sekolah toh akhirnya ke sawah juga.

Tapi Kang Sugi, meskipun bandel dan jarang mengerjakan PR, dia anak yang pintar. Begitu saja dia sudah rangking sepuluh dari dua puluh anak. Apalagi kalau dia rajin, bisa-bisa rangking tiga kan dia.

Kang Sugi selalu menjagaku sejak aku kecil. Dulu, waktu kami masih SD, aku kelas satu, dia kelas empat. Tidak ada anak laki-laki yang berani mengusiliku karena semua pada tahu, aku adik Sugi. Aku bangga punya kakangan dia. Dia suka bertengkar, gelut, memukul, tapi dia tidak pernah mengusili anak perempuan. Bahkan kalau sedang beli jajan di warung dekat sekolah, dia mendahulukan anak perempuan. Ini yang membuatku bangga meskipun dia sering bolos.

Pernah sewaktu pulang sekolah, saat kami masih SD. Hujan lumayan deras waktu itu. Mamak Mun lupa tak menjemput kami menggunakan payung, akhirnya kami pulang hujan-hujanan jalan kaki. Aku yang selalu dilarang main hujan oleh Bapak sangat senang sekali, ini kesempatan. Kami bernyanyi sambil menari sepanjang perjalanan pulang. Kami bahkan mampir rumah teman untuk memanjat pohon jambu biji. Baju seragam kotor semua. Mamak Mun kebingungan karena kami tak kunjung pulang dan pulang sudah larut sore. Tentu saja Bapakku murga mengetahui itu. Aku dihukum dikunci di kamar hingga malam, malamnya badanku demam. Meskipun begitu, itu pengalaman yang tak terlupakan hingga aku besar.

"Kenapa Kakang tidak sekolah terus seperti Dhila?"

Saat itu aku mulai masuk SMP, Kang Sugi sudah lulus SMP dan tidak melanjutkan sekolah lagi. Kegiatannya sehari-hari membantu Mamak Mun menyemai benih, menyirami tanaman, menabur pupuk, mencabuti rumput dan lainnya. Aku sebenarnya bertanya begitu karena ingin ikut Kang Sugi kemana pun dia. Tapi Bapak dan Ibuku marah jika aku tak pergi sekolah.

"Nanti siapa yang jaga Dhila kalau ada anak laki-laki yang usil?" Aku masih merajuk, tidak mau berangkat sekolah. Dengan jurus andalan tanpa ba bi bu, langsung saja Bapakku menjewer telingaku. Pecahlah tangisanku. Kang Sugi kasihan melihatku, dia mendekatiku yang tergugu di kursi.

"Kakang itu bekerja agar dapat uang. Nanti kita pergi pasar malam kalau Kakak sudah punya uang. Laki-laki itu tugasnya mencari uang. Kamu jangan nangis, nanti Kakang jadi ikut sedih dan tidak semangat bekerja."

Dia merangkulku, dan menghapus air mata di pipiku dengan tangannya. Aku mengangguk menurut. Dan segera bersiap berangkat sekolah. Itu adalah kenangan paling membekas di antara banyak kenangan kami.

Namun batas keakraban kami berhenti sampai di sana. Setelah aku sibuk sekolah, Kang Sugi sibuk ke sawah, kami tak punya banyak waktu untuk bersama. Apalagi setelah aku memutuskan untuk kuliah PGSD di luar kota, kami semakin jauh. Kami hanya bertemu sesekali ketika aku pulang. Itupun seperti hanya berbasa-basi.

Kang Sugi meskipun dia petani, setiap hari ke sawah terpapar sinar matahari, namun ia tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan gagah. Cukup terlihat dari garis wajahnya yang tegas. Postur badannya tinggi besar, pantas sekali jika jadi polisi atau tentara. Selain itu, kulit aslinya memang putih, jadi sekalipun terpapar sinar mata hari, dia hanya terlihat cokelat, bukan hitam legam. Dan yang paling penting, dia tetap menjadi Kang Sugi yang pemberani dan menghormati perempuan.

Dulu, waktu kami masih kecil, kami hampir selalu mengobrol. Saat makan mengobrol, bermain mengobrol, mandi dengan kamar mandi bersebelahan pun sambil mengobrol. Kadang setelah sholat jamaah di masjid, yang lain masih dzikir kami sudah mengobrol sampai kena marah para orangtua.

Sekarang, ketika sudah dewasa, kami sudah lama tak mengobrol panjang. Tapi tiba-tiba suatu hari. Saat aku pulang kampung saat libur semester. Tiba-tiba Kang Sugi mencariku. Benar-benar niat mencariku seperti ada perlu. Rumah kami bersebelahan terpisah pekarangan yang cukup luas, dan aku tidak suka keluar rumah kalau tidak ada urusan.

"Mana Dhila, Lek?" Aku mendengar suara Kang Sugi bertanya pada ibuku dari kamar.

"Di kamar, ada apa tumben mencari Dhila?"

Kudengar Kang Sugi hanya tertawa kecil tidak menjawab pertanyaan Ibuku. Setelah itu, aku yang awalnya rebahan di kasur segera bangun, Kang Sugi datang mengetuk pintu kamarku.

"Dhil." Panggilnya sambil mengetuk pintu.

"Masuk, Kang." Jawabku.

Kang Sugi lalu masuk, duduk di kursi dekat meja belajar. Dia berdandan lumayan necis. Pakai kaos dan celana jeans. Kalau pagi boleh pakai baju rombeng untuk ke sawah, tapi kalau sore dia jalan-jalan dandanannya gaul naik motor Honda CBR.

"Lama Dhil di rumah?" Itu kalimat yang keluar dari mulutnya. Aku merasa aneh dengan basa basi itu. Dia sudah tahu kalau aku di rumah hanya tiga hari, Jumat Sabtu Minggu.

"Besok sudah balik ke Malang. Ada apa?"

"Enggak pengen tanya aja. Gimana kuliahnya?"

Pertanyaan selanjutnya membuatku tertawa kecil. Ada apa dengan kakanganku itu, dia tidak biasanya seperti ini.

"Lancar, Kang. Kenapa kah tanya begitu? Mau nyangoni to?" Kataku sambil terkekeh.

"Alhamdulillah, Kakang ikut senang."

Dan anehnya, dia tak terseret dengan bercandaan ku, dia tetap serius.

"Kamu kira-kira lulusnya kapan?"

"Emmm tahun depan kalau tepat waktu. Doakan ya." Akhirnya aku ikut saja alur seriusnya. Tapi setelah itu dia hanya diam, mungkin mengatur kata-kata. Aku benar-benar merasa ada yang dia sembunyikan.

"Dhil, kamu masih temenan dengan Ayuk?"

"Ayuk?"

"Iya, Sri Rahayu anak Pak Lurah."

"Masih, Kang. Ada apa?"

"Dia sudah punya pacar belum?"

"Setau Dhila sih belum, Ndak tahu lagi kalau memang diam-diam punya pacar."

Akhirnya aku tahu inti dari kedatangan Kabg Sugi yang tidak biasa di kamarku. Makanya tumben sekali dia sengaja niat mencariku, apalagi dengan acara basa-basi terlebih dahulu. Oh jadi dia ingin menanyakan Sri Rahayu, temanku.

"Ada apa Kang kok nanyain Ayuk? Kakang ngesir dia?"

Kang Sugi hanya senyam senyum plingkar plingkur. Sejak itulah aku tahu jawabannya. Kakanganku menyukai teman sekelas ku waktu SD dulu. Dan sejak saat itu juga, ia sering sekali mencariku ketika aku pulang kampung. Ya, hanya untuk menanyakan dan mencari kabar tentang Sri Rahayu.