Seminggu setelah kejadian malam itu, di mana Daniel bertemu kembali dengan mantan istrinya, Somi, yang telah menikah dengan seorang pemuda bernama Bae Jinyoung, kehidupan Daniel terasa semakin berat. Somi tak tampak sedikit pun menyesali keputusannya meninggalkan Daniel, dan pertemuan mereka yang penuh tensi menyisakan luka yang belum sembuh.
Pagi itu, Valerie berdiri di dapur seperti biasa. Mengenakan celemek putih yang selalu ia kenakan setiap pagi, ia sibuk menyiapkan sarapan dengan senyum hangat yang selalu Daniel lihat setiap hari. Diana duduk di meja, menunggu dengan sabar hingga makanan siap. Suasana tampak normal dan tenang, tapi Daniel bisa merasakan ada yang berbeda. Keheningan di pagi itu tidak seperti biasanya, ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka.
Valerie tak sekalipun menatap Daniel. Bahkan sekadar melirik, ia tidak. Setiap kali Daniel mencoba menangkap pandangannya, Valerie mengalihkan mata, seolah keberadaan Daniel tak berarti. Senyum hangat itu masih menghiasi wajahnya, namun ada jarak yang tak kasat mata di antara mereka. Jarak yang tak pernah ada sebelumnya.
"Kak Valey, Nana berangkat dulu ya! Dah, Kak!" seru Diana ceria setelah menyelesaikan sarapannya, berlari keluar rumah.
Valerie mengangguk dan tersenyum lembut, mengantar Diana dengan tatapan penuh kasih. Tapi begitu pintu tertutup, meninggalkan mereka berdua di ruangan itu, atmosfer berubah. Senyum Valerie masih ada di wajahnya, tapi di balik senyum itu, tak ada sinar kebahagiaan. Pandangannya tertuju ke meja, tangannya sibuk merapikan sisa-sisa sarapan, seolah-olah tugas itu jauh lebih penting daripada harus berbicara dengan Daniel.
Daniel memandangi Valerie, merasakan ada sesuatu yang keliru. Meski tampak ramah, ada dingin yang terpendam dalam setiap gerakannya. Seolah-olah Valerie mengatakan bahwa tak ada lagi yang perlu dibicarakan, bahwa apa yang terjadi seminggu lalu hanyalah mimpi buruk yang tak perlu diungkit lagi. Namun, Daniel tahu itu tidak benar. Ada luka yang menganga di antara mereka—luka yang dibiarkan terbuka dan memburuk tanpa ada yang berani membicarakannya.
Dalam keheningan itu, pikiran Daniel terus berputar. Valerie mungkin bertanya-tanya, seperti halnya Daniel, mengapa Somi lebih memilih meninggalkannya bersama anak mereka, Diana, dan menikah dengan pemuda seperti Bae Jinyoung. Valerie tahu dengan sangat baik, dulu keluarga mereka adalah gambaran sempurna keluarga yang harmonis. Namun, itu hanyalah kenangan yang sekarang terasa seperti fatamorgana.
Valerie juga sangat sadar bahwa Daniel belum bisa melepaskan Somi dari pikirannya. Itu adalah kenyataan yang pahit—kenyataan bahwa Valerie tak akan pernah bisa menggantikan Somi di hati Daniel, betapapun ia berusaha. Ia melihat sisa-sisa cinta yang belum padam di hati Daniel untuk mantan istrinya itu.
Tanpa sepatah kata, Daniel meraih kunci mobil yang tergeletak di meja. Dengan langkah berat, ia meninggalkan rumah, meninggalkan Valerie sendirian di dapur, masih dengan senyum kosong yang tetap terpatri di wajahnya. Valerie berdiri diam di sana, sendirian, memandangi punggung Daniel yang semakin menjauh, merasakan dinginnya jarak di antara mereka yang semakin melebar. Valerie tahu, luka ini mungkin tak akan pernah sembuh sepenuhnya. Namun, yang lebih menyakitkan adalah menyadari bahwa dirinya hanya menjadi bayangan bagi Daniel, bayangan yang selalu kalah oleh sosok Somi di hatinya.
---
Esoknya, jarak antara Valerie dan Daniel semakin jelas terasa. Valerie lebih banyak diam, sementara Daniel tampak tidak peduli. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah ocehan ceria dari Diana, yang tampaknya tak menyadari ketegangan di antara mereka.
"Kak Valey!" teriak Diana dengan suaranya yang cempreng, menggema di ruang dapur. Valerie, yang sedang mencuci piring setelah sarapan, sedikit terkejut mendengarnya.
"Kak Valey! Kak Valey!" Diana terus memanggil sambil menarik apron yang dikenakan Valerie.
Valerie menghentikan keran air dan mengelap tangannya di apron. Ia menunduk, menyamakan tingginya dengan Diana, dan tersenyum lembut. "Ada apa, Diana?"
"Ayo, Kak! Kita ke pantai!" seru Diana penuh semangat. Rupanya, gadis kecil itu sudah merencanakan semuanya sejak sarapan. Dia ingin menghabiskan waktu bersama ayahnya dan Valerie, seolah mengerti bahwa ada sesuatu yang berbeda sejak malam itu. Diana tampaknya berusaha menghilangkan kecanggungan yang terasa di rumah mereka.
Setelah beberapa persiapan, mereka pun berangkat menuju pantai. Namun, perjalanan tak berjalan mulus. Mobil mereka terjebak dalam kemacetan di jalan tol. Diana yang awalnya sangat bersemangat kini terlelap di pangkuan Valerie, lelah menunggu. Valerie duduk di kursi belakang bersama Diana, sementara Daniel mengemudi dalam diam.
Setelah sekian lama terjebak macet, mereka akhirnya keluar dari tol, tapi mendung sudah menggantung di langit. Ketika mereka sampai di pantai, hujan deras mulai turun.
"Apakah kita sudah sampai?" tanya Diana, terbangun dengan mata yang masih mengantuk.
"Kita sudah sampai, tapi sekarang sedang hujan," jawab Valerie, mengelus lembut kepala Diana.
"Hujan?" Diana mengintip keluar jendela, melihat derasnya hujan yang mengguyur pantai. Wajahnya berubah sedih, semangatnya memudar. "Kenapa hujan? Nana ingin membuat istana pasir dengan Daddy dan Kak Valey..."
Melihat putrinya hampir menangis, Daniel tak tahan lagi dan akhirnya berbicara, mencoba menghibur. "Nana, bagaimana kalau kita keluar dan bermain air?" katanya lembut, berharap bisa mengembalikan senyum di wajah gadis kecil itu.
Diana menatap ayahnya dengan bingung, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Boleh, Dad? Hujan-hujanan?" tanyanya ragu, tetapi matanya mulai berbinar, tanda bahwa semangatnya kembali muncul.
"Tentu saja. Ayo, kita keluar!" seru Daniel dengan semangat yang tulus. Melihat kegembiraan ayahnya, senyum kecil mulai menghiasi wajah Diana lagi. Daniel tahu, momen seperti ini sangat langka. Kesibukannya selama ini membuatnya jarang memiliki waktu untuk bermain dengan Diana, dan dia tak ingin gadis kecilnya merasa sedih lagi.
Tanpa ragu, Diana segera membuka pintu mobil, membiarkan angin dingin serta tetesan hujan menerpa tubuh mungilnya. Tawa kecil keluar dari mulutnya ketika hujan menyentuh kulitnya. Daniel sudah turun lebih dulu. Ia melepas kaos yang dikenakannya, membiarkan tubuh atletisnya terlihat jelas di bawah siraman hujan. Valerie, yang masih duduk di dalam mobil, terkejut melihat pemandangan itu. Pipinya memerah seketika, tak mampu mengalihkan pandangan dari Daniel yang tampak begitu alami di bawah hujan. Sementara itu, Diana tak menunggu lama. Setelah keluar dari mobil, dia langsung berlari-lari kecil di bawah hujan, berputar-putar dengan penuh kegembiraan. Daniel segera menyusul, ikut bermain dengan putrinya. Tawa mereka bercampur dengan suara hujan yang deras, memenuhi udara yang dingin dengan keceriaan.
Valerie, yang masih duduk di dalam mobil, tak bisa menahan senyum. Melihat Daniel dan Diana bermain bersama seperti itu, ada perasaan hangat yang perlahan tumbuh di hatinya. Meskipun ada jarak di antara mereka, melihat kebahagiaan Diana dan perhatian Daniel pada putrinya membuatnya merasa sedikit tenang. Mereka berdua tampak begitu dekat, seolah-olah hujan yang turun tak hanya membasahi tubuh mereka, tetapi juga mencairkan jarak yang ada.
"Kak Valey! Ayo keluar, kita bermain bersama!" seru Diana, lalu dengan semangat menarik tangan Valerie keluar dari mobil. Meski awalnya ingin menolak, Valerie tak bisa melawan kekuatan tangan kecil itu. Hujan langsung mengguyur tubuhnya, membasahi kaos putih dan celana pendek yang ia pakai, membuat baju dalamnya sedikit terlihat. Melihat itu, Daniel langsung membuang muka, berusaha menahan diri.
"Daddy, Kak Valey, ayo main air!" Diana tak berhenti berseru, menggenggam erat tangan Daniel dan Valerie, seolah ingin menyatukan mereka dalam kegembiraan.
Mereka bertiga berlari menuju pantai, membiarkan hujan membasahi tubuh mereka tanpa mempedulikan apa pun. Valerie, yang biasanya lebih tenang, tertular kebahagiaan Diana. Ia tersenyum, merasa sedikit lega melihat gadis kecil itu tertawa bahagia. Selama satu jam penuh, mereka bermain di bawah hujan, menikmati setiap momen seolah-olah semua ketegangan di antara mereka menghilang.
Setelah hujan mereda, matahari kembali bersinar, menghangatkan pantai yang sebelumnya basah kuyup. Sesuai keinginan Diana, mereka mulai membangun istana pasir. Valerie dan Daniel membantu Diana membentuk menara-menara kecil, sementara Diana tertawa ceria. Di tengah permainan mereka, Valerie menyadari sesuatu. Gadis kecil itu sepertinya berharap bahwa liburan ini bisa memperbaiki hubungan di antara mereka. Meski luka hati Valerie dan Daniel belum sepenuhnya sembuh, momen-momen sederhana seperti ini memberi harapan kecil bahwa mungkin saja, suatu hari, semuanya akan membaik.
---- To Be Continued ----
Aku terinspirasi dari lagu Billie Eilish yang berjudul Bored, karena makna dari judul ini sangat menggambarkan tentang hubungan Valerie dan Daniel. Lagu ini menunjukkan hubungan dengan seseorang yang tidak sopan dan tidak peduli dengan perasaan atau kebutuhan orang lain. Billie mencoba untuk mengubah mereka, tapi usahanya sia-sia.