Pagi itu, suasana rumah terasa hening meski di dapur, Valerie sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarga barunya. Setelah menghidangkan makanan dengan rapi di meja makan, dia melirik jam dan heran, tak satu pun anggota keluarga yang turun dari kamar. Merasa ada yang ganjil, Valerie memutuskan untuk naik ke lantai atas. Di tangga, ia berpapasan dengan Diana, putri kecil Daniel, yang sudah siap dengan seragam sekolah dan tas pink menggemaskan di punggungnya.
"Kak Valey, bisa kepangin rambutku nggak?" tanya Diana dengan senyum ceria. Valerie mengangguk tanpa ragu, dan Diana dengan antusias menarik tangannya menuju kamar. Ada kehangatan dalam setiap sentuhan ketika Valerie mengepang rambut gadis kecil itu, seakan kehadirannya membawa keakraban yang Diana rindukan.
Di sisi lain rumah, Daniel masih terlelap dalam mimpinya. Ponselnya berbunyi, membangunkannya dengan sedikit tersentak. Saat melihat jam yang sudah hampir pukul tujuh, panik merambat di tubuhnya. Ia bergegas mandi dan bersiap-siap, lalu buru-buru turun ke bawah tanpa sempat memasang sepatunya dengan benar. Namun langkahnya terhenti saat melihat pemandangan yang tak terduga: Valerie duduk di pinggir tempat tidur, memangku Diana, dengan tangan lembutnya mengepang rambut gadis kecil itu. Diana tampak begitu menikmati sentuhan lembut Valerie, seolah dia telah menemukan sosok ibu yang selalu ia dambakan.
Perasaan campur aduk menyelimuti hati Daniel. Di satu sisi, ia bahagia melihat putrinya mendapatkan perhatian dan kasih sayang seperti ini, sesuatu yang tak pernah diberikan oleh ibu kandung Diana. Namun, di sisi lain, ada luka lama yang tiba-tiba menguak, membawa rasa sedih yang tak mampu ia elakkan. Bayangan mantan istrinya, Diana yang kecil dan rentan, semua bercampur menjadi satu, menyisakan perasaan pahit di tenggorokannya.
"Daddy!" teriak Diana tiba-tiba, membuyarkan lamunan Daniel. Ia segera bangkit dari pangkuan Valerie dan berlari menghampiri ayahnya dengan wajah berseri-seri. "Daddy, lihat! Kak Valey masak sarapan buat kita!" ucapnya girang, seraya menarik tangan ayahnya untuk ikut ke meja makan.
Valerie hanya tersenyum kecil melihat kegembiraan Diana. Dia merasa lega melihat hubungan mereka yang hangat dan penuh cinta. Tak lama kemudian, mereka semua duduk di meja makan. Diana tampak menikmati setiap suapan makanan yang Valerie siapkan. "Ayam goreng Kak Valey enak banget!" puji Diana dengan mata berbinar, menikmati sarapan pagi itu.
"Benarkah? Terima kasih, Diana," jawab Valerie dengan sedikit malu, namun bahagia melihat Diana begitu antusias.
Semua tampak berjalan normal hingga tiba-tiba Diana berkata pelan, namun jelas terdengar oleh semua orang di meja, "Coba Mama seperti Kak Valey, ya, Dad..."
Seketika suasana berubah. Wajah Daniel yang tadinya hangat langsung menegang, kedua tangannya mengepal di bawah meja. Amarah yang selama ini ia pendam, mencuat begitu saja tanpa bisa ia tahan.
"Nana, jangan pernah samakan Mama dengan wanita ini!" bentaknya tiba-tiba, suaranya keras, menghentak hingga membuat Valerie dan Diana terkejut. Matanya yang biasanya lembut kini berubah tajam, menusuk Valerie tanpa ampun. Diana, yang tak menyangka ayahnya akan marah seperti itu, segera terdiam dan mulai menangis.
Daniel tersentak oleh tindakannya sendiri. Namun, semuanya sudah terlambat. Diana, dengan mata penuh air mata, menepis tangan ayahnya yang mencoba menghibur dan berlari ke kamarnya. Pintu kamar dibanting keras, menggema di seluruh rumah. Valerie, yang tak menyangka situasi akan memburuk seperti ini, segera beranjak dan mengikuti Diana ke kamarnya.
Di kamar, Valerie menemukan gadis kecil itu duduk terisak di pinggir tempat tidurnya, memeluk erat foto ibunya. Air mata terus mengalir tanpa henti di wajahnya yang polos. Valerie mendekat perlahan, duduk di sampingnya, dan mengusap lembut rambutnya.
"Diana," panggil Valerie dengan suara yang lembut, mencoba menenangkan gadis kecil itu. Tanpa berkata-kata, Diana langsung memeluk Valerie erat, tangisnya pecah semakin dalam di pelukan wanita itu.
"Daddy jahat... Daddy jahat!" teriak Diana di sela tangisnya.
Valerie mengusap punggung kecil Diana, mencoba meredakan perasaannya yang terluka. "Enggak, sayang. Daddy kamu nggak jahat," bisik Valerie pelan. "Ini mungkin salah Kakak, jadi jangan marah atau benci sama Daddy, ya?"
Diana mengangkat kepalanya, matanya masih penuh air mata, bingung mendengar kata-kata Valerie. "Kenapa salah Kakak?" tanyanya polos, suaranya terdengar serak.
Sebelum Valerie sempat menjawab, pintu kamar terbuka pelan. Daniel muncul dengan wajah penuh penyesalan, langkahnya berat seakan membawa beban yang tak terlihat. "Diana..." panggilnya, suaranya bergetar.
Diana menoleh, matanya bertemu dengan ayahnya yang kini tampak rapuh. Tanpa berkata-kata, dia bangkit dari pangkuan Valerie dan berlari memeluk ayahnya erat. "Maafin Daddy, ya. Daddy nggak seharusnya bentak kamu," bisik Daniel dengan suara bergetar, air mata perlahan jatuh dari sudut matanya.
Diana hanya mengangguk pelan, meski masih tersedu-sedu dalam pelukan ayahnya. Melihat momen itu, Valerie tersenyum pahit. Hatinya terasa hangat sekaligus perih. Ia tahu, meskipun ia mencoba menggantikan sosok ibu bagi Diana, selalu ada tempat yang tak mungkin bisa ia isi sepenuhnya.
"Semua ini salahku," pikir Valerie dalam hati, merasa bahwa mungkin seharusnya dia tidak pernah ada di antara mereka.
---
Hari itu, suasana pagi di dalam mobil terasa sunyi. Daniel menyetir dengan diam, sementara Diana, yang duduk di kursi belakang, hanya memandangi keluar jendela, tak banyak bicara. Meskipun Daniel mencoba bersikap tenang, rasa bersalah masih menyelimuti hatinya. Insiden pagi hari, saat ia tak sengaja membentak Diana, terus terngiang-ngiang di benaknya. Saat mereka sampai di sekolah, Daniel menurunkan Diana dengan senyum tipis, meski dadanya terasa berat.
Valerie, yang masih libur dari sekolahnya, tinggal di rumah besar itu sendirian. Ia berjalan mengelilingi rumah, mencoba mencari kegiatan yang bisa mengusir rasa canggung dan sepi yang tiba-tiba menyerangnya. Rumah itu begitu luas, tapi terasa hampa tanpa kehadiran orang lain. Valerie mulai berpikir, jika dirinya saja merasa bosan dan kesepian, bagaimana dengan Diana yang sering ditinggal Daniel bekerja? Gadis kecil itu pasti merasakan hal yang sama, mungkin lebih.
Tiba-tiba, suara dering ponsel memecah keheningan. Valerie meraih ponselnya dan melihat nomor tak dikenal muncul di layar. Terlintas dalam benaknya peringatan dari saudara-saudaranya untuk tidak mengangkat panggilan dari nomor asing. Namun, telepon itu terus berbunyi, membuat Valerie ragu. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut.
"Hei! Kenapa kau baru mengangkat telepon?" suara di ujung sana membuat Valerie terkejut. Itu suara Daniel.
"M-maaf, aku tadi sedang di toilet," jawab Valerie terbata-bata, mencoba mencari alasan.
"Segera bersiap-siap. Akan ada orang yang menjemputmu," ucap Daniel singkat, lalu memutuskan sambungan tanpa penjelasan lebih lanjut.
Valerie terdiam sejenak, bingung dengan instruksi Daniel yang tiba-tiba. Namun, ia bergegas ke kamar untuk bersiap. Tak lama kemudian, seorang pria dengan wajah serius datang menjemputnya, mengantar Valerie menuju kantor Daniel. Setibanya di gedung yang menjulang tinggi itu, Valerie merasa canggung. Ia belum pernah datang ke sini sebelumnya, dan tak tahu di mana ruang Daniel. Setelah beberapa saat kebingungan, ia mendekati meja resepsionis untuk bertanya.
"Permisi, saya ingin bertanya, di mana ruang Kang Daniel?" tanyanya, suaranya terdengar sedikit ragu.
"Anda siapa?" tanya resepsionis dengan nada sopan, namun tegas.
Valerie terdiam sesaat sebelum menjawab, "Saya Valerie Kim."
Mendengar nama itu, ekspresi resepsionis berubah sedikit lebih ramah. "Oh, nona Kim, silakan ikuti saya," balasnya, lalu mengantar Valerie ke lantai atas menuju ruangan Daniel. Namun, saat mereka tiba di depan pintu, seorang pria tinggi menghentikan langkah Valerie.
"Maaf, nona Kim, Tuan Daniel sedang tidak bisa ditemui sekarang," katanya dengan nada datar.
Valerie terperangah, bingung dengan penjelasan yang tiba-tiba ini. "M-memang kenapa?" tanyanya, mencoba mencari jawaban.
Sebelum pria itu sempat menjawab, dari balik pintu terdengar suara samar-samar yang langsung membuat tubuh Valerie kaku. Itu suara seorang wanita, dengan desahan pelan yang jelas tak salah lagi. Valerie terdiam, merasa jantungnya berhenti seketika. Dia tak perlu penjelasan lebih untuk memahami apa yang sedang terjadi di dalam. Tubuhnya terasa berat, namun ia tersenyum kecut, mencoba menahan perasaan yang tiba-tiba mendesak keluar.
"A-aku akan menunggu di bawah," ucap Valerie dengan suara bergetar. Tanpa menunggu jawaban, ia segera berbalik dan berjalan pergi dengan langkah cepat, seolah ingin segera menjauh dari kenyataan pahit yang baru saja ia temui.
Sesampainya di lobi, Valerie terduduk di salah satu bangku, perasaan lemas menyelimuti seluruh tubuhnya. Air matanya, yang ia coba tahan sejak tadi, akhirnya jatuh. Kenapa aku masih berharap? batinnya, merasa kecewa pada dirinya sendiri. Di saat air mata mulai mengalir deras, sebuah tangan yang memegang selembar tisu tiba-tiba muncul di hadapannya. Valerie mendongak dan melihat pria yang tadi menghalanginya berdiri di sana, mengulurkan tisu dengan tenang.
"Menangis saja, nona. Anggap saya tidak ada di sini," ucap pria itu dengan nada datar namun penuh pengertian.
Valerie mengambil tisu itu dengan tangan gemetar, mencoba menenangkan dirinya. "Terima kasih," jawabnya pelan, lalu menyeka air matanya yang mulai membasahi pipi.
Setelah beberapa saat berdiam diri dan menenangkan hati, Valerie memutuskan untuk kembali ke ruangan Daniel. Namun, sesaat sebelum ia melangkah masuk, pria yang tadi menghalanginya kembali menghentikannya dengan isyarat halus.
"Tuan, nona Kim datang untuk menemui Anda," ucapnya tenang dari depan pintu.
"Terima kasih, Seongwoo. Kau bisa keluar," terdengar suara Daniel dari dalam, kali ini lebih berat dan penuh otoritas. Valerie menarik napas panjang sebelum melangkah masuk. Kini, hanya ada dia dan Daniel di ruangan itu, suasana yang tiba-tiba terasa dingin. Daniel duduk di balik mejanya, tatapannya tajam dan serius, berbeda dari biasanya.
"Duduk di sini," perintahnya dengan nada dingin, menunjuk kursi di depannya. Valerie mengangguk pelan dan duduk tanpa berkata apa-apa. Ketegangan di udara begitu terasa, dan Valerie hanya bisa menundukkan kepala, menunggu apa yang akan Daniel katakan.
Tanpa banyak bicara, Daniel mengambil selembar kertas dari tumpukan di mejanya dan meletakkannya di depan Valerie. Di sudut kertas itu, tampak jelas tulisan besar yang langsung menarik perhatian Valerie: "Surat Perjanjian", dengan cap materai di ujungnya.
"Baiklah, nona Kim," ucap Daniel dengan nada datar, "Bisakah kau menandatangani ini?"
--- To Be Continued---