webnovel

9. Siapa Atha?

Kenzo berhenti sejenak di pintu utara, ketika seekor burung merpati hitam terbang rendah ke arahnya dan bertengger di pundaknya. Ia meraihnya lalu meletakkannya di pelukannya.

"Lebih baik kak Kanzo kembali deh, ke rumah atau ke gedung putih. Aku punya firasat buruk."

Ucapan Atha kembali terngiang, entah kenapa jantung Kanzo berdetak lebih kencang. Firasatnya tiba-tiba tak seenak Atha, entah apa yang menunggunya setelah ini.

Kanzo berpikir seharusnya tak ada masalah apa-apa, karena adiknya, Kenzo, berada di rumah sang ibu. Kahlil juga tidak mungkin bermain di dapur dan meledakkan gas, atau bermain bola di ruang tamu. Lalu apa?

Dengan gerakan pelan, Kanzo melemparkan merpati yang dibawanya ke udara, membuat sang merpati terbang menuju puncak tertinggi panti. Kanzo tersenyum kecil lalu melanjutkan langkahnya.

5 meter dari gedung putih, langkah Kanzo kaku, kaku yang tak biasa. Beberapa mobil yang sangat ia kenali terparkir di sebelah utara gedung putih. Namun, hanya sebuah mobil yang membuatnya menjadi setakut ini.

"Hah? Mobil Abi kok di sini? Kenapa Abi kesini?" gumam Kanzo pada dirinya sendiri. Perasaan tak enak yang baru pergi beberapa saat yang lalu kembali menyeruak.

Langkahnya menjadi sangat berat, setiap langkah yang diangkatnya seolah menyeret beban berton-ton. Pintu utama yang tertutup rapat memperkuat dugaannya. Dengan gerak pelan, Kanzo membuka pintu dengan sekali dorongan. Ruang tamu yang ia dapati kosong, membuatnya melanjutkan langkahnya ke arah ruang tengah.

"Aku ga mau jelasinnya Abi, mending nanti Abi tanya sendiri ke kak Kanzo." Suara Kahlil terdengar jelas di telinganya yang memang peka terhadap suara-suara.

"Coba katakan, apa bedanya Kanzo yang ngasih tahu sama kamu yang ngasih tahu?" Suara Aalisha terdengar, membuat alis Kanzo menukik tajam.

"Kak Aalisha juga di sini?" gumam Kanzo.

"Bedanya ya jelas lah, Kak! Aku bisa aja salah, dan kak Kanzo ga mungkin salah," ketus Kahlil berdecak.

"Bisa aja Kanzo bohong," sela Aya.

"Kurasa, Kanzo ga bakalan bohong, apalagi ada abi di sini," sahut Aleeya.

"Kita tunggu Kanzo saja," putus Khaidar. Melerai perdebatan anak-anaknya.

"Kelamaan, Abi! Lagian kenapa sih Kahlil ga ngomong langsung?" Aya bertanya sembari menatap Kahlil gondok.

"Sudah kubilang, Ukhti, Kahlil takut salah. Jangan paksa Kahlil buat ngelakuin hal yang ga bakal Kahlil lakuin, oke? Lagi pula, itu privasi kak Kanzo, dan Kahlil ga punya hak sedikitpun buat menceritakannya."

Kahlil manyun, ia sengaja mengucapkannya dengan nada lembut, namun penuh ketegasan. Agaknya, Aalisha, Aleeya, Aya, Akihiro dan saudara-saudara yang lain faham keinginan Kahlil.

Tak tahan menguping lebih lama lagi, Kanzo memilih keluar dari persembunyiannya dan mengucapkan salam pada mereka semua.

"Wa Alaikum Salam," jawaban salam dari seisi ruangan terdengar begitu kompak. Hal itu malah membuat Kanzo merinding. Ia merasa seperti masuk ke persidangan di mana ia adalah sang tersangka. Namun, suara sang Abi malah membuat telinganya berdenging.

"Untuk apa kau berdiri seperti orang yang menunggu antrian sembako, kau tak ingin duduk?" celetuk Akihiko sembari menepuk kursi kosong yang di sisinya.

Kanzo mengangguk kaku, lalu berjalan ke arah tempat duduk Akihiko dengan canggung. Sementara tatapan mata para saudaranya tak berhenti berpaling darinya, justru membuatnya salah tingkah.

"Kau tampak berbeda hari ini, apa kau sakit, Kak?" tanya Kahlil setelah mengamati gerak-gerik Kanzo yang tampak tak biasa.

Kanzo menggeleng cepat, keringat dingin mengalir di pelipisnya, ia benar-benar gugup. Teringat kembali dengan privasi yang sempat di katakan Kahlil, apa privasinya yang Kahlil tahu?

"Kau sudah makan?" tanya Khaidar pada Kanzo.

Kanzo mengangguk sopan, "Sudah, Bi."

"Kita hanya berkumpul biasa saja, Kanzo. Tidak ada masalah apa-apa yang bisa membuat kalian khawatir, aku hanya merindukan kalian.." ungkap Khaidar menatap seluruh anaknya.

Aleeya mengangguk tegas, "Tidak masalah, Bi. Meski ini bukan hari libur aku tetap menikmatinya."

Kanzo yang merasa tak tenang segera berdiri dan den meminta izin pada Khaidar, "Abi, aku mau sholat Dhuha dulu."

Khaidar mengangguk mengizinkan.

Sepeninggal Kanzo, ruang tengah menjadi riuh kembali. Beberapa kali Aleeya membujuk Kahlil untuk mengatakan siapa gadis yang sedang dekat dengan Atha.

Khaidar tenggelam dalam lamunannya, memikirkan anak-anaknya yang sudah tumbuh dewasa sedang ia mulai menginjak usia senja.

Kanzo duduk sejenak setelah membaca surat Al-Waqi'ah dan doa setelah shalat Dhuha. Ia kembali teringat Atha yang menegurnya ditambah menjabarkan kepadanya dalil mengenai sholat Dhuha.

"Astaghfirullah," lirih Kanzo sembari meraup wajahnya dan membenarkan letak topinya. Ia bukan pertama kali mendengar kalimat yang tadi diucapkan Atha, ia hanya tak terbiasa ketika Atha yang selama ini tak pernah menyinggung sholatnya, tiba-tiba mengusirnya dengan perintah sholat sunnah.

Kanzo yang sudah menyelesaikan rutinitasnya segera kembali ke ruang tengah, tempat di mana keluarganya berkumpul. Keanehan jelas dirasakan Kanzo, ruangan yang tadinya riuh, kini mendadak sepi ketika kehadirannya tampak.

"Sepertinya aku mendengar namaku sempat disebut-sebut tadi. Apa aku salah dengar atau?.." Kanzo sengaja menggantungkan nada bicaranya untuk mengetahui reaksi saudaranya serta Abinya.

"Ya, kami memang sedang membicarakanmu," jawab Khaidar yang faham maksud putranya yang tersembunyi.

"Ada yang salah denganku, Abi?" tanya Kanzo dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi.

Kanzo ingat sekali bahwa sang Abi juga punya kejelian dalam menangkap perasaan seseorang melalui cara bicara maupun tingkah laku.

"Tidak ada. Aku hanya ingin bertanya tentangmu."

"Ya?" tanya Kanzo, meminta Khaidar melanjutkan ucapannya yang sengaja dipotong.

"Siapa Atha?"

Dan pertanyaan sang Abi terdengar seperti petir yang menyambar di siang bolong. Membuat hatinya dipenuhi keterkejutan yang tak bisa ia kuasai. Membuat lidahnya kelu dan tak bisa menjawab sebagaimana mestinya.

Kanzo tertunduk, ia bahkan tak punya daya untuk mengangkat kembali wajahnya hanya untuk memberi hormat kepada abinya. Ia merasa sangat malu.

[{}{}{}]

Sepeninggal Kanzo, Atha termenung. Ia berusaha menjelajahi rasa bosan yang membelenggu hatinya, ia tak suka rasa tak berdaya ini. Ia ingin berlari memutari panti, membersihkan perpustakaan, atau bahkan membuat lagu baru. Ia ingin menghirup udara luar, atau hanya sekedar duduk-duduk di samping lapangan, di bawah naungan pohon mangga yang rindang

Atha meraih ponselnya ketika sebuah dentingan kecil terdengar dari benda tersebut. Sebuah notifikasi dari aplikasi Al-Qur'an muncul.

Atha memencetnya, sebuah pengingat harian untuk tetap membacanya. Atha lupa untuk mematikan fitur tersebut untuk beberapa hari ke depan.

Kini layar ponsel Atha menunjukkan sebuah kaligrafi indah sebuah ayat dalam Al-Qur'an.

انا جعلنا ما على الأرض زينة لها لنبلوهم احبهم احسن عملا.

Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka, siapakah di antara mereka yang paling baik perbuatannya.

Atha menghela nafas, surat Al-Kahfi ayat ketujuh membuat perasaannya campur aduk. Ia seolah disindir keras sebagai hamba yang tak bisa bersyukur dan suka mengeluh.

"Astaghfirullah," lirih Atha sembari mengelus dadanya. Berusaha memudarkan perasaaan takut dan khawatir yang kini ia rasakan.

"Atha? Kau sudah bangun, kan, Nak?"

Suara dari balik pintu diikuti suara ketukan pelan membuat Atha berjingkat kaget. Pemilik suara tersebut sangat Atha kenali, membuat wajah Atha yang tadi muram, kini cerah.

"Aku sudah bangun, Bi!" sorak Atha semangat.

Setelah itu Atha bangkit bersamaan dengan pintu yang terbuka oleh Maise.

"Apa kau sudah menghabiskan buburnya?" tanya Maise dengan senyum sehangat mentari.

Atha mengangguk dan melirik nakas yang di atasnya terdapat mangkuk yang isinya telah berpindah ke perut Atha.

"Baguslah, aku jadi tenang kalau nafsu makanmu tak berkurang karena kakimu yang sakit," canda Maise.

Atha tergelak.

"Aku berpapasan dengan Kanzo di tangga, tadi," tutur Maise membuka topik obrolan.

Alis Atha terangkat, "Apa dia mengatakan sesuatu kepadamu, Bi?" tanya Atha yang mengerti maksud Maise.

Maise mengangguk. "Dia mengatakan kalau kamu mengusirnya, right?" tanya Maise hati-hati.

Atha mengangguk membenarkan.

"And.. he said, kamu punya firasat buruk, kamu ga berbohong kan?" tanya Maise lagi, kali ini dengan nada yang lebih rendah.

"Ga.." Atha menggeleng.

"Aku belum bilang pada Kanzo kalau firasatmu lebih sering benar," cetus Maise. "Seperti apa?"

Atha menghela nafas. "Terima kasih karena tak mengatakan apa pun pada kak Kanzo, Bi. Sebenarnya, masalah firasat itu, aku hanya merasa ada sesuatu yang gawat dan perlu ditangani. Aku tak merasa ada sesuatu yang buruk," jelas Atha dengan bahu terangkat.

Maise tertawa, "Baiklah, baiklah, aku tak akan mempermasalahkannya. Jadi, dari pada membuang waktumu di kamar yang kecil ini, bagaimana kalau kita keluar ke taman selatan gedung putih?" tawar Maise, membuat mata Atha berbinar-binar.

"Kau.. tidak bercanda kan, Bi?" tanya Atha tak percaya. Tempat yang disebutkan Maise barusan adalah tempat yang jarang dilalui anak-anak panti kecuali mereka ada pengajian Jumat pagi dan acara keagamaan lainnya.

Maise mengangguk pasti, "Aku tak pernah berbohong padamu, Atha, lagi pula, aku berpikir bahwa diam di sini akan membuatmu merasa jenuh."

Atha tersenyum lebar, lalu mengangguk kuat-kuat.