webnovel

Dark Side Of You

[ON GOING] Kehidupan yang dijalani dengan banyak topeng. Menjadi orang lain untuk melindungi diri yang asli. Sangat melelahkan. Rasa takut ditinggalkan yang selalu menghantui memunculkan kebohongan demi melindungi diri sendiri. Selalu berada di zona nyaman dan memilih diam diri dari pada harus beranjak keluar zona. Hingga akhirnya merasakan bagaimana dampak buruk dari mereka yang terlalu banyak memakai topeng. Diri mereka sendiri tersakiti atas apa yang mereka lakukan. Tidak bisa mengupayakan apa pun dan perpisahan menjadi jalan akhir dari hubungan mereka. Hubungan yang terputus sebelum menjalin hubungan. Kisah hidup diantara Langit dan Nadien yang penuh kejutan. Dan tentang diri mereka di sisi yang lain yang tak pernah mereka kira sebelumnya. Dark Side Of You. [] Hai, disini dengan hlen! jd ini crta prtma hlen happy reading!

tsthlen_ · 若者
レビュー数が足りません
6 Chs

Terima Kasih, Kucing! [05]

"Yah, sudah selesai. Ada yang lain?" tanya seorang perempuan dengan menggunakan masker hitam di wajahnya. Lalu ia lepas dan ia bawa di tangan kiri.

Di dalam ruangan besar ini ia berdiri di depan meja berwarna putih dengan seorang pria duduk di sebaliknya. Nuansa minimalis bisa terlihat jelas begitu membuka pintu yang terbuat dari pintu kayu jati pilihan. Ruangan tersebut tidak berisi banyak barang, hanya satu rak buku di pojok kanan ruangan dekat pintu, meja kerja di tengah ruangan serta lemari besi yang berjajar rapi pada tembok berwarna putih di sisi kanan.

Pria itu memiliki wajah yang sangat tegas berwibawa. Seseorang yang bertemu dengannya pasti nyalinya langsung menciut. Belum lagi suara bariton yang mampu membuat bulu kuduk berdiri merinding. Pakaiannya yang formal juga mencerminkan beliau adalah orang yang bermartabat. Tampak sangat berkelas yang berbanding terbalik dengan sifat kerasnya.

"Tidak ada, tapi apa yang kamu lakukan di café itu?" tanya pria itu dengan nada serius.

Jantungnya mendadak berdetak kencang. "Cafe mana?" Nadien berlagak seperti tidak mengetahui apa pun.

"Jangan berbohong. Jujur atau hukuman yang kamu dapat bertambah?"

"Nadien merayakan kemenangan kelas," ucapnya takut-takut.

Ryan menggebrak mejanya dengan sangat kuat. Nafasnya memburu bersamaan dengan seringai menakutkan.

"Sejak kapan anak ayah menjadi seorang pembangkang, HAH?!" ia menarik rambut Nadien kuat. Tubuh Nadien kehilangan keseimbangan, ia jatuh dengan rambut yang ditarik kasar oleh ayah.

Dengan menahan sakit ia berusaha menjawab ayah. "Nadien terpaksa."

Demi Tuhan, kulit kepalanya serasa ingin lepas. Lehernya juga seakan ingin ikut lepas. Kalaupun lepas pun tak apa, malah ia bersyukur. Tapi bukan ayah jika membiarkan Nadien mati. Putri kesayangan sekaligus robot yang paling beliau andalkan.

"Apakah kamu sudah lupa?! Aturan untuk tidak memiliki teman dan berinteraksi lebih." tangannya semakin menarik kasar rambut Nadien.

"Tidak, Nadien masih ingat."

"LALU MALAM INI APA YANG KAMU LAKUKAN?!" dengan beringas ia menendang perut Nadien dengan kencang.

Nadien tidak sempat menghindar, tubuhnya terpental beberapa meter. Punggungnya terantuk sebuah rak buku besar. Buku-buku ikut serta jatuh mengenai kepalanya menambah penderitaan Nadien. Ia mengaduh kesakitan dan mengelus perutnya yang terasa sangat sakit. Organ dalamnya terasa bergeser beberapa senti. Sehebat apa pun ia dalam bela diri, ia akan tetap kalah dibanding dengan ayah.

Pria berjas hitam itu berjalan mendekat ke arah Nadien. Ia menatap marah. "Ayah sudah bilang, kamu hidup hanya untuk mengabdi kepada ayah bukan untuk memiliki teman. Mengerti?!"

Kakinya tidak tinggal diam, ia menendang Nadien untuk kedua kalinya. Dengan sepatu model derby berwarna coklat mocha dengan sol yang tebal serta keras, mengenai bagian perut kanan Nadien.

Nadien terbatuk.

"Ini hukuman untuk anak yang tidak menurut dengan ayahnya!" ia berseru dengan wajah memerah.

Tanpa ampun Ryan menendang Nadien berkali-kali. Perempuan itu hanya bisa terduduk dengan lemas. Batuknya yang semula hanya menyemburkan air ludah kini berubah menjadi darah. Sesekali sepatu ayah mengenai leher bahkan kepalanya. Buku yang satu-persatu berjatuhan semakin membuatnya bertambah pusing. Namun sekuat tenaga ia tetap menjaga kesadarannya, sekalinya pingsan ia akan diberikan hukuman lebih oleh ayah.

Kata beliau orang yang pingsan hanya dengan tendangan adalah orang lemah, maka akan ayah biasakan orang lemah sepertimu untuk menerima tendanganku lagi. Ya, kalian bisa menebak sendiri apa yang akan Ryan lakukan ketika Nadien pingsan.

Sungguh ia serasa ingin menangis, rasanya sangat nyeri bahkan untuk bernafas. Matanya sudah memanas sejak tadi. Sebisa mungkin ia tahan agar tak ada bulir air mata jatuh dari matanya. Tahan sampai ayahnya pergi atau ia akan mendapatkan lebih parah lagi.

Selama beberapa menit Ryan masih setia menghukum anak semata wayangnya itu. Hingga dirinya puas dengan apa yang ia lakukan barulah ia berhenti.

Orang tua itu berucap sebelum beranjak keluar ruangan. "Jangan berani melanggar peraturan atau kamu akan bertemu dengan ruang bawah tanah." Ucapnya dingin dan segera keluar dari ruang kerjanya.

Gadis itu tidak langsung berdiri melainkan meraup oksigen yang sejak tadi kesusahan untuk ia hirup. Tangannya memeluk perutnya yang berdenyut nyeri. Ia menyeka darah yang keluar dari mulutnya. Berdiri dengan satu tangan menopang pada rak buku lalu berjalan tertatih sambil berpegangan tembok. Sialnya rumahnya kelewat besar, perlu waktu lebih lama untuk bisa mencapai kamarnya yang berada di bagian paling belakang rumahnya.

Ia melihat pantulan tubuhnya pada kaca besar di kamar mandinya. Banyak tanda lebam di sekitar perutnya, tidak hanya lima atau sepuluh bahkan lebih banyak dari itu. Lebam sebelumnya yang belum total sembuh kembali ditiban dengan lebam baru. Kulit putihnya tak lagi seperti salju tapi lebih mirip motif polkadot dengan warna putih dan merah.

Dengan menahan sakit ia mengobati lukanya sendiri, duduk di atas kloset dan mengompres perutnya dengan air dingin. Selagi ia mengobati Nadien termenung. Ia menerawang akan jadi seperti apa masa depannya nanti, akankah ia bisa bebas atau malah semakin menderita. Jika dipikir-pikir mungkin pilihan kedua lebih tepat, selama ayah belum tiada hidupnya tidak akan tenang.

Lagi-lagi ia tidak bisa menahan tangisnya. Selalu begini, sifat lemahnya akan keluar jika ia sendiri. Tak ada tempat untuk ia mengadu. Nadien hanya punya dirinya dan foto mama yang selalu memberinya semangat.

Jujur saja ia benci melihat dirinya yang menangis. Sangat lemah dan menyedihkan. Ia terus membandingkan dirinya dengan mama, seorang perempuan yang mampu bertahan dengan ayahnya tanpa mengeluh.

Kuat-kuat ia gigit bibirnya. Menahan tangis agar tidak semakin keras. Ia tidak boleh lemah, dunianya kejam. Akan pasti kalah jika ia menangisi semua hal.

Kepalanya menunduk dalam-dalam. Hatinya berbicara bahwa ia rindu dengan mamahnya, seseorang yang selalu membuatnya tertawa dan merawatnya sepenuh hati. Andai ia bisa memutar waktu ia ingin mengajak mama untuk kabur dari pria psiko seperti ayah.

[]

Suasana kantin siang ini tampak ramai dengan para murid yang kelaparan. Penjual yang sibuk melayani pelanggannya tampak sangat kerepotan. Walau diantara mereka masih ada yang sempat merayu murid perempuan. Siapa lagi kalau bukan Bang Jojo, laki-laki dengan rambut cepak yang siap membuat kaum hawa bergidik ngeri.

"Mbaknya cantik deh hari ini. Abang siap kalau kamu lagi cari calon masa depan," kan genitnya keluar lagi.

"Apaan sih, Bang. Rambut cepak mirip jamet aja sok-sokan," jengahnya.

"Bukan jamet, mbak. Ini rambut pemanggil cewek cantik, contohnya mbaknya nih," ucapya sambil memberikan satu mangkok bakso kepada cewek yang ia goda.

"Dih, najis bang suer deh. Amit-amit gue punya jodoh kek abang."Segera setelah ia mendapatkan pesanannya ia berlalu keluar kantin dan menuju ruang makan.

Ia berjalan mendekati meja yang berada di tengah ruangan dengan dua orang duduk menunggu di sana. Pantatnya ia dudukkan di sebelah cowok dengan rambut berponi ala oppa korea. Kalau dibanding dengan Ji Chang Wook sih ga mirip sama sekali, cowok yang di sebelahnya ini malah terkesan cupu bukannya manly.

"Cemberut aja lo, ati-ati mulut lo jadi jontor," canda cowok berponi itu sambil menyuapkan satu sendok nasi dengan sambal di atasnya.

"Ish, gue sebel tuh sama Bang Jojo," dengan penuh emosi ia berucap.

Jordan melirik ke arah adiknya itu. "Sebel tapi makan baksonya juga."

"Ywa, kwarwena bwaksonwa enak," mulutnya penuh dengan suapan bakso.

"Telen dulu baru ngomong," cowok di depan Ethereal membuka suara. Sekalinya nimbrung ngobrol pasti yang ia lontarkan kata-kata bijak.

Ethereal semakin sebal lagi. Ia menyuap bakso dengan tidak santai.

"Uhuk, uhuk, uhuk." Gadis itu terbatuk. Sepertinya ia terkena karma membicarakan Bang Jojo.

Langit mengulurkan tangannya memberi satu gelas es jeruk. "Makanya santai aja gausah pake emosi."

"Aishh!"

Langit beranjak berdiri, makanannya sudah habis lebih dulu. "Gue duluan." Ucapnya dan segera berlalu.

Mereka berdua hanya mengangguk dan melanjutkan acara makan mereka.

Cowok dengan sepatu converse hitam itu berjalan menuju tempat peletakan piring kotor. Berlalu menuju kelas melalui jalan pintas di samping bangunan sekolah. Berjalan dengan santai sambil menatap ke bawah. Akhir-akhir ini ia sibuk memikirkan seseorang. Yang entah bagaimana mampu menarik perhatiannya tanpa ia sadari.

Ketika kepalanya sibuk memikirkan seseorang ia tidak sengaja tersandung. Ia sedikit terhuyung tapi tetap bisa menjaga keseimbangannya. Matanya beralih melihat apa yang ia sandung. Orang yang sedang ia pikirkan benar-benar ada di depannya sekarang. Jongkok bersender di tembok sambil tertidur dengan kepala menengadah.

Langit terdiam. Meneliti setiap inci wajahnya. Dalam jarak sekitar setengah meter ia berdiri dan masih menikmati wajah Nadien yang menenangkan. Wajahnya sangat berbeda jika saat tertidur, ia seperti bayi yang kelelahan lalu pulas tertidur. Lucu, pikirnya.

Langit salah tingkah ketika dengan mendadak Nadien bangun dari tidurnya. Nadien mengusap wajahnya sejenak lalu menatap ke arah Langit. Dia segera berdiri dari posisinya dan menepuk-nepuk halus hoodienya yang kotor.

Dengan mata tajamnya ia menatap Langit penuh selidik. "Ngapain lo di sini?" jutek Nadien.

"Gue cuman lewat," jujur Langit.

"Terus Ngapain pake acara liatin gue segala?"

"Gue ada mata."

Nadien memutar matanya jengah, ia segera berlalu untuk kembali ke kelas. Ia tidak ingin mendapat hukuman dari ayahnya lagi, bisa hancur badannya.

"Bareng," ucap Langit begitu sejajar berjalan di samping Nadien.

Perempuan itu berlagak tak acuh. Ia tetap berjalan dengan wajah super duper judes. Walau begitu matanya waspada menatap sekitar, siapa tahu ia diawasi oleh suruhan ayahnya. Ditengah ia berjalan lengan bajunya ditarik oleh seseorang. Kalau bukan Langit siapa lagi?

Nadien menoleh ke arah Langit. "Lepas. Ngapain lo?"

Cowok itu menghiraukan ucapan Nadien, jari telunjuknya mengarah pada sesuatu di depan. Tubuh besarnya bersembunyi di belakang tubuh Nadien yang lebih pendek darinya. Bulu kuduknya berdiri kegelian.

"Jangan bawa kesini!" tegasnya kepada Nadien.

Cewek itu menatap bingung Langit, masa iya badan sebesar it takut dengan kucing kecil ini? Dia mengendong kucing itu lalu mengelusnya lembut. Kucing itu menggeliat keenakan dengan suara meongnya yang sangat lucu. Melihat Langit yang ketakutan terhadap kucing, ide jailnya muncul.

Dengan sengaja ia berbalik dan mengulurkan tangannya yang membawa kucing mendekat ke arah Langit.

"Hihh, geli. Jauhin, hus, hus, hus pergi," ekspresi takut sekaligus geli yang ditunjukkan Langit sangat lawak.

Belum berhenti juga, Nadien semakin mendekatkan kucing itu ke arah Langit. Pria itu mundur Nadien maju, pria itu ke kiri Nadien ke kanan.

"Nad, jauhin. Geli banget itu bulunya, hih," ucap Langit sambil berusaha menjauh dari kucing itu. Ia memeluk dirinya sendiri kegelian.

"Kucingnya lucu, kan." Kedua alisnya naik turun menggoda Langit.

"Geli, Nad, sumpah. Jauhin."

Bukannya menjauh Nadien semakin mendekat hingga kucing itu mengenai tangan Langit. Seketika itu Langit dan kucing terlonjak kaget bersamaan. Langit berteriak kegelian dan kucing itu mengeong kaget.

Nadien tidak bisa menahan tawanya lagi. Ia tertawa keras melihat wajah panik Langit. Perutnya sampai sakit tertawa terlalu lama. Baru kali ini dia melihat cowok badan besar takur kucing yang kecil. "HAHAHA! Kucing doang, hahaha!"

Langit terdiam melihat Nadien. Bukan karena heran tapi lebih ke terpesona. Ternyata di balik wajah judes Nadien ada senyum dan tawa yang sangat manis. Sangat candu, ia seperti tidak rela tawa renyah itu hilang. Tanpa ia sadari ia menyunggingkan senyum singkat.

"Udah ketawanya?"

Cewek itu mengusap matanya yang basah karena tertawa. "Haha, udah. Kocak banget lo."

"Senyum lo manis, kenapa ga pernah senyum?" tanya Langit mendekat ke arah Nadien.

Nadien terdiam dan menetralkan wajahnya menjadi judes lagi. Ia merutuki diri kelepasan ketawa, hancur sudah image galak Nadien.

"Apa peduli lo?"

"Senyum lo manis, gue pengen lo senyum terus," jujur Langit sejujur-jujurnya.

Nadien sedikit salah tingkah. Seumur hidupnya hanya mamahnya yang selalu suka dengan senyumnya. Dan kini ada satu orang lagi yang menyukai senyumnya. Kalau ditanya bagaimana perasaannya pastinya ada sedikit kehangatan menjalar dalam dirinya. Namun sekelebat bayangan ayahnya lewat, seketika moodnya menjadi jelek.

"Lo siapa gue? Berhak lo ngatur gue?"

"Yaudah, lo sekarang mau jadi sahabat gue?" tawarnya dengan enteng. Percayalah, kalimat itu terlontar sendiri tanpa ia hendaki.

Mulut Nadien ternganga tidak percaya. Sebenarnya motivasi Langit apa sih? Sikapnya sungguh abu-abu, sulit diartikan. Tampangnya yang tidak menunjukkan emosi sama sekali semakin membuat kebingungan.

"Maksud?"

"Gue jadi sahabat lo. Gue bisa liat senyum lo, lagi." Oke, kali ini ia sungguh tidak sadar yang ia ucapkan. Mulutnya kenapa kelewat jujur di waktu yang tidak tepat ini.

Nadien tertawa remeh. "Ga mau, ga boleh dan ga pengen." Ucap Nadien penuh penekanan. Ia segera berlalu sebelum Langit membuka suaranya.

Tidak ingin kehilangan kesempatan, Langit menarik lengan Nadien agar tidak berlalu pergi. Tanpa sadar ia mencengkeram lengan Nadien terlalu keras.

"Shit!"