webnovel

DAMAR The Breath of Gold and Silver

Suatu hari Damar, seorang pemburu berusia lima belas tahun menemukan seekor anak naga kecil berwarna perak menyala di Hutan Vardelle. Pertemuannya pada anak naga itu merubah hidupnya menuju takdir yang mengerikan. Ditemani oleh Alazar si penyihir misterius dan sahabatnya Will. Damar belajar berbagai hal mengenai Benuanya Farland dan sejarah masa-masa suram raja-raja manusia, peri dan Wildster. Alazar juga mengajari Damar ilmu pedang dan sihir karena ternyata Damar adalah seorang Savior, para penerus klan kuno peri sebagai penyeimbang Farland. Berbekal ilmu dari Alazar, Damar harus mengahadapi takdir gelap untuk menjadi satu-satunya kandidat yang setara dengan Raja Zenoth, si Savior penghianat.

Gian_Ganevan · ファンタジー
レビュー数が足りません
21 Chs

18. PERTEMUAN MISTERIUS

Mereka makan siang di Grasta, desa tepi danau yang tidak terlalu ramai. Tempat itu sangat sederhana terletak di tepi Weswood yang menghadap danau. Awalnya Alazar ingin berkemah di dalam hutan yang rapat, hal itu untuk mengurangi kemungkinan mata-mata morgul di tiap desa. Damar dan Alazar lalu berdebat, menurutnya mereka layak mendapat makanan yang dimasak dengan benar. Mereka mulai bosan dengan makanan binatang liar.

Dalam waktu yang cukup lama mereka mengamati desa itu. Tapi selama beberapa hari desa itu nampak tidak mencurigakan. Setelah memastikan Grasta hanyalah desa biasa mereka menutupi kandang silvar dengan kerodong yang gelap. Berjalan memasuki desa dengan waspada dan mengunjungi kedai makanan yang sepi.

"Sudah lama sekali desa ini tidak kedatangan pengelana!" kata pelayan yang sudah tua, kumisnya bergetar-getar, memandang mereka dengan wajah cerah. Seletah mempersilakan mereka duduk dia menatap kandang Silvar dengan bingung.

"Kalian menjerat apa di westwood? Bukankah hutan itu hanya dipenuhi serangga-serangga dan mahluk jahat?" katanya sambil tertawa. "beberapa hari yang lalu pemburu hampir terjerat para mandragora, tak bisa kubayangkan, dia harus memutus kakinya untuk bisa lolos!"

"Sayangnya perjalanan kami baik-baik saja," kata Damar lalu tersenyum.

"Benarkah? Kalian menemukan para fairy? Dryad?" kata pelayan itu lagi.

"Hmm, tidak sama sekali, apa mereka ada di weswood?" kata Will.

"Ada, para pengelana yang tahun lalu menceritakannya pada kami, tentang isi hutan-hutan ajaib di negeri kita. Sayap dryad yang berkilualan seperti sutra dan para fairy yang menabur bubur seperti manik-manik saat mereka terbang!"

"Sayangnya kau ditipu," kata Alazar muram.

"Jangan begitu," kata Damar.

"Dryad dan Fairy banyak hidup di hutan ajaib Adaurith, jaraknya lebih dari seratus kilo dan memerlukan waktu sebulan berkuda. Para elf pernah menceritakannya padaku."

"Elf? Kau pernah bertemu elf?" kata pelayan itu kelopak matanya bergerak-gerak.

"Well, aku bisa menceritakannya banyak hal tentan hal ajaib, termasuk yang mengerikan. Ada mahluk penghuni hutan pedalaman elf yang akan menggerogoti bola mata dan tenggorokannmu saat tidur, terlebih mereka menyukai manusia-manusia yang banyak bicara sepertimu."

Pelayan itu terbelalak dan mundur sambil gemetar.

"Dan kami lapar, bawakan makanan terbaik kedaimu dan biarkan kami makan, bisa?" kata Alazar memandangnya tajam.

"Ba-baik sir, maafkan!" pelayan itu pun pergi menuju dapur.

"Kau tidak seharusnya begitu," kata Damar kesal.

"Kita disini tidak untuk mencari teman berbincang hangat, Damar. Ketika pelarian seperti kita beristirahat dikota, kita semakin mudah ditemukan, setidaknya kita harus segera menemukan Rayner dan segera pergi ke Bardford."

"Kau sungguh kaku sekali," kata Will menyeringai.

Setelah itu makanan datang dengan cepat, ayam bakar dengan olesan mentega dan butiran tomat sayur yang sangat berasap dan wangi. piring selanjutnya berisi buah-buahan segar dan salad sayur. Damar dan Will ternganga memandangnya.

"Apa uang kita cukup?" kata Damar kuatir.

"Kalian punya cukup uang banyak, ingat Orgwa yang kalian jual?" kata Alazar tersenyum dan mengedipkan mata.

"Dia mencuri uang kita, penyihir tua ini memang benar-benar.." kata Will kesal, tapi perutnya berbunyi dan ia tidak sabar untuk makan, lalu ia segera menyambar paha ayam dan mengunyahnya dengan lahap. "Setidaknya makanan ini enak sekali!"

Tidak memerlukan waktu lama untuk mereka menghabiskan seluruh sajian makanan itu. Alazar bangkit dari duduk dan mengintip ke luar jendela, ada sesuatu yang membuatnya terlihat kuatir.

"Ada apa?" tanya Damar sambil menjilati jemarinya yang berlumuran saus mentega.

"Ada Gallardian sedang menuju kemari," katanya sambil menyipitkan mata.

Damar dan Will terbelalak. Will dengan sigap mencabut belatinya, tapi Alazar mengangkat jarinya menyuruh untuk tenang.

Alazar kembali ke tempat duduknya, didepannya Will dan Damar berkeringat.

"Mereka prajurit rendahan, mungkin pangkatnya yang terendah dari seluruh prajurit di kerajaan, berusahalah tetap tenang," katanya memaksa tersenyum.

Semenit kemudian pintu kedai terbuka, muncul dua orang dengan jubah baja yang berbaret, di punggungnya terkait perisai bundar dengan simbol helm bersilangkan kapak dan pedang berwarna emas. Dua orang itu berbadan tegap dengan muka yang tirus. Wajahnya keriput seperti sudah tua dan kumis awus-awutan tumbuh seperti jemari kering. Prajurit satunya berwajah penuh dan gemuk, sehingga baju zirahnya membuat langkahnya seperti kerbau yang terikat rantai.

"Seharusnya kita tidak mendengarkan perintah komandan idiot itu," kata prajurit berbadan gemuk menutup pintu kedai.

"Aku sudah memperingatkanmu, dia adalah pemimpin yang payah, lihatlah diri kita? Kotor karena harus membantu peternak itu melepaskan babi bodohnya," kata prajurit satunya yang sudah tua.

"Mana kutahu, aku tidak punya pilihan untuk menolaknya, dia masih seorang komandan, ya komandan!" kata prajurit kurus, itu lalu menggebrak meja. Seorang pelayan bar tadi datang dan menunduk gugup mencatat pesanan dua prajurit itu lalu pergi menuju dapur.

"Kau dengar kata prajurit itu? Ada komandannya disini," kata Damar berbisik pada Will.

"Sst! Diam," kata Will buru-buru.

Alazar dengan tenang mengamati, sambil menyesap cerutunya seolah mereka hanyalah tamu biasa.

"Kau lihat orang tua itu?" kata prajurit gemuk. "Dia dengan mudahnya merokok, tanpa mengetahui kita ini siapa!"

"Hei sudahlah, kau terlalu terbawa perasaan," kata perajurit gemuk.

Prajurit kurus itu berdiri dan mendekati Alazar, Damar dan Will yang gelisah. Prajurit itu lalu menyilangkan lengannya di dada menantang.

"kalian para penduduk desa kecil seperti ini bersikap sangat keterlaluan di hadapan kami, prajurit kerajaan," katanya menyeringai.

Alazar tersenyum, "Maaf asap ini mengganggumu sir, aku sudah lama tidak merokok."

"Bah! Itu alasan apa kau ingin menghinaku?" katanya melangkah maju mendekat dan mengepalkan tangannya yang berbalut sarung tangan coklat dekil. "Apa itu yang ada di dalam kandang tertutup itu?"

Jantung Damar berdegup kencang, Will juga nampak makin gelisah. Damar mencoba menjawab tapi mulutnya terasa kering.

"Hanya tupai hutan yang lucu," kata Alazar lalu mematikan rokoknya. "Kurasa keberadaan kami sangat mengganggu sir, kami akan segera pamit."

"Kau seharusnya sudah mengerti sejak tadi!" kata prajurit itu tertawa merasa menang lalu menendang kursi di sebelah Alazar hingga jatuh.

Pelayan mengintip di balik pindu dapur dengan hati-hati tidak ingin ikut campur.

"Janganah berlebihan," kata Alazar berpura-pura sabar.

"Jadi? Kau ingin urusan ini panjang? Kau tau siapa kami?"

"Hei sudahlah," kata Prajurit gemuk mendatangi.

Mendadak pindu kedai terbuka lagi, seorang pria berbaju prajurit yang lebih mewah muncul di balik pintu, zirahnya lebih mengkilap dan beberapa corak emas tergambar jubah punggungnya. Tangannya menenteng helm emas yang sedikit kurang bersinar, rambutnya panjang sebahu dan bergelombang, mukanya dipenuhi guratan bekas luka, tatapannya ringan dan tegas. Mata coklatnya diam mengamati anak buahnya di hadapannya.

"Piers! Tom! Aku mendengar suara keributan di luar sana, ada apa ini?" kata prajurit berpangkat lebih tinggi itu.

"Komandan!"

Kedua prajurit itu langsung membeku dan berbalik menghadap pria itu lalu menunduk.

"Kalian tidak sedang mengintimidasi penduduk lagi kan?" kata pria itu. Kita ke sini hanya untuk beristirahat sebelum melanjutkan pulang menuju Bardford. Apa sedikit belas kasih kita terhadap para petani di luar sana membuat kalian langsung besar kepala?" kata Komandan itu dengan nada tinggi.

"Maaf komandan!" kata Piers, kelopak matanya berdenyut.

"Jadi.." kata Komandan itu berjalan dengan pelan lalu mendekati Alazar, Damar, dan Will. "Kalian para penduduk Desa Grasta? Maafkan kelancangan bawahanku, kami akan segera kembali menuju Bardford."

"Tidak perlu sampai begitu tuan komandan," bersikap hormat. "Kami pun akan segera pergi, kami hanyalah pendatang, kebetulan kami juga sedang menuju ke arah Bardford tuan."

"Pendatang? Darimana asal kalian? Apa dua anak muda ini juga pengelana?"

"Ya benar, mereka yang mendampingiku berkenala, kami tertarik dengan dunia tengah, kami berasal dari desa di arah Utara yang jauh," kata Alazar mencoba mengarang.

Komandan itu diam sejenak, mempertimbangkan hal-hal di kepalanya.

"Kalian bisa ikut bersama kami, kebetulan kami masih memiliki kuda, kau bisa menggunakan kuda milik Tom, dan Tom akan berkuda dengan kuda Piers, lalu kedua pemuda ini bisa naik dengan kuda milikku."

"Sir, memberi tumpangan penduduk desa dengan kuda kerajaan akan menimbulkan masalah," kata Piers, raut wajahnya menajam dengan gugup.

"Mereka bukanlah penduduk, mereka adalah pengelana, aku ingin mendengar kisah perjalanan mereka, apa kau ada masalah?" kata komandan itu.

Piers lalu terdiam dan menggerutu.

Seketika kandang Silvar bergerak hebat, Damar panik seketika. Apa naga itu mencium bau sesuatu yang jahat? Atau dia hanya ingin buang air? Pasti dia sangat bosan! Pikir Damar. Bunyi berisik itu menarik perhatian dua prajurit bawahan si komandan. Mereka menatap dengan curiga dan sebelum Piers membuka mulutnya untuk brbicara, Komandan itu bergerak maju.

Tangan Damar mengepal, ia berkeringat hebat dan sangat gelisah. Apakah mereka akan ketaahuan di sini? Will yang berdiri sebelahnya berpura-pura tenang, tapi Damar dapat melihat raut wajahnya yang ketakutan.

"Aku memaklumi peliharaan yang tidak bisa diam," kata komandan itu tersenyum, guratan di wajahnya nampak jelas.

"Err, ya begitulah, maafkan," kata Damar bingung.

"Sekali lagi maafkan kami komandan," kata Alazar menunduk sopan. "Sudah kuperingatkan anak itu untuk tidak membawa Snoopy, yah begitulah aku memanggil nama tupai itu, dia mudah kelaparan dan inis eharusnya sudah jam makan dia."

Alazar mengambil tongkatnya dan menaruh beberapa koin perak di meja, "Kurasa kami harus pamit tuan-tuan yang terhormat."

"Kalian begitu terburu-buru," kata Komandan itu. "Jadi kalian tidak ikut bersama dengan kuda kami?"

"Sepertinya tidak tuan, kami lebih suka jalan kaki, naik kuda mudah membuatku mual, aku kuatir akan muntah di atas kuda itu, aku mudah mabuk darat," kata Alazar dengan wajah memelas yang dibuat-buat.

"Well, kalau begitu, apabila kalian tiba di Bardford, kalian bisa berkunjung ke rumahku, aku tinggal di pondok sebelah pohon Matoa terbesar di pinggir Bardford. Datanglah dan ceritakan perjalanan kalian, aku dengan senang hati mendengarkan kisah kalian, " katanya dengan ceria, Piers dan Tom terlihat tidak terima.

"Terima kasih atas kebaikanmu tuan, akan kami pikirkan nanti di sana."

Mereka meninggalkan kedai dengan langkah cepat, Damar mulai sebal karena silvar semakin memberontak di dalam kandangnya. Bunyinya kadang menarik perhatian orang-orang yang lewat di sekitarnya, tapi sepertinya mereka hanya menganggap itu sebagai buruan yang biasa.

Sewaktu mereka sudah berada cukup jauh dari desa, Will memperhatikan lingkungan sekitarnya. Napasnya masih terasa sesak karena mereka harus berhadapan langsung dengan komandan Gallard.

"Dia setara dengan Virlius?" kata Will gugup.

"Hampir, komandan berada di bawah prajurit elit Gallardian, para komandan menerima perintah langsung dari prajurit elit Gallardian tapi dia bukan bangsawan seperti virlius," kata Alazar duduk menyender di bebatuan yang besar.

Damar melepaskan silvar dari kandang, silvar merasa sebal dan menyeruduk kaki damar dengan tanduk kecilnya yang masih tumpul. Damar meminta maaf dengan mencoba mengelusnya, tapi silvar malah melompat lari dan menghilang di balik semak.

"Naga itu semakin besar," kata Damar.

"Seperti yang sudah kubilang, pertumbuhannya dari bayi hingga remaja sangat cepat, jangan kaget ketika cakar dia sudah cukup untuk menancap di balik kulit tipismu," kata Alazar mencibir.

"Tapi mengapa dia masih belum bisa berbicara denganku?"

"Karena benaknya belum cukup dewasa, seperti halnya dirimu ketika bayi, apakah kau bisa langsung mengucapkan 'aku kelaparan' heh?"

Will tertawa.

"Tapi mengenai leluconmu, snoopy dan mabuk darat, itu sangat menggelikan, kau pandai berbohong Alazar," Damar terkekeh.

"Kau harus bisa belajar mengendalikan situasi segenting apapun, berikan alasan yang cukup logis pada situasi seperti itu, kepanikan akan membunuh kalian lebih cepat dari yang kalian kira."

Damar dan Will mengangguk.

"Kita masih membutuhkan waktu hingga beberapa hari lagi hingga sampai ke Bardford, mulai besok kalian akan belajar dasar sihir, kita gunakan waktu perjalanan selanjutnya untuk melatih kemampuan sihir kalian," kata Alazar.

Will terlonjak senang, "Akhirnya, aku mempelajari hal selain bermain pedang!"

"Well, kau boleh merasa senang seperti itu sekarang karena belajar sihir akan membuat perutmu melilit berkali-kali lipat daripada kau memakan daging mentah danpa dikunyah sekalipun," kata Alazar menyeringai.

Damar dan Will memejam, mereka merasa sangat lelah, selanjutnya mereka membuat kemah sederhana dan menyalakan api unggun. Hari semakin gelap, di sekeliling mereka tampak cukup menguning karena sudah temaram. Silvar muncul di balik semak membawa seekor kadal hutan yang cukup besar. Dari kejauan titik-titik cahaya dari desa Grasta mulai terlihat.

Damar ingin segera memejamkan mata dan tertidur pulas, meskipun dia tidak berada di atas kasurnya yang nyaman di pondok kecil miliknya di Vardelle, tempat tidurnya kini juga terasa nyaman, karena Damar tau, mungkin hari-hari selanjutnya dia akan tidur dalam bayang-bayang musuh terbesarnya.