webnovel

Bab 31 - Trauma

Sejak kejadian sebelumnya terjadi, baik Bella maupun sang suami beserta Kenzi sedang menunggu sebuah kabar antara kabar baik atau buruk dari dokter yang tengah memeriksa kondisi Kezia.

"Sialan! Apa yang kamu lakukan pada adikmu? Itu adikmu, Kenzi!" teriak Bella frustasi pada putranya yang terus gemetar ketakutan dalam gendongan sang papa.

"Mama, jangan begitu pada Kenzi. Bukan kesalahan dia!" Suami dari Bella mencoba untuk menjelaskan. Sebetulnya hati kecil terluka, tapi apa boleh buat? Tak mungkin menyalahkan putra kandungnya.

"Dia membuat putriku terbujur kaku!" Diakhiri dengan tubuh yang bersandar pada dinding, terlihat seperti orang yang benar-benar kacau. Kaki yang lemas, membuat wanita itu mau tak mau semakin lama merosot ke lantai. Rambut yang sudah acak-acakan akibat pelampiasan kemarahan. "Putrikuuuu …" sambungnya terisak-isak.

"Ma, Papa tahu kalau Mama sedang sedih, tapi tolong jangan lampiaskan kesedihan mama terhadap putra kita. Dia ketakutan melihatmu seperti ini," tuturnya menjelaskan dengan lembut. Saat ingin menjawab perkataan sang suami, dari arah pintu terlihat dokter beserta beberapa suster keluar dari ruangan. Buru-buru mereka menghampiri dokter tersebut.

"Dokter! Dokter! Bagaimana keadaan putriku?" Tak sabaran Bella bertanya.

Diikutilah arah mata sang dokter yang terlihat seperti sedang berpikir cara untuk menjawab. Kegelisahan semakin melanda pada Bella. Tanpa basa-basi, kembali dirinya membuka suara. "Dokter, katakan apa yang terjadi pada putriku!" suruhnya dengan nada membentak membuat sang suami yang berada di sebelah mencoba untuk menenangkan.

"Pasien atas nama Kezia mengalami cedera otak yang menyebabkan kehilangan banyak darah. Saat di bawa ke rumah sakit, pasien sudah meninggal."

Ucapan singkat dan jelas dari dokter seperti sebuah bom dalam diri mereka yang tengah mendengar kabar itu. Sekujur tubuh terasa kaku dan mulut rasanya kelu untuk berbicara. Sosok wanita yang tadinya histeris kini tatapan matanya tampak kosong. Bagaimanapun dia hanyalah seorang wanita biasa yang tak memiliki kekuatan untuk tidak menangis. Putrinya telah tiada, tapi tetap saja ia belum percaya bila tidak melihat langsung.

"M–meninggal?" Kembali wanita itu mengulang sebuah kata yang terasa sangat menyakitkan.

"Iya, Bu. Saya beserta seluruh staf rumah sakit mengucapkan duka cita yang paling mendalam."

"Anak saya tidak mungkin meninggal, Dokkk!" teriak Bella histeris, bahkan tangannya mulai menarik jas yang dikenakan sang dokter.

"Hei! Tenang, Ma!" pekik suaminya saat melihat sang istri telah berada di luar kontrol.

"Bu, tolong lepaskan saya. Bila ibu bersedih jangan berlaku tidak sopan seperti ini!" Dokter itu juga berupaya untuk bebaskan diri.

"Putri saya tidak boleh meninggal, Dok! Bagaimanapun caranya, bagaimanapun harganya, Dokter harus menghidupkan kembali anak saya!"

"Sadar, Buuu!" hardik dokter tersebut. Sesaat semuanya hening, baik itu Bella yang tadinya berteriak bak kesetanan kini pun menutup mulut. "Maaf, Bu! Bila saya memiliki kuasa untuk menghidupkan seseorang, tak akan mungkin saya selama ini membiarkan pasien saya meninggal begitu saja. Namun, karena keterbatasan saya sebagai manusia biasa sehingga hidup dan matinya nyawa manusia itu di tangan Tuhan. Saya hanyalah seorang perantara yang Tuhan percayakan untuk membantu orang sakit, itu pun kesembuhan atas izin-Nya." Kembali dokter tersebut menjelaskan, siapa saja yang mendengar pasti terdiam.

"Maaf, ya, Dok. Perkataan istri saya menyinggung Dokter." Suaminya menyatakan permintaan maaf lebih dulu atas inisiatif sendiri. Bagaimanapun, dirinya sendiri tak membenarkan ucapan yang istrinya katakan.

"Tidak masalah, Pak. Lagian saya juga tidak marah dan hanya ingin meluruskan. Saya paham kesedihan ibu dan bapak atas kehilangan seorang putri karena dua tahun yang lalu saya juga merasakannya," jelas sang dokter bersikap untuk tetap tenang dan tersenyum. "Kalau tidak ada hal lain saya izin pamit, masalah jasad bisa dibicarakan pada petugas yang akan datang nantinya."

"Terima kasih, Dok," ujar pria itu saat melihat sang dokter yang mulai pergi.

Dalam pelukan ada istrinya yang diam membisa dengan pandangan kosong seperti tak ada kehidupan. Agar membiarkan istrinya tenang lebih dulu, berinisiatif lah pria itu untuk membawa Bella duduk. Namun, aksi yang istrinya lakukan secara tiba-tiba membuat dia dan Kenzi - putranya terkejut.

"Apa yang kamu lakukan, Ma?!" pekik pria itu melihat leher putranya dicekik oleh Bella.

"Dia yang membuat aku kehilangan Kezia dan dia juga harus membayarnya!"

Tercengap-cengap lah Kenzi pada saat itu, bagaimanapun juga pasokan udara yang harusnya dia hirup normal kini terhimpit oleh cekikikan. Terlebih lagi dia masih kecil, tak tahu akan terjadi seperti sekarang. Sedangkan papanya berusaha untuk melepaskan jari-jari yang begitu eratnya pada leher sang putra kecilnya.

"Ma, sadar! Dia Kenzi putramu! Putra yang telah kita nanti selama 12 tahun lamanya! 12 tahun, Maaa!" pekik pria itu mencoba untuk menyadarkan.

Berhasil! Memang berhasil karena cekikikan itu pun mengendur. Bella menyunggingkan senyum, seperti sedang menertawakan diri sendiri.

"12 tahun?" tanyanya dengan perasaan yang benar-benar kacau. "Kamu putra yang kunanti selama 12 tahun?" Lagi dan lagi dia bertanya. Kali ini jarinya menunjuk-nunjuk ke arah Kenzi, ekspresi wajah bisa dibilang sedang tidak baik.

"Ma, stop!" Pria itu kembali menahan tangan sang istri yang ingin berjalan mendekati Kenzi yang terlihat sedang mengatur napas.

"Kamu Kenzi, putra yang telah kunanti selama 12 tahun?" Takut akan mamanya, Kenzi hanya mengangguk-angguk. "Lantas kenapa harus kamu yang membunuh adikmu! Kenapa harus kamu, Kenziii!" teriaknya memukul-mukul badan kecil Kenzi yang sudah berdiri ketakutan.

Air mata yang terus mengalir tiada henti. Kenangan-kenangan pada masa seseorang itu masih ada, selalu terbayang-bayang dalam pikiran. Proses penguburan pun sudah berlalu dua minggu yang lalu, tapi tetap saja Bella sebagai seorang ibu belum bisa menerima kepergian putrinya secara mendadak. Masih dalam larutan kesedihan serta kebencian pada putranya yang dia cap sebagai pembunuh. Bahkan, suaminya sudah memisahkan antara ibu dan anak itu untuk tidak saling berkomunikasi lebih dulu.

Setiap Bella keluar kamar, maka pada saat itu juga Kenzi akan disembunyikan sang papa. Baik itu dalam kamar sendiri, kamar tamu, rooftop, maupun kamar adiknya. Kapan saja, Bella sering kambuh penyakitnya untuk mencari Kenzi agar dapat menyalurkan rasa kemarahan terdalam.

Akan tetapi, sebuah takdir memang tak dapat diubah. Pria yang bernama Jason itu dipanggil oleh RT untuk membicarakan suatu masalah. Dia telah berpesan pada Kenzi untuk tetap siap siaga dan memberitahu jadwal mamanya yang biasa keluar kamar. Sayangnya, saat asyik belajar di kamar, tak ada yang tahu ternyata Bella sudah ada berada di belakangnya dengan emosi yang siap meluap-luap.

"Pembunuh!" bentak Bella membuat Kenzi terkejut saat mengetahui mamanya berada di belakang. Ia pun segera lari, ingat betul bagaimana sang ayah memberitahu hal yang harus dilakukan bila bertemu mamanya.

"Jangan lari kamuuu!" erangnya marah saat tahu mangsa yang ada di depan telah kabur. Berlari- lari lah mereka di lantai bawah hingga tak menyadari bahwa telah menjatuhkan lilin aromaterapi ke dalam tumpukan kain.

Kenzi yang terus menghindar akhirnya naik ke lantai atas. Memasuki kamar orang tuanya dan mengunci pintu itu sedangkan Bella terus mengetuk-ngetuk, tapi tetap saja tak ada respon dari dalam. Berinisiatif untuk keluar rumah agar bisa berteriak dari luar melalui jendela yang langsung mengarah pada halaman rumah.

"Kenzi, sialan dirimu! Keluar!" pekik Bella kencang. Kenzi sendiri hanya mengintip-ngintip dari balik tirai, dia benar-benar ketakutan saat itu terlebih papanya belum pulang juga.

Dari luar, begitu terkejutnya Bella saat menyaksikan asap-asap hitam keluar dari beberapa jendela rumah bagian bawahnya. Dia keringat dingin saat orang-orang mulai mengerubungi rumahnya dan berteriak kebakaran.

"Mbak, Bella, apakah di dalam sana ada orang?" Pertanyaan dari beberapa tetangga membuat pikirannya menuju Kenzi. Dia sadar bahwa anaknya masih berada di atas sana, terkunci dalam kamar.

Seketika ia menjerit histeris menatap jendela itu. "Kenzi! Putraku ada di atas sana!" teriaknya seraya menunjuk ke arah jendela yang tertutup rapat.

Semua orang kelimpungan mencari cara agar dapat mengeluarkan anak itu. Telah dipanggil pemadam kebakaran dan saat jendela dibuka sudah terlihat Kenzi yang terduduk lemah sambil batuk-batuk.

"Ma, di mana Kenzi?" Suaminya pun datang saat mengetahui bahwa adanya tragedi kebakaran di rumahnya sendiri.

"Papa, Kenzi ada di atas sana!" tunjuk Bella dan benar saja beberapa petugas pemadam kebakaran mencoba untuk menyelamatkan.

"Kenzi!" teriak semua saat anak laki-laki itu telah selamat dalam gendongan damkar. Mata sayu yang terlihat ketakutan serta pernapasan juga ikut tersendat-sendat.

Sejak peristiwa itu, Bella merasa bersalah. Dia juga menyadari akan sikapnya selama ini yang terlalu berlebihan. Padahal dia juga tak bisa bila harus kehilangan putranya, tapi sayangnya Kenzi telah berubah. Dia bukan lagi anak laki-laki periang, melainkan pendiam dan tertutup. Memang Bella menyesali perbuatannya, tapi tetap saja takdir tak dapat diubah-ubah.

"Berarti, sikap pendiam Kenzi saat ini karena trauma masa lalu?" tanya Widya saat Bella telah mengakhiri cerita.

"Ya, betul sekali. Mama merasa begitu bodoh dan tak pantas bila Kenzi masih menerima mama sebagai mamanya." Kepala Bella menunduk, ia menahan tangis. Bila diingat-ingat luka lama itu membuat hatinya kembali tergores.

"Jangan menangis, Ma. Luka masa lalu tak perlu menyalahkan siapapun. Jadikan saja pelajaran dan yang terpenting Kenzi masih menerima mama. Lama-kelamaan dia pasti bisa jadi lebih terbuka lagi."

"Kalau begitu, kamu berjanji untuk merubah Kenzi jadi balik seperti dulu lagi?" Sontak Widya menunduk. Bukannya tak mau, tapi dia sendiri saja masih bingung dengan hubungan mereka.

Keterdiaman sang menantu dapat Widya tangkap, lantas ia pun mendesah kecewa. "Mama tahu kamu pasti berat–"

"Aku akan berusaha, Ma," potong Widya.