webnovel

Part 15

~Secercah ingatan menyelusup dalam hening malam, menyisakan gelap yang kelam, menyakiti di setiap cercahnya, menyebabkan isak yang penuh penyesalan~

***

Author

Jam ekstrakurikuler membuat cowok itu jengah. Ia bosan di kelas, tapi ia juga malas harus keluar kelas. Akan banyak pasang mata yang akan menatapnya bahkan ada yang menanyakan namanya. Ingin sekali ia mengutuk seragamnya yang berbeda ini. Kenapa sekolah barunya belum juga memberi seragam? Ia risih terlihat berbeda dan asing.

Ia menatap malas ke arah lapangan, maniknya menangkap jelas laki-laki yang memukulnya beberapa hari lalu. Hembusan napas kesal terdengar berat darinya. Langkahnya terus menuju gedung besar yang berisi banyak buku itu. Ia tak ingin membaca salah satu dari mereka, ia hanya ingin duduk di sana menjauhi keramaian.

Bilik di pojok menjadi pilihan utamanya, ia yakin tak ada orang yang ada di sana. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat gadis dengan manik abu-abu yang sedang tenggelam dalam aksara yang sedang ia baca. Namun, ia pikir kehadirannya tak akan mengganggu. Akhirnya dia menjatuhkan dirinya pada kursi di dekat pintu bilik. Suara derit kursi bahkan tak membuat gadis yang duduk di pojok itu bergerak atau melirik barang sesenti pun. Cowok itu merasa aman. Tangannya merogoh saku celananya, mengambil ponsel dan mengutak-atiknya.

"Lu kenapa sih harus pindah ke sekolah ini?" Suara rendah tapi menusuk itu tiba-tiba saja memenuhi indra pendengaran pemilik manik coklat itu. Bola matanya ia putar malas.

"Lu itu ya, belum cukup juga?" Suara itu sedikit meninggi, bahkan sempat membuat sang manik abu-abu yang tadi diam sedikit risih dan menggeser kursinya agak menjauh.

"Ini perpus, jangan buat kegaduhan. Lagian lo tau apa tentang gue?" Akhirnya laki-laki dengan iris coklat itu membuka suara.

"Mama gak suka ada lo. Jadi gue minta lo jauhin keluarga gue! Dan inget, gue tau mama lebih dari yang lo tau!"

Laki-laki yang masih diam di tempatnya itu berdecih.

"You may know her, but you don't know me!"ucapnya lalu bangkit dan meninggalkan tempat itu. Gadis yang sedari tadi mencoba diam kini melirik tajam ke arah cowok yang masih memakai seragam basket sekolahnya itu.

"Lo bisa gak sih, gak usah buat kegaduhan di deket gue. Gue muak!"cecarnya lalu ikut meninggalkan sang hazel.

***

Ero sudah terlalu lelah menahan pikiran di benaknya. Kini ia memutuskan untuk menemui mamanya. Ia harus menanyakan hal ini. Sepuluh tahun kiranya mamanya menyembunyikan hal ini. Malah membuatnya semakin jengah dengan pria yang tak pernah ia sukai itu.

"Mbak, Ibu Vani di mana ya?"tanyanya pada seorang karyawan di kantor milik papanya yang sekarang dikelola oleh Vani.

"Oh, nona Artemis. Beliau sedang rapat. Mau menunggu di lobi atau di ruangan Ibu Vani?"tanyanya berusaha ramah pada anak atasannya.

"Hm, di ruangannya aja, mbak. Deket sama ruang meeting kan?"

"Iya. Mau saya antar?"

"Tidak perlu, mbak. Terima kasih," ucapnya lalu segera melangkahkan kakinya menuju ruang yang sudah lama tak ia kunjungi. Seakan ia tak ingin mengingat saat ia masih menunggui papanya di ruangan itu hanya karena papanya lembur. Miris harus kembali ke ruangan penuh kenangan itu. Namun, ia tak suka berada di lobi, ia tak suka dengan langkah kaki yang berseliweran. Maniknya menangkap beberapa foto pria yang begitu ia sayangi masih terpampang di dinding kantor itu. Sudut bibirnya terangkat bersamaan dengan bulir yang jatuh dari ujung matanya. Namun, tangannya dengan cepat menghapus bulir itu. Pandangannya teralihkan ketika pintu ruangan di depannya terbuka, nampaknya rapat sudah selesai. Manik abu-abunya menangkap mamanya yang sedang bersalaman dengan laki-laki yang sepertinya rekan kerjanya. Tunggu, laki-laki itu yang menabraknya dan menolongnya. Entahlah, Ero belum tau siap namanya. Namun, gadis itu ingat betul karena ia sudah terlalu sering bertemu dengan cowok itu. Tak dipungkiri, tampilan cowok itu seakan menipu bahwa ia sedang menempuh pendidikan SMA, bahkan lebih muda darinya.

"Sayang, ngapain?" Suara itu membuyarkan lamunannya. Ia berjalan mendekati mamanya. Tatapannya bertabrakan dengan manik coklat milik cowok yang baru saja pamit pada mamanya. Tak lama, tapi seakan penuh makna. Gadis itu melupakan sejenak tentang cowok itu.

Kini pemilik manik abu-abu itu sudah berada di sebuah ruangan bersama mamanya.

"Ero mau tanya, tolong mama jawab dengan jujur. Pria di rumah kita itu memiliki anak, kan?"

"Sayang tolong, jangan panggil papamu dengan sebutan 'pria itu'"

"Sudahlah, Ma. Jawab saja yang aku tanyakan. Aku sudah terlalu lama diam akan hal ini. Tidakkah mama memberi tahuku sedikit saja?"pinta gadis itu. Wanita yang tadi berdiri di depannya memilih berbalik, menatap ke arah luar jendela ruangannya.

"Iya, Dandi punya anak, bahkan masih satu sekolah sama kamu," suara wanita itu bergetar. Gadis yang mendengar kenyataan itu tersenyum kecut.

"Lalu kenapa dia harus ninggalin anaknya? Kenapa? Apa dia gak mikir gimana perasaan anaknya?" Ero masih penasaran.

"Cukup, mama pikir itu saja yang perlu kau ketahui."

"Ma, aku udah besar. Aku berhak tau kenapa pria itu tiba-tiba datang ke rumah kita dan tinggal bersama kita lalu Mama memintaku memanggilnya dengan panggilan papa"

"Cukup, Mama gak mau jawab pertanyaanmu lagi,"

Deru napas gadis mungil itu mulai menggema. Tak perlu menunggu lama, ia meninggalkan ruangan itu tanpa mengucapkan sepatah kata lagi.

***

"Lo yakin gak mau balik ke rumah?"

"Buat apa?"balasnya santai sambil memakan camilan yang ada di kamar Alfa.

"Lo gak mikir tuh kepala udah hampir pecah?"

"Kalo gue balik malah pecah ni batok. Bego amat sih lu,"

Hari ini Gamma memilih tidak masuk sekolah karena jahitan di kepalanya masih terasa berdenyut. Apalagi harus pulang, ia terlalu malas di rumah itu. Bahkan, mamanya saja tidak menghubunginya selepas kepergiannya dengan wajah berdarah karena pria yang katanya mamanya itu cintai. Kadang ia tak paham kenapa mamanya lebih memilih laki-laki bejat itu daripada papanya yang begitu menyayanginya.

.

.

.

.

.

.

Votenya ya:))