webnovel

14. Kelangsungan Akad Nikah

Rasa takut pada diri Jojo sangat mengganggu. Ia benar-benar takut jika Sari membatalkan pernikahan ini dengan berdalih tidak ada emas kawin. Namun, apakah Sari seperti itu?

"Bu, Sari sudah baca chat Jojo tapi tidak balas. Apa dia marah?"

Ibu Ning melihat ke arah gawai Jojo. Ya, pesan itu telah tertanda menjadi ceklis berwarna biru. Lalu, Ibu Ning mengambil gawainya dari dalam tas. Ia menghubungi nomor Ibu Ani. Lama panggilan itu tidak mendapat jawaban. Hingga Ibu Ning merasakan kecemasan Jojo juga.

Padahal keadaan Sari dan ibunya di rumah adalah sedang mencari sebuah cincin perak yang pernah Jojo berikan pada Sari dulu.

Sari lupa menaruh cincin itu karena ia sempat melepaskannya beberapa tahun lalu.

"Gimana, Mbak, ketemu?" tanya seorang perias.

"Ah… ini dia!" seru Sari.

Sari menemukan cincin itu di dalam saku tas yang lama tidak ia pakai. Cincin perak dengan warna putih yang masih tampak mengkilap. Benda yang mengingatkan Sari pada rasanya dulu terhadap Jojo.

Ia tersenyum simpul kala ingatan itu muncul. Betapa anehnya, bahwa ia pernah mengungkapkan perasaan dan tidak dibalas. Lalu, sekarang justru mereka menikah. Sari mencoba memasukkan cincin itu ke jarinya. Masih muat. Mungkin karena bobot badannya tidak berubah.

Jemari pun masih sama ukurannya dengan dulu.

"Sini Ibu siapkan. Kamu lanjut make-up," ucar Bu Ani.

Sari tersadar dalam lamunan. Ia tersenyum. Gegas memberikan cincin itu kepada ibunya. Ibu Ani pun kembali ke kamar, mencari kotak perhiasan miliknya untuk dipergunakan sebagai tempat cincin tersebut.

Ibu Ani tidak memperhatikan gawainya yang terus berdering. Benda itu berada di dalam tas yang ia letakkan di ranjang Sari. Kesibukkan semua orang tidak ada yang memperhatikan.

Setelah selesai mempersiapkan cincin perak, Ibu Ani berniat menelpon Ibu Ning untuk memberi kabar. Sari yang sudah mulai berhias lagi tidak sempat memberi kabar ke Jojo. Waktu telah semakin dekat. Ia harus segera rapi dari make-up.

Ibu Ani melihat ada dua panggilan tak terjawab dari Ibu Ning. Segera ia ingin menelpon balik. Sebelum jarinya menyentuh panggilan ke Ibu Ning, panggilan dari calon besannya telah masuk lebih dulu.

Segera Ibu Ani mengangkatnya dan menyapa dari balik telepon. Ibu Ning yang berpikir Ibu Ani belum mengetahui masalah cincin kawin, ia menjelaskan dan meminta maaf terlebih dulu.

"Iya, Bu Ning. Sari sedang make-up. Tidak bisa membalas pesan Jojo. Kami juga sudah menemukan solusi," jawab Ibu Ani kala Ibu Ning menanyakan penggantian emas kawin.

Ibu Ning yang penasaran, mengaktifkan pengeras suara pada gawainya. Lalu mempertanyakan tentang solusi yang Ibu Ani maksud. Ibu Ani menceritakan bahwa Sari menerima emas kawin yang akan diubah menjadi uang tunai. Sebagai simbol pengikat jari, Sari mau Jojo melingkarkan cincin perak yang pernah ia belikan dulu.

Sontak Jojo yang mendengar perkataan Ibu Ani, bingung. Cincin apa? Apa ia pernah memberikan Sari cincin? Jojo berpikir keras, mengingat-ingat kejadian lampau. Namun, ia tidak berhasil mengingatnya. Justru yang terlintas dalam ingatan Jojo bahwa Sari yang sering memberi cinderamata sebagai kenang-kenangan. Seperti dompet dan sabuk yang ia terima beberapa tahun lalu.

Bahkan Jojo pun baru sadar, barang-barang itu masih dipakai hingga sekarang.

"Bu, tanyain cincin yang mana?" ucap Jojo.

Ibu Ning pun segera bertanya. Terdengar suara tawa Sari dari balik gawai. Lalu berbisik ke Ibu Ani.

"Kata Sari cincin perak yang kamu belikan di mal seharga seratus ribu. Apa kamu tidak ingat? Saat itu pula, Sari memberimu sebuah dompet."

"Oalah…," ucap Jojo.

Ia merasa malu. Mengapa seolah semua kejadian sebuah kebetulan yang telah diatur Tuhan sedemikian rinci. Jojo setuju dengan keputusan Sari. Ia tidak menyangka, ternyata calon istrinya itu masih menyimpan cincin murahan yang pernah ia belikan.

***

Jojo dan rombongan pun tiba di kediaman Sari. Mereka disambut dengan baik. Ibu Ani yang sudah siap menanti di pintu masuk, mengalungkan bunga melati ke Jojo. Lalu, ayah Sari menuntun Jojo ke kursi akad yang telah disiapkan panitia.

Di ruang yang berbeda. Sari baru selesai menggunakan kebaya putih. Ia berdiri, siap berfoto. Seorang photographer telah mengambil gambarnya berulang. Mencari gambar terbaik untuk momen bahagia ini.

Acara diluar sudah dimulai. Pembawa acara melakukan pembukaan serta penyambutan. Tak lama seorang tokoh agama membacakan doa untuk mengawali acara yang penuh hikmat ini. Ada linangan air mata yang tertahan dari ujung mata Ibu Ani. Menatap calon menantunya yang telah duduk di bangku akad ditemani suaminya dan dua orang saksi.

Tak lama seorang penghulu tiba. Seorang panitia menyambut dan mengantarkan ke meja akad. Pembawa acara mempersilakan pengantin wanita memasuki meja akad. Tentu, ini momen yang dinanti semua tamu. Tak sabar melihat aura dari kecantikan sang pengantin.

Puluhan pasang mata memandang ke arah Sari. Ia didampingi oleh dua orang kakak sepupunya. Mengantarnya duduk di bangku akad. Ada malu pada hati Jojo untuk melihat ke arah Sari. Namun, hatinya penasaran. Ia pun menoleh.

Melihat penampilan gadis yang terbiasa sederhana tanpa riasan, tampak sangat berbeda kala wajahnya dirias. Pangling. Jojo tersenyum malu.

Beberapa detik Jojo terpana tanpa kedipan menatap Sari. Hal itu disadari oleh penghulu yang duduk berhadapan dengannya.

"Sabar, Mas. Nanti juga boleh memandang sepuasnya kalau sudah sah," ledek penghulu itu.

Jojo tersipu, begitu pun Sari. Ia menoleh ke arah lelaki di sampingnya. Tersenyum simpul.

"Mbak, ini benar calonnya?" tanya penghulu. Sari mengangguk. "Masnya ragu. Makanya tadi menatap Mbak tanpa berkedip. Beda, ya, Mas?" ledek penghulu lagi.

Para hadirin ikut tertawa melihat tingkah Jojo yang tersipu.

"Coba Mas, perhatikan baik-baik. Benar nggak ini calon istrinya? Jangan sampai ada judul sinetron istri yang tertukar."

Kembali tawa terdengar di sana. Sengaja penghulu membuat suasana agar tidak tegang, beliau melontarkan canda sebelum memulai acara.

"Sudah benar, Pak," jawab Jojo.

"Alhamdulillah. Baik. Saya lanjut memulai, ya?"

Penghulu melanjutkan acara. Semua tampak serius dan tegang menanti momen ijab itu dikabul.

"Saya terima nikah dan kawinnya Permatasari Rosyadi binti Muhammad Al-Fattah dengan mas kawin sebesar sepuluh gram dibayar tunai."

"Tidak sah," jawab ayah Sari. "Bukankah emas kawinnya diganti uang tunai?"

Jojo lupa dengan kejadian emas kawin. Ia sudah latihan membaca ijab kabul dengan emas kawin seberat sepuluh gram. Meski tadi saat latihan dengan penghulu sudah benar dengan uang tunai.

Entah mengapa saat tidak latihan ia sangat grogi sehingga salah mengucapkan ijab itu.

"Nggak apa-apa. Tenang, Mas. Masih bisa diulang." Jojo pun mengangguk.

Penghulu mengajaknya latihan sekali lagi, lalu mengucap ijab itu.

"Saya terima nikah dan kawinnya Permatasari Rosyadi binti Muhammad Al-Fattah dengan mas kawin uang sebesar sepuluh juta rupiah dibayar tunai."

"Sah!" Serempak, suara dari para saksi dan puji syukur dipanjatkan dari semua orang yang hadir.

Sari tak mampu menahan haru. Begitu pun Ibu Ani dan Ibu Ning yang telah meneteskan air mata. Ibu Ning sangat senang, Jojo bisa menikah dengan Sari. Wanita pilihannya. Perempuan sopan yang bertamu ke rumahnya enam bulan lalu.

Cara Sari mencium takzim punggung tangan kedua orang tua Jojo. Sangat terlihat ia adalah anak yang patuh di mata Ibu Ning. Senyum ramah. Lembut bicaranya. Bahkan ketika amarah belum reda, ia tetap bersikap ramah kepada keluarga Jojo. Tak hanya itu, sampai acara akad nikah selesai pun Sari tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada orang tuanya, tentang masa lalu Jojo yang hampir membuat keduanya batal menikah.

Bagi ibu Ning, itulah mantu idaman. Tidak harus cantik wajah yang terutama adalah seorang wanita yang mampu menjaga sikap dan menutupi keburukan lelakinya.

"Kamu cocok dengan Nak Sari. Mengapa tidak menikah saja?" ucap Bu Ning waktu itu.

"Apa sih, Bu? Aku cuma anggap teman kok. Sudah seperti adikku sendiri."

"Mau cari jodoh yang seperti apa? Mantanmu? Halah… cantik doang! Lebih baik kamu pikirkan baik-baik nasihat ibu."

Jojo tak menjawab malam itu. Ia yang baru pulang mengantarkan Sari ke penginapan, segera masuk ke kamarnya. Terdiam memikirkan ucapan Ibu Ning. Bagaimana mungkin ia menuruti kemauan Ibu Ning, sedangkan ia sedang menjalin hubungan dengan wanita lain tanpa keluarga tahu.

Akan tetapi, ia juga tidak bisa meminta keluarganya untuk memilih kekasihnya. Ia tahu betul, sudah pasti mereka tidak akan setuju jika mengetahui latar belakang suku dan model berpakaian Erika. Jojo berniat mengubah cara berpakaian Erika terlebih dulu, tapi tidak mudah. Butuh waktu. Mungkin enam bulan lagi atau lebih. Setelahnya, baru Jojo memberanikan diri untuk membawa gadis itu ke rumah.

Jojo menyusun rencana itu dengan matang. Agar keluarganya bisa menerima Erika kelak. Erika dimata Jojo gadis manja yang butuh kasih sayang. Ia pun memiliki sikap yang sangat perhatian, perlahan tapi pasti orang tuanya bisa menerima keputusan ini. Tak terasa, Jojo terlelap memikirkannya.

Saat terlelap, Jojo bermimpi. Cuti kerja dan pulang ke rumah. Namun, rumahnya ramai orang. Ketika ia melihat ke dalam, ibunya telah berbaring kaku berbalut kain putih. Kening Jojo bercucuran keringat. Ia terbangun dengan napas terengah-engah. Bersyukur hanya sebuah mimpi, pikirnya.

Jojo berjalan menuju dapur, ingin mengambil segelas air putih. Namun, ketika melewati ruang kamar orang tuanya, terdengar lirih suara Ibu Ning menangis dalam sujudnya. Memohon kepada Sang Pemberi Jodoh untuk menyegerakan putranya menikah. Ia khawatir tidak dapat melihat wanita yang mendampingi putranya.

Bersambung….