webnovel

Kesembuhan James

Sudah seharian penuh gadis itu masih menulis dan menatap catatannya yang sudah penuh dengan goresan huruf dan coretan demi menerjemahkan semua kode rahasia dalam sepucuk surat dari sang ayah. Semakin diterjemahkan semakin membuat rasa penasarannya memuncak hingga kode terakhir terpecahkan barulah membuatnya merasa lebih lega. Mungkin dahaga atas rasa penasaran yang telah merongrong hatinya sedari tadi jika tidak segera dipenuhi seakan bisa membuatnya mati terkapar saat itu juga. Gadis yang tidak mengenal kata menyerah itu pun tidak menunggu lebih lama lagi untuk membaca versi lengkap yang sudah diterjemahkannya sendiri. Ada rasa ketidakpercayaan dan keraguan yang dirasakannya terhadap isi surat tersebut. Rasanya ia masih belum bisa mempercayai bahwa ayahnya akan menuliskan surat seperti itu kepada pria yang hanya merupakan putra angkatnya saja. Apakah Enrique begitu menyayangi Jade batinnya. Dengan mulut yang masih menganga besar yang ditangkupnya dengan tangannya beserta peluh keringat yang telah menetes di sekitar wajahnya meskipun AC ruangan telah dihidupkan, tidak meruntuhkan niatnya untuk tetap meneruskan kegiatan membacanya dengan wajah yang terlihat begitu serius hingga ia tidak menyadari bahwa Jade telah mengetuk pintu kamarnya dan memanggilnya sedari tadi. Merasa penasaran dengan apa yang sedang dibaca oleh gadis itu, Jade segera berdiri di samping gadis itu dan melirik surat yang ternyata isinya telah diketahuinya. Ivory yang terlalu serius seketika bergumam dan membuat Jade meledeknya hingga ia baru menyadari keberadaan pria tersebut.

"Apa aku gak salah artikan surat dari papa ini ya?" gumam Ivory kembali melirik catatannya.

"Apanya yang salah sih princess?" ujar Jade yang melirik gadis itu dengan tatapan jahilnya yang segera membuat Ivory terperanjat.

"Jade? Ngagetin aja sih? Kok kamu bisa ke sini?" ujar Ivory dengan wajah yang terlihat pucat.

"Lagian serius banget. Aku dari tadi udah terus ngetuk pintu tapi gak dibukain, jadi karna pintu juga gak dikunci ya aku langsung masuk. Sekarang baru paham isi surat dari papa ya?" ujar Jade seraya menduduki samping ranjang dan menghadap gadis itu, namun Ivory yang merasa masih malu hanya memilih untuk membungkam dan masih menatap surat tersebut.

"Aku udah ganggu kamu ya? Ya udah deh, aku keluar dulu ya, nanti baru kita bahas lagi," ujar Jade mengulurkan senyum tipis dan segera beranjak pergi, namun gadis itu segera menahan lengannya.

"Sekarang aku baru memahami apa maksudmu kemarin. Sekali lagi aku minta maaf karna udah gak percaya sama kamu kemarin. Aku benar – benar egois dan menyesali perbuatanku. Apa kamu gak pernah membenciku?" ujar Ivory lirih, membuat pria tersebut tertawa kecil dan segera memeluk gadis itu.

"Bukannya udah kukatakan kalo aku gak pernah menyalahkanmu yang sedang emosi saat itu? Sedikitpun gak pernah terbersit dalam pikiranku untuk membencimu. Perasaanku terhadapmu masih sama hingga sekarang dan gak akan pernah berubah. Mulai sekarang aku akan berusaha lebih keras lagi untuk membantumu supaya cepat sembuh dari rasa sakitmu. Aku lega karna akhirnya kamu percaya padaku sekarang. Sungguh, dari dulu gak pernah sekalipun aku berniat untuk menyakitimu, karna itu hanya akan menyakiti diriku sendiri. Kamu harus ingat itu ya. Maaf kalo aku terkesan udah menyakitimu dulu. Kini aku akan memperbaiki semua kesalahanku padamu dan kali ini, aku gak mau kehilangan kamu lagi Iv. Kamu janji ya, gak akan pernah pergi dariku lagi," ujar Jade yang sudah menatap lekat gadis itu lalu mengecup keningnya. Gadis itu segera mengulurkan senyum dan membalas pria tersebut dengan sebuah anggukan.

"Terima kasih karna kamu udah mau memahamiku Jade, tapi bukannya dengan begini akan gak adil bagimu?" Jade segera menutup lembut kedua bibir gadis itu dengan jari telunjuknya.

"Ini bukan masalah adil atau nggak. Ini menyangkut masalah hati dan waktu. Tenang aja, aku juga gak akan pernah memaksa atau menyalahkanmu andai pun kamu gak pernah bisa menerimaku. Jadi jangan pernah merasa bersalah ya. Jangan jadi gadis yang bodoh. Hatimu hanya kamu yang mengetahuinya dan gak akan ada yang pernah bisa menyetirnya. Kamu hanya perlu mendengarkan apa katanya. Jangan dengarkan orang lain," Ivory kembali mengangguk dan melemparkan sebuah senyuman manis pada pria tersebut.

Hari berlalu begitu cepatnya hingga tidak terasa sudah sebulan penuh James meninggalkan apartemennya demi menjalankan operasi besar dan akhirnya kini ia telah kembali dengan wujud yang sama namun dengan sedikit perbedaan tipis pada wajahnya. Wajah tersebut seakan telah dipermak menyerupai dirinya yang dulu dan hanya terlihat sedikit berbeda dari wajah sebelumnya. Serupa tapi tak sama. Itulah gambaran wajah yang dimilikinya pada saat ini. Kini ia bahkan sudah mampu berjalan seperti sedia kalanya. Ia teringat bahwa sebelumnya ia pernah menitipkan mobil kesayangannya di sebuah dealer kepercayaan dimana sang pemiliki merupakan teman terbaiknya yang selama ini telah menjaga dan merawat si abu – abu kesayangannya itu. Tidak sabar lagi rasanya bagi James untuk memberitakan kabar tersebut. Cynthia pun merasa terharu melihat keadaan suaminya yang kini telah terlihat jauh lebih segar dan berangsur – angsur membaik.

"Aku senang banget akhirnya kondisimu udah kembali lagi seperti terakhir kalinya aku melihatmu James,"

"Aku juga sayang, aku bahkan lebih bersyukur karna akhirnya bisa kembali melihat wajah cantik wanita yang paling kucintai dari dulu hingga sekarang ini dengan kedua mataku," ujar James mencolek kecil dagu wanita yang kini duduk disamping kursi kemudinya.

"Apaan sih James, gombal aja deh kamu. Kita ini udah tua. Malu kalo sampai anak – anak tau."

"Untuk apa malu Cyn, anak – anak juga pasti ngerti lah. Oh ya, kemarin kamu cerita ya, kalo Ivy ada ngabarin mengenai bosnya yang udah menjalankan misi untuk menghancurkan psikopat itu?"

"Ya James, sepertinya bosnya sangat serius dengan perkataannya. Kabar terakhir yang kudengar dari Ivory adalah orang itu udah sempat menginvestasikan sebagian besar harta kekayaannya untuk dilipatgandakan. Entahlah, mungkin kita bisa menanyakannya lebih jelas nanti kepada mereka," ujar Cynthia masih menatap ke depan jalanan.

"Sayang, kamu ingin punya anak gak?"

"Hmmm…? Kenapa kamu tiba – tiba menanyakan hal itu James? Bukankah tadi pernyataanku udah cukup jelas kalo kita udah cukup tua sayang."

"Aku tau, tapi bukan anak biologis maksudku. Melainkan anak asuh."

"Memangnya siapa yang mau jadi anak kita sayang? Aku jadi penasaran deh.

"Tunggu sebentar. Aku ada kejutan untukmu," ujar James seraya menyalakan panggilan video yang sebetar lagi akan menunjukkan wajah Jade.

"Halo Jade, apa kabarnya di sana? Apa kamu udah mempersiapkan segala sesuatu yang paman minta nak?"

"Udah paman, ini juga aku sedang beresin semuanya. Paman gak usah khawatir, pokoknya aku akan segera mengabari paman begitu semuanya selesai," ujar James sembari mematikan ponsel.

"Terus apa hubungannya semua ini dengan anak muda itu James?"

"Apakah kamu gak keberatan kalo nantinya kita mengadopsi Jade untuk menjadi putra kita? Aku hanya ingin anak itu dan kita berdua merasakan indahnya memiliki keluarga utuh sendiri. Aku begitu kasihan pada anak itu. Sedari kecil bahkan hingga sekarang mungkin ia belum pernah merasakan kasih sayang dari orang tuanya apalagi setelah kematian ibunya sejak ia kecil, sedangkan ayahnya? Lebih memilih untuk hidup foya – foya tanpa rasa bersalah sedikitpun karena telah memecah belah keluarganya sendiri," ujar James menjelaskan.

"Aku setuju dan mendukungmu sepenuhnya. Tapi bagaimana dengan Ivy? Apa dia gak akan sedih ketika merindukan sosok papanya?"

"Ivy pasti akan mengerti. Toh ini cuma sebagai formalitas saja untuk mengesahkan." Cynthia kembali mengiyakan permintaan sang suami serta mengusap wajah lelaki itu seraya tersenyum bangga pada sosok James yang begitu bijaksana dan penyayang.

Malam itu, Ivory dan yang lainnya merasa heran dengan suara klakson mobil silver yang berhenti di depan apartemen yang tidak begitu luas tersebut namun masih cukup untuk menampung beberapa manusia di dalamnya. Ivory segera membukakan pintu ketika kedua sejoli tersebut telah menekan bel pintu seraya memakai kacamata hitam dan masker untuk mengelabui dan menarik perhatian seisi rumah. Ivory yang sudah membukakan pintu hanya bisa membelalak, merasa heran dan tidak langsung mengenali kedua orang tersebut, membuat mereka tertawa lepas dan segera menunjukkan sosok wajah mereka.

"Surprise…"

"I…ini…Paman?" Cynthia segera menganggukkan kepalanya pasti.

"Kok kaget sih keponakan paman tersayang. Sini dong, gak kangen sama paman dan bibi apa?"

Keduanya segera kembali larut dalam suasana haru, begitu juga dengam Cynthia dan disusul dengan yang lainnya. Suasana haru dan gembira segera mengisi kekosongan di tempat tersebut. Bagaikan seorang guru, James segera memboyong seluruh muridnya untuk melanjutkan pembicaraan di dalam rumah. Semuanya sudah bersiap untuk mendengarkan wejangan dari sang guru yang kini sudah dalam wujud berbeda dari sebelumnya.

"Keren," ujar Ivory masih menatap pamannnya kagum.

"Hah? Kamu barusan memuji pamanmu ini keren ya?" ujar James tertawa terbahak - bahak untuk mencairkan suasana tegang.

"Ah, bukan itu paman. Maksudku keren aja, wujud paman yang sekarang bisa terlihat berbeda sedikit dari yang terakhir kalinya. Keren aja sih menurutku," ujar Ivory merasa kesulitan menjelaskan.

"Bisa aja kamu nak, ya udah, ngomong – ngomong ada hal penting yang harus kusampaikan sekarang dan nanti. Yang sekarang, aku ingin mengabarkan bahwa besok pagi semuanya stay dulu di rumah karena ada seseorang yang akan bertemu dengan kalian dan ini berhubungan dengan sesuatu yang teramat penting bagi masa depan kalian," ujar James membuat kedua insan tersebut saling melemparkan pandangan. Siapa lagi kali ini batin mereka.

"Memangnya siapa paman?" tanya Ivory penasaran.

"Besok juga kalian akan tau. Kalian hanya perlu menyiapkan mental. Untuk berita yang satunya lagi akan aku umumkan lagi nanti diwaktu yang tepat. Sekarang udah waktunya bubar dan istirahat dulu ya," ujar James terkekeh agar mengundang rasa penasaran para penghuni tersebut.

Dan benar saja, malam itu Ivory seakan tidak bisa melelapkan dirinya untuk memasuki alam mimpinya karena rasa penasaran yang kembali merangsang pikirannya. Sesuatu yang teramat penting apa lagi batinnya.