webnovel

Cinta Diujung Kabut

Rukha memutuskan berangkat ke Yogyakarta untuk belajar Seni Batik Tulis agar ia mendapati perhatian dari sang Ayah. Disana Rukha bertemu dengan seorang pemuda bernama Ghandy yang tidak lain adalah anak dari Larasati seorang seniman Batik Tulis yang nanti nya akan melatih Rukha. Mereka saling memendam rasa yang mendalam. Kisah lampau yang telah lama terkubur kembali terkuak ketika Rukha menceritakan kepada Larasati tentang alasannya belajar Seni Batik Tulis. Rahasia besar satu-persatu terungkap, membuat semua orang terjerat dalam belenggu perasaan yang menyakitkan. Sanggupkah Rukha dan Gandhy menghadapi kenyataan pahit cinta yang telah menjerat bagai akar beringin tak berujung? Bagaimana hidup ini bisa begitu kejam dalam mengisyaratkan sebuah cinta. Ikuti kisah Rukha dan Gandhy yang penuh Tragedi dan air mata. -KembangJati-

KembangJati · 都市
レビュー数が足りません
24 Chs

Tak ada waktu baginya sekedar minum teh bersamaku.

"Kau tidak perlu sungkan Hanum, Rukha anak yang baik. Dia tidak pernah merepotkan."

Ningrum berbicara melalui telepon rumah yang diletakkannya diatas meja kecil yang berada disudut ruang keluarga.

"Rukha sedang dikamrnya, apa Kau mau berbicara dengannya?"

"Aaaa… tidak usah Ningrum, biarkan Dia istirahat."

Terdengar sayup suara Hanum melalui pesawat telepon rumah Ningrum.

Hanum dan Ningrum sering berhubungan semenjak kedatangan Rukha kerumah Ningrum.

Ia selalu menanyakan kabar putri semata-wayangnya yang kini jauh darinya.

Meski Hanum sangat merindukannya, ia tidak ingin berbicara terlalu sering padanya. Karena ia tidak mau anaknya menanggung rindu terhadapnya.

Hanum masih menggenggam telepon rumah yang berada ditelinganya.

Ia tampak tersenyum dalam kehampaan.

"Besok Rukha mulai berlatih?"

"Iya, Aku rasa Dia tidak akan membutuhkan waktu yang lama. Karena Rukha terlihat seperti anak yang cepat untuk belajar, apalagi Dia mendapatkan guru yang sangat tepat untuk melatihnya." Ujar Ningrum yang terdengar dari telepon rumah milik Hanum.

"Syukurlah, Aku benar-benar tidak salah menitipkannya padamu. Sekali lagi terimakasih banyak Ningrum."

"Aghh… Hanum. Sudah Ku katakan, Kau tidak perlu sungkan. Kau hanya perlu segera datang kesini, mungkin bisa melihat langsung ketika Rukha berlatih membatik. Akan Ku tunjukkan kain-kain khas batik Giriloyo. Ajaklah sekalian suamimu. Mungkin saja ia akan tertarik untuk mengembangkan bisnisnya."

Hanum tersenyum ketir mendengar perkataan Ningrum.

"Aku akan membicarakannya pada suamiku nanti."

"Kami akan menunggu kalian disini. Mungkin kita bisa berlibur dua keluarga. Anak-anak juga pasti akan senang."

Hanum menarik napas panjang dan menutup matanya sejenak.

'Itu tidak akan pernah terjadi Ningrum' batinnya.

"Hanum, Aku akan menelepon Mu lagi nanti, Mas Basri baru saja pulang."

"Oh, Baiklah. Selamat malam."

Suara telepon terputus, Hanum masih menggenggam telepon rumahnya.

Meletakkan perlahan, ia memandang pintu ruang kerja suaminya yang terlihat dari arah meja telepon rumah miliknya.

'Jika tidak dengan pekerjaannya diluar, Dia selalu menghabiskan waktunya diruangan itu. Tak ada waktu baginya sekedar minum teh bersamaku. Apalagi untuk berlibur.'Batinnya.

*****

"Hujannya kenapa harus sampai pagi,"

"Heii, Kau tidak boleh berkata seperti itu Ranti. Hujan sebagian rahmat dari Tuhan, tidak boleh Kau keluhkan."

Tegas Ningrum yang memeperingatkan anak gadisnya sambil membuatkan roti selai kacang kesukaan Basri.

"Maaf Ibu, Aku tidak bermaksud mengeluh. Hari ini sudah janji dengan Bu Laras. Kalau hujan begini, delman pun jarang ada."

Ningrum melihat Rukha yang sesekali melihat kearah jendela dapur, seolah memeriksa hujan sudah berhenti atau belum.

"Rukha, Kau pernah mencicipi tempe mendoan? Ini sungguh nikmat dimakan bersamaan dengan nasi goreng."

Ningrum menghidangkan nasi goreng dan tempe mendoan keatas piring Rukha.

"Terimakasih Bu,"ucap Rukha.

"Kalian sarapanlah dengan tenang dan jangan lupa berdo'a. Mungkin setelah sarapan hujannya akan mulai mereda."

Ningrum menenangkan perasaan gelisah kedua anak gadis yang sangat berbeda karakter ini.

Namun, memeliki kegelisahan yang sama saat ini.

"Bagaiamana Rukha, Kau suka?"

Rukha menggangguk dan tersenyum lebar.

"Ini sungguh lezat Bu,"ucapnya.

"Dan ini adalah salah satu menu kesukaan Ranti. Dia bisa sangat berselera kalau sudah ada tempe mendoan."

Ranti memberikan senyum lebarnya kepada Ibu yang selalu tahu mengenai dirinya.

"Ranti bisa makan sebakol kalau sudah ada tempe mendoan, dia bisa lupa diri." Celetuk Basri.

Mereka semua tersenyum dan menikmati sarapannya.

Ruang makan lenggang dan hening. Beberapa menu sarapan terhidang diatas meja.

Rukha bisa merasakan kehangatan yang dalam dikeluarga kecil ini. Suasana yang tidak pernah ia dapati dirumahnya.

Hujan masih menderai desa Kampung Batik Giriloyo.

Suara becak mesin terdengar sayup dari dalam rumah.

"Sepertinya Pak Tono sudah datang."

"Kalian cepatlah makannya, Bapak akan menemui Pak Tono dulu."

Basri berdiri dari duduknya, memberikan kode-an mata kepada Ranti.

Ranti tersenyum lebar seolah paham dengan kode-an dari Bapaknya.

"Bapak selalu seperti itu, memberikan solusi disetiap masalahku," ucap Ranti bangga.

"Ngomong-ngomong, kapan bapak menelpon Pak Tono Bu?"

"Sedari Kau belum bangun Ranti," jawab Ningrum meggodanya.

"Ya sudah, ayo cepat bergegas."

Rukha mengangkat piring-piring kotor yang ada diatas meja.

"Tidak perlu Kau lakukan Rukha, cepatlah bersiap. Pak Tono sudah menunggu."

"Tapi Bu Ningrum,"

"Aaa sudahlah, ini biar menjadi urusan Ibu. Ayo-ayo cepat."

Mereka bertiga melangkah menuju pintu, Pak Tono dan Basri sudah menunggu sambil berbincang.

"Kalau begitu Aku dan Rukha pergi dulu."

"Semoga hari kalian menyenangkan,"

Ningrum melepas kedua gadis ini didepan pintu sambil memberikan payung kepada Ranti.

Rukha dan Ranti berada dalam satu payung, berjalan menuju becak didepan halaman.

Becak Pak Tono sudah ditutupi dengan terpal plastik agar penumpang yang naik tidak akan tertimpa hujan.

Suara engkol becak sudah terdengar, menandakan mereka akan beranjak dari sana.

"Mengapa Kau terus tersenyum Rukha?"

"Aku merasa bahagia Ranti, banyak hal-hal baru yang Ku lakukan selama berada disini. Sebelumnya Aku belum pernah naik becak dalam keadaan seperti ini."

"Ini sungguh menyenangkan bukan?"

Rukha mengangguk dan tersenyum lebar, ia seperti burung dalam sangkar yang baru saja merasakan luasnya semesta.

Mereka mengobrol dengan nada suara yang sedikit tinggi. Karena suara khas hujan yang jatuh diatas terpal plastik mengiringi obrolan mereka.

'Ranti, terimakasih. Karena sudah banyak membantuku' batinnya.

Becak terus melaju dijalan tanah merah berbatu, membuat posisi mereka sesekali terperosok kedalam lubang-lubang kecil.

Sesekali Rukha merasakan air hujan yang menyetuh kulitnya dari tempiasan terpal plastik.

Udara sejuk sudah pasti menyelimuti pagi hari dengan curah hujan yang tampak awet.

Ia sungguh menikmati perjalanan paginya ke sanggar "Rumah Batik Giriloyo."

Suasana rumah joglo yang mulai akrab dimata Rukha terlihat sepi pagi ini. Tidak terlihat siapa pun berada diruang depan rumah itu.

"Tampaknya hari ini semua orang lebih memilih untuk tidur." Celetuk Ranti.

Becak mulai berhenti perlahan, tepat didepan sanggar.

"Pelan-pelan Ndok." Pak Tono mengingatkan kedua gadis itu.

Rukha membuka payungnya dan turun perlahan, disusul oleh Ranti.

"Terimakasih Pak Tono,"ucap Ranti.

"Baik Ndok."

Mereka berlari kecil menuju halaman sanggar yang tak lagi jauh.

Pak Tono beranjak dari sana, kembali kearah kedatangan mereka.

Rukha menutup payung tepat didepan sanggar. Mereka mulai masuk dan melihat sanggar yang benar-benar dalam keadaan sepi.

"Apa hari ini semua orang diliburkan?"

"Mungkin karena ini hujan, jadi membuat orang memilih untuk tidur Rukha." Jawab Ranti asal.

"Ohh iya." Ujar Ranti tiba-tiba.

Ia mengingat bahwa kegiatan sanggar tidak aktif seperti biasanya setelah selesai pameran.

"Kenapa Ranti?"

"Ah… tidak! Aku baru ingat. Sanggar sedang tidak seaktif biasanya. Tapi, setidaknya biasanya ada beberapa orang yang datang. Mbak Ayu juga tidak terlihat.

"Wah, kalian sudah datang?"

Larasati menyapa dari arah depan. Ia berjalan keluar dari arah dalam.

"Aku pikir kalian tidak akan datang karena hujan yang tak kunjung reda."

"Kami pasti akan menepati janji padamu Bu,"ucap Ranti.

"Bagaimana Rukha? Kau sudah siap untuk mulai berlatih hari ini?"

Rukha menganggukkan kepalanya sambil tersenyum anggun.

"Siap Bu."

Ranti, Kau bawalah Rukha keruang berlatih. Nanti Aku akan menyusul.

"Hujan sungguh awet hari ini, semoga dia mendengarkan Ku untuk tidak pergi kesawah."