webnovel

Chapter 8

Di sekolah ini, ada dua murid yang terpilih menjadi ketua komite kedisiplinan sekolah yakni Wendy dan Edward.

Wendy merupakan gadis berambut bob yang terkenal ketus dan suka marah-marah. Dari semua murid di sekolah, hanya ketua OSIS lah siswi yang paling ia hormati dan segani. Gadis tomboy itu bahkan tak berani bersikap dan berucap kasar di depan Alice karena rasa segan yang ia miliki. Tidak heran jika ia akhirnya terpilih menjadi ketua komite kedisiplinan sekolah perempuan.

Berbeda dengan Wendy yang masih mau menghormati si ketua OSIS, Edward tak suka pandang bulu. Sebagai ketua komite kedisiplinan sekolah laki-laki, ia harus bersikap dengan sangat adil tanpa membedakan status murid di sekolahnya. Menurutnya, siapa pun yang berbuat salah patut mendapatkan hukuman meskipun orang tersebut adalah orang yang dihormati siswa lain sekali pun.

Laki-laki berbadan tinggi besar seperti beruang dengan tatanan rambut rapi itu kini tengah berjalan di lorong sekolah sembari memandang ke kanan dan kiri. Sesekali ia memasuki ruang kelas secara tiba-tiba untuk menangkap basah murid-murid yang melanggar peraturan di sekolah.

"Aku tadi melihat ada siswa di kelas Arthur yang membawa hand-phone," lapor salah seorang siswa yang tak sengaja berpapasan dengan Edward.

Tanpa membalas pernyataan siswa tersebut, Edward langsung melangkahkan kakinya dengan sangat cepat menuju ke kelas yang dimaksud siswa tadi hingga suara sepatunya yang beradu dengan lantai terdengar begitu keras.

Sesampainya di depan kelas Arthur, Edward menggebrak pintu dengan keras hingga pintu tersebut terbuka lebar lalu ia memekik, "Razia hand-phone!!"

Edward berjalan masuk menuju ke depan kelas sambil menyilangkan tangannya di depan dada. Ia mengangkat wajahnya tinggi-tinggi. Sifat tegas, pemarah, dan adilnyalah yang membuatnya disebut sebagai Satpol PP sekolah laki-laki.

"Di sekolah ini tertulis dengan jelas jika ada larangan menggunakan hand-phone di jam sekolah," ucapnya, memulai percakapan. "Namun, sepertinya ada siswa yang tak mau menaati peraturan itu dan memilih untuk tetap menggunakannya."

Edward menatap satu per satu murid yang berada di kelas itu, termasuk Arthur dan Romeo yang berada di dekat bangku guru.

Atmosfer di dalam ruangan yang semula terasa panas karena terik matahari berubah menjadi panas akibat kedatangan Edward. Para murid terlihat saling bertukar pandang karena belum sepenuhnya paham dengan apa yang dibicarakan oleh Edward. Mereka akui, mereka memang sering sekali melanggar peraturan untuk tidak menggunakan ponsel di jam sekolah. Namun, dari mana Edward mengetahuinya?

"Hand-phone hanya boleh digunakan setelah jam sekolah berakhir, di asrama. Selain itu ... TIDAK BOLEH!" ujar Edward dengan suaranya baritonya yang menggelegar.

"Peraturan dibuat untuk dilaksanakan, bukan dilanggar!" imbuhnya sekali lagi. Ia mulai berjalan mendekati murid-murid di kelas dan menggeledah tas mereka untuk menemukan barang bukti yang ia cari.

Murid-murid di kelas itu saling pandang sembari mengerutkan dahinya. Tatapan mereka jatuh pada Romeo dan Arthur yang berada di depan karena orang yang terakhir kali terlihat memainkan ponsel adalah mereka berdua.

"Aku mendapat laporan jika seseorang di kelas ini ada yang menggunakan ponsel di jam sekolah."

"Kata siapa?" tanya seorang siswa.

"Seseorang," jawabnya singkat.

Laki-laki itu masih sibuk mengeledah tas murid-murid tanpa menyadari jika siswa yang melanggar peraturan tersebut justru berada di depan kelas.

Arthur dan Romeo bangkit berdiri. Tak ingin ketahuan dan membuat masalah lebih banyak lagi, Romeo berniat untuk kabur dari kelas membawa ponsel yang ia sembunyikan di kantung celananya.

Ia berjalan mengendap-endap menuju pintu sementara Edward kini berjalan ke arah Arthur untuk memeriksanya. Di detik itu, semua orang tahu jika Arthur akan tertangkap basah mengingat laki-laki itu tadi juga sempat menggunakan ponsel dan membawa ponsel itu bersamanya hampir setiap hari.

Karena merasa terancam, Arthur memutar otaknya dan berakhir dengan terpaksa mengkambing hitamkan Romeo yang hampir mendekati pintu kelas.

"Romeo yang membawa hand-phone di kelas ini," celetuknya.

Semua mata sontak tertuju kepada Romeo yang hampir berhasil melarikan diri. Edward lantas berjalan cepat ke arah Romeo lalu menahan Romeo yang hendak pergi. Tubuhnya yang jauh lebih besar dari Romeo membuat Romeo sedikit kesulitan untuk membebaskan diri.

"Benar kamu yang menggunakan hand-phone di jam sekolah, Romeo?" tanya Edward, to the point.

"Aku ... Aku tidak ... Aku ...," jawab Romeo dengan terbata. Mata laki-laki itu terbelalak lebar. Ia tak menyangka jika Arthur sampai hati untuk mengorbankannya padahal mereka tadi menonton video di ponselnya berdua. Oh, dan jangan lupa jika Arthur juga membawa ponsel ke sekolah.

"Ikut aku ke ruangan guru sekarang!" perintah Edward.

"Tidak mau!" Romeo menolak perintah itu secara mentah-mentah.

"Ayo cepat!" gertak Edward dengan suara yang mampu membuat siapa pun merinding ketakutan mendengarnya. Apalagi tatapan tajam yang ia tunjukkan benar-benar membuatnya semakin terlihat menyeramkan.

Edward menarik lengan Romeo agar lelaki itu mau pergi bersamanya untuk menerima hukuman yang setimpal. 'Laki-laki ini sepertinya tak cukup jera setelah apa yang terjadi kemarin,' ucap Edward dalam hati karena geram dengan Romeo yang nampaknya sangat senang melanggar peraturan di sekolah ini.

"Arthur, tolong aku!" pekik Romeo, meminta bantuan Arthur namun tak digubris oleh laki-laki itu. "Arthur!!"

Arthur tersenyum samar. "Untung saja videonya sudah dikirim," gumamnya. "Sekarang aku aman."

Entah apa yang merasuki pikirannya sehingga ia memilih untuk mengkambing hitamkan Romeo hanya karena ia tak mau ponselnya disita karena di ponsel itu terdapat video kontes tari yang dikirimkan oleh Romeo. Dan entah apa yang membuatnya berpikir jika video itu jauh lebih penting dari Romeo yang tak lain adalah teman dekatnya.

Arthur menyaksikan Romeo yang berusaha memberontak dan menyerukan namanya saat diseret pergi oleh Edward dalam diam. Ia tak berusaha melakukan sesuatu atau mengatakan sepatah kata untuk menolong temannya itu. Ia hanya diam dan memerhatikan.

Sedangkan Romeo masih menyerukan namanya tanpa jeda. Bodoh sekali dia karena berpikir tidak akan ada murid cepu yang bersedia mencari muka dan melaporkan pelanggar aturan seperti dirinya kepada komite kedisiplinan sekolah.

Jika sudah seperti ini, tak ada lagi yang bisa Romeo lakukan selain pasrah mengikuti Edward dan menghadapi hukuman yang sudah menantinya di depan sana.

"Bukankah siswa yang melanggar peraturan ada banyak? Kenapa hanya aku yang ditangkap?"

"Ada banyak? Benarkah?"

"Tentu saja, Bodoh!"

Edward tak menanggapi ucapan Romeo. Laki-laki itu masih menyeret tubuh Romeo menuju ruang guru dengan langkah cepat. Ia tahu jika Romeo hanya berusaha untuk mendistraksinya agar Romeo dapat melarikan diri. Akan tetapi, tentu saja, tidak semudah itu mengelabuhinya! Edward tidak sebodoh yang Romeo atau siswa lain pikirkan tentangnya.