webnovel

Chapter 25

Laki-laki itu melirik jam yang terletak di nakas samping tempat tidur. Sudah pukul tujuh lebih dua puluh menit. Rencananya, begitu selesai makan malam, ia ingin langsung beristirahat di asrama. Akan tetapi bukannya terlelap, pikirannya justru berkelana hingga membuat rasa kantuk tak mau menghinggapinya.

Arthur menatap ke luar dari balik jendela kamar sembari mengetuk-ngetuk ponselnya. Malam ini terasa begitu senyap dengan langit gelap gulita. Lilin-lilin malam rupanya enggan menampakkan cahayanya. Rembulan pun sama, memilih bersembunyi di balik mega kelabu hari itu.

Di saat seperti itu, pikiran Arthur justru melayang jauh ke tempat yang seharusnya tak terbesit di benaknya. Laki-laki itu merasa gelisah karena memikirkan keadaan Alice saat ini. Terlebih lagi saat ia mengingat bagaimana wajah pucat Alice tadi pagi. Jujur saja ia cukup khawatir dengan kondisi gadis itu karena tadi Alice nampak begitu lemah di matanya.

'Apakah Alice sudah menerima makanan dariku?' tanyanya dalam hati sambil menggigit bibir bawahnya. 'Apakah Alice masih sakit sekarang?' lanjutnya.

Tiba-tiba saja ia mengingat hal konyol yang tadi dia lakukan; mengirim bubur bayi kepada gadis itu. 'Gimana, ya, eskpresi Alice saat menerima bubur bayi itu?' gumam Arthur. Ia terkekeh geli ketika wajah kesal Alice terbayang di pikirannya. Arthur yakin seratus persen jika Alice pasti mengomel tidak jelas saat melihat apa yang diberikan Arthur kepadanya.

Terbesit di pikiran Arthur untuk pergi ke asrama putri dan menemui Alice untuk memastikan keadaan gadis itu. Selain itu ... Hmm, entahlah, tiba-tiba saja Arthur merasa rindu untuk bertemu dengan gadis itu mengingat mereka hanya berpapasan sekali di dinding kaca hari ini.

Ada sesuatu mengenai Alice yang membuatnya tak bisa berhenti memikirkan gadis itu meskipun ia sudah menyangkal pikirannya berkali-kali. Nyatanya, pikirannya tetap saja tak mau bekerja sama dengan logikanya. Ia tetap saja memikirkan Alice dan malah merindukannya.

Arthur menolehkan kepalanya ke arah Romeo yang tengah duduk di sampingnya sembari asyik mengutak-atik ponselnya. Tangan Arthur bergerak untuk menoel-noel bahu Romeo, namun tidak mendapatkan respon apa pun dari laki-laki tersebut.

"Sttt!" desis Arthur sambil terus menoel bahu Romeo. Seolah tak mau meladeninya, Romeo masih saja tak mengalihkan pandangannya dari ponsel. Arthur mengerutkan dahinya, heran dengan Romeo yang masih membisu. Bahkan, wajah laki-laki itu terlihat serius sekali.

"Romeo," panggilnya.

Hening. Tidak ada jawaban dari Romeo. Laki-laki itu bahkan tak mau menoleh ke arahnya. Arthur memutar bola matanya, lalu mendengus kesal.

"Hei, Roro Jonggrang!" pekik Arthur.

Jika sudah begini, Arthur tak punya pilihan lain selain memanggil Romeo dengan julukan 'Roro Jonggrang'. Ia suka menyingkat nama 'Romeo' menjadi 'Roro' dan memanggilnya 'Roro Jonggrang' untuk membuat Romeo kesal.

"Apa-apaan, sih, kamu?" balas Romeo dengan kesal tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel, ia masih sibuk memainkan ponselnya.

"Kamu main game apa? Kenapa terlihat serius sekali, sih?" tanya Arthur dengan penasaran sambil menoel bahu Romeo. Ia berusaha melirik ponsel Romeo namun tak dapat melihat apa yang tertera di layar.

Mendengar pertanyaan itu, sudut bibir Romeo menyunggingkan seringaian dengan satu alis terangkat. "Oke, aku akan memberitahumu. Tapi, kamu tidak boleh ikutan bermain game ini. Awas saja kalau kamu ikutan main game ini!" ancam Romeo dengan nada bercanda.

"Oke-oke, Bro. Peduli setan dengan game bobrokmu itu," jawab Arthur dengan suara ketus.

Dengan gerakan slow-motion untuk membuat Arthur semakin penasaran, perlahan Romeo memperlihatkan layar ponselnya ke arah Arthur dengan bangga. Senyum Romeo mengembangkan sempurna saat ia melihat raut wajah Arthur yang nampak terkejut dengan apa yang dilihatnya.

"Tadaaaa!!" seru Romeo. "Ratusan baju-baju cantik dan rok-rok berkibar warna-warni. Dari warna merah, sampai warna ungu. Dari model A sampai model Z. Dari fashion vintage tahun 1700 sampai model futuristik tahun 3000 semuanya ada!!" jelas Romeo dengan suara yang sangat mirip dengan video komersial sebuah game.

Benar saja, layar ponsel Romeo kini didominasi oleh warna merah muda dan ungu. Tak lupa laki-laki itu menggeser layar ponselnya agar Arthur dapat melihat semua model pakaian yang ditawarkan di game tersebut.

Arthur mengerjapkan matanya berkali-kali. 'Apa Romeo tidak salah? Bukannya game ini untuk perempuan, ya?' pikir Arthur. Sepertinya kepala Romeo memang terbentur sesuatu saat ia dikejar pak satpam kemarin malam sehingga otaknya sedikit eror.

"Tumben sekali kamu main game tidak jelas seperti ini? Memangnya kamu ingin jadi fashion designer?" tanya Arthur. Melihat wajah Romeo yang sedikit ditekuk membuat Arthur tergelak. "Padahal kamu lebih cocok untuk menjadi paparazzi saja hahaha."

"Tidak usah banyak bicara! Kamu tidak tahu apa pun tentang game ini," balas Romeo sambil menjulurkan lidahnya.

Romeo lantas menekan menu lain yang menunjukkan beberapa pilihan tokoh dalam permainan tersebut. Saat matanya menangkap seorang tokoh gadis dengan rambut panjang berwarna hitam legam dengan tubuh mungil, ia menunjukkannya kepada Arthur dengan mata berbinar.

"Lihat cewek ini!" serunya, memaksa Arthur untuk melihat layar ponselnya.

Arthur memutar bola matanya, malas. Dengan cepat Arthur membalas, "Ya terus kenapa? Gepeng begitu, 2 dimensi, tidak nyata!" begitu celetuknya dengan nada datar.

Arthur menolehkan kepala dan mendapati Romeo yang tengah menatapnya dengan tajam. Oh, ayolah, Romeo tak akan membuat Arthur merasa takut atau bersalah dengan tatapan seperti itu mengingat apa yang dikatakan oleh Arthur sepenuhnya benar.

Dengan enteng tangan Romeo bergerak memukul punggung Arthur dengan keras hingga Arthur merasa kesakitan.

"Aduh!" keluh Arthur sambil mengusap-usap bahunya yang terasa panas. "Salahku apa? Aku mengatakan yang sebenarnya, bukan? Game dress-up yang kamu mainkan memanglah permainan dua dimensi. Hanya bisa kamu sentuh lewat layar hand-phone, tidak secara langsung!"

Romeo mendengus dengan keras. Tatapannya melunak tatkala ia kembali menatap ponselnya. "Dia mirip sekali dengan my baby, Juliet," jawabnya.

Membayangkan Juliet yang imut dan memakai pakaian-pakaian cantik dengan berbagai design dari era yang berbeda membuat Romeo gemas sendiri. Laki-laki itu lantas menciumi layar ponselnya karena merasa sangat gemas.

"Aku bisa membayangkan bagaimana imutnya baby Juliet kalau memakai pakaian seperti ini," imbuh Romeo. "My baby Juliet pasti terlihat sangat cantik."

Arthur mengernyitkan dahinya, sepertinya Romeo memang salah minum obat hari ini. Tingkahnya dari waktu ke waktu semakin aneh saja. Memikirkan teman satu kamarnya terkena gangguan jiwa membuat Arthur bergidik ngeri.

Arthur menyentuh dahi Romeo, lalu menyentuh pantatnya untuk membandingkan suhunya. "Tidak ada bedanya," gumamnya.

"Apa-apaan, sih?" protes Romeo dengan ketus. "Benar, 'kan, kalau ini mirip sekali dengan Juliet?"

"Mirip Juliet kepalamu peyang! Tidak mirip sama sekali!" bantah Arthur. Ia kemudian menepuk bahu Romeo pelan. "By the way, kenapa hari ini kamu sibuk sendiri? Tidak ada niat untuk bertemu dengan Juliet, kah? Malah sibuk sendiri dengan sesuatu yang tidak nyata," cibir Arthur.