webnovel

Chapter 18

Sesuai dengan dugaan Alice, pagi ini sekolah masih sangat sepi. Selain dirinya, tak ada tanda-tanda siswi lain yang sudah datang ke area sekolah. Mungkin saja mereka sama seperti Juliet, masih menikmati empuknya kasur asrama dan sibuk menghangatkan tubuh mereka di bawah pelukan selimut.

Aroma embun mengetuk indera penciuman Alice. Di sekolah ini, terdapat banyak tanaman pohon akasia dan bunga bugenvil berwarna-warni yang merambat di antara pagar-pagar pembatas koridor sekolah. Hal itu membuat sekolah ini terasa begitu sejuk meski di siang hari sengatan sinar matahari masih mampu murid-murid rasakan.

Gadis itu melangkahkan kakinya perlahan menyusuri lorong sekolah menuju ruang OSIS yang berada di ujung gedung sekolah sambil memegangi kepalanya yang terasa sangat pusing. Saat melewati dinding kaca dekat kantin, lagi-lagi ia dikejutkan dengan suara ketukan. Alice menolehkan kepalanya, matanya membelalak saat mendapati Arthur berdiri di seberang sana.

Alice dapat melihat Arthur tersenyum ke arahnya, lalu mengetikkan sesuatu di ponselnya. Gadis tersebut jadi semakin yakin jika Arthur memang sering melanggar aturan dan membawa ponsel ke sekolah. Mungkin saja di sekolah laki-laki banyak murid yang melakukan hal yang sama. Bukan hal mustahil jika hal itu benar-benar terjadi mengingat Romeo juga membawa ponsel dan ketahuan oleh komite kedisiplinan sekolah.

[Bagaimana kemarin? Kamu tidak ketahuan, kan?] Begitulah bunyi rentetan kata yang tertulis di layar ponsel Arthur yang membuat Alice tanpa sadar menyunggingkan senyumannya.

Tadi, Arthur sengaja bangun pagi sekali agar ia tak perlu bertemu dengan Romeo dan mendapatkan omelan laki-laki itu. Akan tetapi, selain hal tersebut, ia juga memiliki alasan yang lain. Arthur sengaja bangun pagi dan pergi ke sekolah pagi-pagi sekali untuk melihat Alice dan memastikan jika gadis itu baik-baik saja. Laki-laki itu tak akan bisa memaafkan dirinya jika sampai Alice semalam tertangkap oleh satpam sekolah setelah ia meninggalkan gadis itu dan pergi ke kamar asramanya sendiri.

Alice mengambil sticky-notes dan pulpen dari dalam tasnya, lalu menuliskan sesuatu dan menempelkannya di dinding kaca.

[Aku tidak ketahuan, semalam aku langsung tidur]

Arthur terkejut saat melihat Alice membawa sticky-notes padahal kemarin gadis itu tak membawanya. Ujung bibir Arthur terangkat dan membentuk sebuah senyuman yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya terpana, termasuk Alice meskipun gadis itu masih enggan mengakuinya.

[Tumben kamu bawa sticky-notes. Sengaja buat ngobrol sama aku, ya?]

Alice terhenyak. Gadis itu menautkan jemarinya sembari mengalihkan pandangannya. Tiba-tiba saja pipinya memanas dan kini wajahnya sudah semerah kepiting rebus. Seakan tak mau diajak kerja sama, jantungnya pun ikut berulah. Alice berdebar dengan tubuh gemetar karena menahan gugup. Gadis tersebut tak mau jika Arthur berbesar kepala dan berpikir jika ia tertarik pada laki-laki itu.

'Bodoh, bagaimana jika dia berpikir aku menyukainya?' umpat Alice dalam hati sembari menepuk dahinya beberapa kali. Ia masih enggan menatap Arthur karena tak mau laki-laki itu membaca ekspresinya dan menebak apa yang ada di pikirannya saat ini. 'Tidak, tidak! Jangan sampai hal itu terjadi!'

Melihat Alice yang nampak salah tingkah, Arthur terkekeh geli. Perasaannya tiba-tiba saja menghangat saat mengetahui jika Alice sepertinya memang sengaja membawa sticky-notes agar lebih mudah untuk berkomunikasi dengan dirinya.

"Hachu!"

Tangan Alice bergerak untuk menutup mulutnya. Meski Arthur tak dapat mendengar suara Alice, tetapi ia bisa melihat jika ada yang tidak beres dengan gadis itu. Arthur menajamkan indera penglihatannya. Dari tempatnya berdiri, nampak jelas jika wajah Alice pucat pasi, bahkan gadis itu terlihat memegangi kepalanya.

Arthur ingin tahu apa yang terjadi dengan gadis itu. Akan tetapi, sebelum ia sempat bertanya, Alice sudah melambaikan tangannya dan bergegas pergi.

"Hey, jangan pergi dulu!" seru Arthur. Teriakan itu tak ada gunanya, karena Alice tak akan bisa mendengarnya dari seberang sana.

Arthur terpaku di tempat selama beberapa saat. "Apakah dia sakit gara-gara tadi malam?" gumamnya. Laki-laki itu lantas mengutak-atik ponselnya kemudian membuka aplikasi gojek.

*****

"Aliceeee!"

Alice hendak menutup pintu loker ketika ia mendengar suara melengkik milik Juliet yang memanggil namanya. Ia kemudian mengunci pintu lokernya dan menoleh ke arah sumber suara. Sedari pagi ia memang belum sempat bertemu dengan Juliet karena kebetulan mereka mendapat jadwal kelas yang berbeda. Baru siang inilah mereka akhirnya bertemu.

"Aku benar-benar kesal dengan Arthur!" keluh Juliet sembari mengepalkan tangannya. Mata gadis itu menatap nyalang ke sembarang arah sambil menggerakkan giginya. "Semalam dia benar-benar sangat tega denganku dan Romeo. Gara-gara dia, aku dan Romeo dikejar-kejar satpam sekolah sampai kakiku rasanya mau patah!"

Alice menggigit bibir bawahnya, ikut merasa bersalah karena Arthur memang mengorbankan Romeo dan Juliet demi melindunginya.

"Apakah tadi malam kalian tertangkap dan dihukum?"

"Untungnya, sih, tidak," jawabnya. "Karena kalau sampai kami tertangkap, aku pasti akan balas dendam dan menghajar Arthur sampai dia berkata ampun," lanjutnya dengan keji.

Juliet kemudian menceritakan secara detail mengenai apa yang dialaminya dan Romeo tadi malam. Mulai dari mereka yang berlari, bersembunyi, hingga hampir tertangkap. Untung saja tadi malam satpam yang mengejar mereka akhirnya kelelahan dan menyerah sehingga Romeo dan Juliet bisa kembali ke asrama masing-masing dengan selamat tanpa harus berurusan dengan hukuman.

"Aku tidak sabar untuk bertemu dengan Arthur dan memintanya berlutut untuk meminta maaf kepadaku."

Alice tak lagi mendengar apa yang diucapkan oleh Juliet. Ia sibuk mengatur napasnya sembari memijat kepalanya karena rasa pusing yang menderanya semakin tak tertahankan. Kepalanya terasa seperti ditusuk-tusuk oleh duri tak kasat mata.

Juliet menghela napas kasar. Gadis itu tiba-tiba saja merasa aneh dengan sikap Alice. Tidak biasanya Alice diam saja saat dirinya bercerita panjang kali lebar. Meskipun tak terlalu cerewet, Alice selalu menanggapi cerita yang ia utarakan. Tapi, hari ini Alice berbeda. Gadis itu bahkan nampak lebih pendiam dan seperti tak acuh dengan keluh kesahnya.

"Kamu kenapa, Alice? Tumben sekali kamu tidak berkomentar," tanya Juliet sembari menatap Alice.

"Uhuk ... Uhuk ...."

Bukannya menjawab pertanyaan Juliet, Alice justru terbatuk. Juliet pun berinisiatif untuk menempelkan punggung tangannya di dahi Alice. Suhu panas langsung menyengat punggung tangannya yang berinteraksi langsung dengan tubuh Alice. Raut wajah Juliet yang semula terlihat kesal kini berubah menjadi lebih lembut.

"Kamu demam? Kenapa tidak bilang dari tadi, Alice?" tanya Juliet dengan khawatir. "Ayo, kita ke UKS!"

Alice menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu, Juliet. Sebentar lagi aku pasti sembuh, kok," balas Alice sambil tersenyum tipis.

Juliet yang tak percaya dengan ucapan Alice lantas menarik paksa gadis itu agar berjalan mengikutinya. Mana mungkin ada penyakit yang hilang begitu saja tanpa diobati? Yang benar saja!

"Pokoknya kita harus ke UKS!" seru Juliet dengan telak.

Alice menghembuskan napasnya pelan. Ia akhirnya memilih untuk pasrah dan mengikuti ke mana langkah Juliet mengarah. Sebenarnya ia juga setuju jika ia membutuhkan obat karena kepalanya rasanya seperti ingin meledak saat ini. Ia hanya tak ingin Juliet atau teman-temannya yang lain merasa khawatir, itu saja.