webnovel

Chapter 15

Arthur masih menatap ke arah Alice yang kini terlihat sedang meremas ujung piyama biru laut yang dikenakannya. Melihat Alice yang terlihat panik dan ketakutan entah mengapa membuat Arthur merasa ingin melindungi gadis itu. Seolah jika bahaya mendekati gadis itu maka dirinyalah yang harus disalahkan karena tak bisa menjaga Alice.

Laki-laki itu memberikan tatapan hangatnya kepada Alice. Melalui binar matanya, ia berharap jika Alice tahu bahwa mereka akan baik-baik saja dan tidak ketahuan. Arthur meminta Alice untuk kembali bersembunyi sampai satpam tersebut pergi menggunakan isyarat dari tangannya. Alice pun mengangguk dan melakukan apa yang diperintahkan oleh Arthur.

Tiba-tiba saja Pak Satpam mengarahkan senternya untuk menyoroti semak-semak yang berada di dekat posisi Alice saat ini. Panik sontak saja menggerogoti perasaan Arthur. Laki-laki itu meneguk salivanya sambil memikirkan cara untuk mengelabui Pak Satpam.

"Sepertinya hand-phone kamu jatuh di sana. Kan, kamu tadi bangun dari semak-semak yang ada di sana," ujar Pak Satpam.

Pria paruh baya berseragam serba hitam tersebut terus menyoroti ke semak-semak tempat Alice bersembunyi sembari melangkahkan kakinya ke sana. Matanya menyisir sekitar, terutama bagian tanah untuk mencari ponsel Arthur yang mungkin saja terjatuh di sekitar sana.

Jantung Arthur berdebar kencang ketika melihat langkah Pak Satpam yang semakin mendekat ke tempat persembunyian Alice. Ia sudah berjanji kepada dirinya sendiri jika ia tak akan membuat Alice ketahuan. Akan tetapi, jika ia tiba-tiba melarang Pak Satpam dan tak bisa memberikan alasan yang logis, pasti Pak Satpam akan semakin curiga kepadanya.

Arthur memejamkan matanya, berusaha memutar otaknya untuk menemukan cara agar Alice tak ketahuan. Saat ia membuka matanya, ia melihat sesuatu yang membuat sebersit ide muncul di kepalanya. Laki-laki itu kemdian berlari cepat ke arah Pak Satpam dan menghentikan langkah Pak Satpam.

"Pak! Pak!" seru Arthur dengan napas memburu.

"Kenapa?" tanya Pak Satpam sembari mengerutkan dahinya karena Arthur tiba-tiba saja menghalangi langkahnya.

"Itu ... Em ... Itu ...."

"Itu apa?"

"Itu ...."

"Kamu habis lihat setan?" tanya Pak Satpam kebingungan karena Arthur tak kunjung memperjelas ucapannya.

Arthur menepuk dahinya. 'Sudah tidak ada cara lagi, maafkan aku, Romeo. Tapi, aku harus melakukan ini,' lirih Arthur dalam hati.

"Ada bayangan lewat di sana, Pak!" teriak Arthur sambil menunjuk ke satu titik berlawanan dari tempat persembunyian Alice. Kebetulan sekali di sana ia melihat Romeo dan Juliet yang sedang keluar dari semak-semak tempat persembunyian mereka dan berusaha untuk kabur.

Pak Satpam memutar tubuhnya dan mendapati Romeo dan Juliet yang sedang keluar dari semak-semak. Pak Satpam pun langsung berlari sambil berteriak memanggil mereka dan meninggalkan Arthur di kebun sekolah.

"Jangan lari kalian!"

Suara teriakan itu masih samar-samar terdengar bersamaan dengan langkah Pak Satpam yang perlahan menjauh. Sesudah Pak Satpam menghilang dari pandangan, Arthur lantas mendekati Alice dan menarik tangan Alice supaya Alice segera berdiri dan bisa berlari untuk kabur bersamanya.

Sentuhan Arthur di pergelangan tangan Alice membuat gelenyar aneh menjalar ke seluruh saraf gadis itu. Sambil melangkahkan kakinya, Alice terus memandang Arthur yang lebih tinggi darinya dan tangan mereka yang masih bertautan secara bergantian.

Jantung gadis itu berdetak tak menentu. Berbeda dengan debaran penuh rasa takut yang ia rasakan sebelumnya, debaran jantungnya kali ini terasa berbeda. Meskipun rasa takut masih menyelimuti hati dan pikirannya, perasaan itu perlahan memudar, digantikan oleh rasa tersentuh karena Arthur telah berbohong kepada Pak Satpam dan mengkambing hitamkan Romeo dan Juliet demi untuk melindunginya.

Tanpa sadar Alice menyunggingkan senyumannya yang semanis madu menyadari bahwa laki-laki yang saat ini sedang berlari bersamanya ternyata tak seburuk yang ia pikirkan. Rona merah perlahan mulai menghiasi wajahnya yang tadi pucat pasi. Sebelumnya, ia tak pernah berpikir jika Arthur akan mau menolongnya mengingat bahwa laki-laki itu nampak sadis di hari mereka bertemu.

'Ternyata dia tidak seburuk itu,' pikir Alice dalam hati.

Tepat saat Alice mengalihkan pandangannya, Arthur menoleh ke arahnya. Ini adalah kali pertama Arthur melihat rambut Alice yang tergerai begitu saja. Biasanya, gadis itu selalu mengikat rambutnya menjadi pony-tail. Menurutnya, Alice terlihat lebih manis jika rambutnya digerai seperti ini. Well, bagaimana pun juga gadis itu selalu tampak cantik.

Oh, apakah Arthur baru saja memuji paras ayu Alice?

Arthur menggeleng-gelengkan kepalanya, menyingkirkan pikiran itu dari benaknya. Meskipun harus Arthur akui, saat ia mulai memegang pergelangan tangan Alice tadi, ada sesuatu yang tak dapat dijelaskan mulai menyusupi relung hatinya.

"Sepertinya kita harus berpisah di sini," ucap Arthur sambil melepaskan genggamannya meskipun sebetulnya ia enggan. Ada daya magnet yang membuatnya tidak rela untuk melepaskan genggaman tangan mereka. Entahlah, Arthur pun tidak mengerti.

Alice mendapati kehampaan ketika genggaman Arthur terlepas dari pergelangan tangannya. Gadis itu menghembuskan napasnya sembari mengatur detak jantungnya yang tak menentu. Dengan kaku, ia menganggukkan kepalanya.

"Tenang saja, kamu sekarang sudah aman, Alice," ujar Arthur sembari tersenyum ke arah Alice.

Dengan malu-malu Alice membalas senyuman itu. "Ya, kurasa begitu," katanya. "Terima kasih karena sudah menolongku, Arthur."

Arthur menganggukkan kepalanya. "Sama-sama, Alice."

"Aku kembali ke asrama dulu," ujar Alice, pamit.

Tak berselang lama setelah mengatakan hal itu, Alice mulai melangkahkan kakinya ke gedung sekolah perempuan dan menyusuri jalan tikus yang tadi dia dan Juliet lewati. Sesekali ia menolehkan kepalanya dan mendapati Arthur masih memperhatikannya.

Setelah memastikan bahwa Alice telah memasuki area asrama perempuan, Arthur pun melangkahkan kakinya untuk kembali ke asramanya yang terletak cukup jauh dari tempatnya berdiri saat ini.

Ada rasa tak enak hati yang menyelinap di hatinya saat mengingat jika ia telah mengorbankan Romeo dan Juliet demi Alice. Namun, apa boleh buat? Nasi sudah menjadi bubur. Menyesali hal tersebut pun tak ada gunanya.

Ia yakin sekali jika nanti Romeo akan mengomelinya tanpa henti. Tapi ... Hey! Jika bukan karena permintaan konyol Romeo yang tidak sabaran ingin bertemu dengan Juliet tentu mereka tak akan terkena masalah dan ketahuan oleh satpam sekolah, bukan? Arthur pun tadi sempat menolak untuk menemani Romeo ke mari, tapi Romeo terlalu keras kepala jika berhubungan dengan Juliet.

Arthur berjalan mengendap-endap sembari memastikan jika tak ada seorang pun yang melihatnya melintasi koridor menuju kamar asramanya yang terletak di lantai tiga gedung paling selatan yang ada di sekolah ini.

Entah bagaimana nasib Romeo dan Juliet saat ini, Arthur tak ingin terlalu memikirkannya karena tubuhnya sudah tak punya cukup tenaga untuk memikirkan apa pun. Rasa kantuk juga sudah mulai menerpanya, membuat matanya terasa berat seiring ia melangkah menuju kamar.