webnovel

Chapter 11

Romeo berdeham. "Maksudku Arthur si ketua OSIS!" serunya. Romeo tak menyangka jika laki-laki yang duduk di hadapannya saat ini tak cukup pandai untuk mengetahui maksud dari ucapan yang keluar dari bibir tipisnya.

Edward menepuk dahinya tanpa sadar. "Ohhh maksudmu Arthur si muka dua itu?" tanyanya. Wajahnya yang semula terlihat garang kini berubah sedikit rileks dengan senyuman licik yang tercetak jelas di bibirnya. "Sudah kuduga dia adalah datangnya!"

Edward tersenyum sinis. Tawa seramnya menggelegar, menggema ke seluruh ruangan.

Entah apa yang terjadi di antara dirinya dan Arthur yang membuatnya tak begitu menyukai Arthur. Baginya, Arthur itu adalah laki-laki bermuka dua yang tak layak disegani oleh murid lain. Lihatlah, bahkan baru saja laki-laki itu menjabat sebagai ketua OSIS, ada murid yang lolos dari ancaman dikeluarkan dari sekolah hanya karena murid tersebut adalah temannya. Dan kini, ternyata Arthur pulalah yang menyebabkan banyak murid di sekolah laki-laki membawa ponsel ke sekolah.

Bodoh! Romeo mengutuk dirinya sendiri karena tak bisa menutup mulutnya rapat-rapat. Jika sampai Arthur tahu jika ia melaporkannya kepada Edward, akan sangat gawat nantinya.

Meskipun benar Arthurlah yang tadi telah mengkambinghitamkannya, tak bisa dipungkiri jika Romeo juga berhutang budi kepada Arthur setelah laki-laki itu menolongnya dan tidak membiarkannya dikeluarkan dari sekolah karena ketahuan berpacaran dengan Juliet dan menghebohkan seantero sekolah.

Selain itu, Arthur adalah bosnya, teman dekatnya, seseorang yang mau berteman dengannya dengan tulus. Ia tak bisa mengorbankan Arthur begitu saja setelah apa yang dilakukan Arthur kepadanya.

Dengan gelagapan Romeo berkata, "Tidak, tidak!!! Meskipun dia adalah bosku, dia bukanlah bos sindikat!!" serunya. Keringat dingin kembali bercucuran di tubuhnya. Ia khawatir jika Edward tak mempercayai alibinya dan tetap melibatkan Arthur ke dalam masalah ini.

"Sial! Dia tidak mudah dijebak," gumam Edward sambil menggebrak meja.

Atmosfer di ruangan itu menjadi sepi setelahnya. Mereka berdua sama-sama tak mengeluarkan sepatah kata pun dan justru tengah sibuk dengan pikiran masing-masing. Romeo sibuk dengan rasa khawatir dan takut yang menggerogotinya, sedangkan Edward sibuk memikirkan cara untuk membuat Romeo mau berbicara jujur kepadanya.

Namun, sepertinya mau sekeras apa pun ia mencoba hal tersebut tak akan berhasil mengingat Romeo sangat setia dengan bosnya. Ia dengar, Romeo bahkan bersedia menjadi mata-mata agar Arthur dapat memperoleh informasi mengenai suasana di sekolah perempuan.

Edward berdeham. Tidak ada cara lain. Sepertinya ia hanya perlu menghukum Romeo untuk saat ini. "Baiklah. Hand-phonemu akan aku sita sampai besok sore. Dan hukumanmu ...." Edward memberikan jeda sejenak sambil mengelus-elus dagunya dengan jari telunjuk. "Sapu dan pel lapangan upacara! Ingat, sampai bersih dan tidak ada noda sekecil apa pun yang tertinggal di sana. Spotless!"

Mata Romeo terbelalak lebar. Mulutnya menganga tak percaya. Laki-laki itu berdiri kemudian berteriak tak setuju. "Bagaimana caranya mengepel lapangan upacara??! Lapangan upacara lantainya bukan keramik, tapi aspal!" pekiknya sambil mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi.

Edward mengecilkan bahunya. Tangannya bergerak cepat untuk mengambil ponsel Romeo yang terletak di meja sambil berbalik dan berkata, "Bukan urusanku!" Laki-laki itu pun keluar dari ruangan dengan membanting pintu.

Di dalam ruangan, Romeo yang tertinggal sendirian hanya bisa merengek karena ponselnya disita oleh Edward. "Tidak!!! Hand-phoneku! Bagaimana aku bisa chatting dengan my baby Juliet???"

Meskipun awalnya merengek tak terima, Romeo akhirnya menghembuskan napas pasrah dan bergerak keluar dari ruangan tersebut. Laki-laki itu berakhir dengan menghabiskan waktu untuk menjalani hukumannya yang tak masuk akal sebelum Edward bertindak lebih gila dan memberikan hukuman tambahan untuknya.

*****

Malam harinya, tepat pukul tujuh malam, Romeo dan Arthur tengah duduk santai di kamar asrama mereka. Semenjak hari pertama mereka memasuki sekolah tersebut, mereka langsung menjadi teman sekamar hingga saat ini. Tak heran jika pertemanan mereka menjadi sangat dekat dan erat mengingat banyaknya hal konyol yang telah mereka lalui bersama.

Tak seperti biasanya di mana Romeo selalu menghabiskan waktu dengan bermain ponsel untuk berkomunikasi dengan Juliet. Malam ini ia terlihat bersungut-sungut dan cemberut karena ia tak bisa menghubungi Juliet. Ini semua gara-gara Edward menyita ponselnya, satu-satunya alat yang bisa membantunya berinteraksi dengan Juliet karena larangan bagi mereka untuk bertemu.

"Gara-gara kamu menumbalkanku, aku harus menyapu dan mengepel lapangan upacara selama berjam-jam dan sekarang aku tidak bisa chatting dengan Julietku," rengek Romeo. Ia menarik-narik ujung baju Arthur dengan wajah memelas. "Kamu harus bertanggung jawab dan membantuku untuk bertemu dengan dia!"

Arthur mengerutkan dahinya. "Bagaimana caranya?"

Romeo menjentikkan jarinya. "Ayo menyelinap keluar asrama dan pergi ke sekolah perempuan!"

"Apa kamu sudah gila?!" gerutu Arthur. "Penjagaan di sekolah ini semakin ketat setelah kamu ketauan sedang pacaran dengan Juliet. Jika sampai kamu ketahuan menyelinap, bisa-bisa kamu langsung dikeluarkan dari sekolah ini."

"Oh, ayolah! Bantu aku, Arthur!" Romeo mencebikkan bibirnya. Sebisa mungkin ia menunjukkan raut wajah tersedih miliknya agar Arthur luluh dan mau membantunya.

Bukannya luluh, Arthur justru bergidik ngeri sambil menarik tubuhnya untuk sedikit menjauh dari Romeo.

"Ingat, Arthur. Semua ini terjadi karena kamu."

Arthur mendelik tak suka. "Jadi, kamu menyalahkanku?"

Mendengar pertanyaan itu, Romeo mendengus. Baginya, itu adalah pertanyaan retorik yang tak membutuhkan jawaban darinya karena Arthur tahu betul jawaban untuk pertanyaannya.

"Siapa tahu kamu bisa bertemu dengan Alice," celetuk Romeo.

Arthur terlihat menimbang-bimbang. Benar juga, sih, jika mungkin saja ia bisa bertemu dengan Alice. Akan tetapi, kemungkinan hal tersebut dapat terjadi hanyalah sepuluh dari seratus persen. Kemungkinan mereka tak akan bertemu jauh lebih besar dari kemungkinan mereka akan bertemu.

"Mereka teman satu kamar," ucap Romeo sekali lagi untuk meyakinkan Arthur agar laki-laki itu mau membantunya menyelinap.

Setelah berpikir selama beberapa saat, Arthur pun akhirnya mengangguk setuju. Tidak, ia tidak melakukannya karena ia ingin bertemu dengan Alice. Lebih tepatnya, ia melakukannya karena rasa bersalah setelah apa yang ia lakukan kepada Romeo tadi siang.

"Baiklah, baiklah. Aku akan membantumu."

Senyuman perlahan terukir di bibir Romeo. Laki-laki itu langsung memeluk Arthur sambil berkata, "Terima kasih, Bos! Kamu memang pahlawanku."

Arthur langsung melepaskan pelukan Romeo dengan kasar sambil bergidik ngeri. Ia merasa geli jika harus menerima pelukan dari teman sesama jenisnya tersebut. Ah, jangankan sesama jenis, jika perempuan tiba-tiba memeluknya pun pasti ia juga merasa tidak nyaman. Ia belum pernah melakukan sesuatu yang seperti itu sebelumnya.

"Tapi, dengan satu syarat ...."

"Apa syaratnya?"

"Berhenti merengek seperti bayi di hadapanku!" ujar Arthur dengan tegas.

Romeo menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil terkekeh pelan. Ia meringis, memang benar jika sikapnya akhir-akhir ini selalu kekanakan. Apalagi jika menyangkut sesuatu yang berhubungan dengan Juliet.

Apa boleh buat? Cinta terkadang memang membuat seseorang tak bisa berpikir dengan jernih.