webnovel

Cinta dalam dendam

Cinta yang hadir tanpa Rakha sadari karena tetutup oleh dendam, membuat ia sangat membenci Novia. Gadis yang sangat berarti pada kehidupannya dulu. Saat sebuah kenyataan mulai terungkap serta ingatan yang mulai muncul sedikit demi sedikit membuat ia sadar bahwa kebenciannya tak beralaskan. Seolah takdir tak memihak padanya saat semua ingin ia ulang kembali kenyataan bahwa saudaranya sendiri adalah rival untuknya, belum lagi ia harus berurusan dengan orang misterius yang juga bagian dari masa lalu Novia. Akaknkah Rakha bisa memperjuangkan Cintanya kembali ataukah harus merelakan Novia dimiliki oleh Nicho saudaranya atau sang pria misterius yang seorang Mafia.

Tika_Mutiara · 都市
レビュー数が足りません
16 Chs

Satu Fakta

Setelah berbincang sejenak dengan kedua orang tuanya Rakha kini berada di kamar, bersandar pada sandaran ranjang membuka laptop memilih beberapa file yang dikirim sekertarisnya. Satu jam kemudian ia selesai melihat handphone miliknya sudah menunjukan pukul setengan tiga pagi. Ia bergegas menuju kamar mandi meletakkan benda canggih itu di atas meja.

dretttttt

dretttttt

Getar Hp mengurungkan niatnya untuk segera membersihkan diri. Ada sebuah Video masuk.

Secara tak sengaja video berbutar, menampilkan kejadian yg membuat hatinya semakin mereadang.

Bukan.

Bukan karna isi dari video itu, melainkan, orang yang hadir sebelum kecelakaan itu. Hatinya sungguh geram.

Mata Rakha tak dapat terpejam meski sedikit pun. Ia menanti mentari yang akan mulai menynari bumi, menemui seseorang untuk memintanya penjelasan. Rasa kantuk tak sedikitpun ia rasakan. Bahkan terlihat sedikit garis hitam di netranya, menandakan sang pemilik kurang istirahat.

Melihat sinar yang menembus jendela yang di tutupi tirai berwarna abu itu, Rakha segera menuju kamar mandi. Membilas wajahnya agar tak terlihat kusut saat bersama keluarganya.

"Pagi, Ma, Pa, Kak Nicho." sapanya kala ia berjalan menuju meja makan, yang disana sudah ada tiga orang yang siap menyantap sarapannya.

"Pagi juga." sapa mereka bersamaan.

Tumben pagi-pagi dah berangkat? biasanya kan jam sembilan atau sepuluh baru pergi?" tanya sang Ibu.

"Aku ada urusan Ma, nanti abis dari sana aku langsung ke kantor." jawabnya sambil menarik kursi di samping Nicho.

Nicho yamg sedikit heran dengan tingkah adiknya, igin sekali bertanya, namun ia urungkan karna berfikir meja makan bukanlah tempat yang tepat.

Rakha mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Rasa yang kini beradang di hatinya juga menguras pikirannya membuat ia kalut. Beberapa kali ia memukul stir mobilnya demi meluapkan emosi yang siap ingin meledak.

"Apa yang lho sembunyiin dari gue Dam?" tangan nya mencengkram kuat stir mobil itu, pikirannya kini hanya tertuju pada satu orang. Ya, satu nama yang tak pernah ia bayangkan akan terlibat dengan peristiwa tujuh tahun silam.

Mobil hitam itu memasuki sebuah rumah berlantai tiga. setelah melewati pos penjaganya.

Rakha turun dari kuda besi itu berjalan menuju pintu utama dan menekan bel.

ting tong

ting tong

Dua kali belum terdengar ada suara yang di balik pintu itu. Ia pun mencoba peruntungannya sekali lagi.

ting tong

Ceklekkkkk

Seoarang wanita muda sekitar berumur tujuh belas tahun membuka pintu, wajah manis dan senyum lembut itu tak membuat seorang pria di depannya terhipnotis.

"Maaf mas, mau cari siapa ya?" tanya ramah. Ahhh mungkin bisa di tambahkan nilai plus dri gadis itu 'RAMAH'.

"Damar ada?" tanyanya tanpa basa basi,

"Maaf mas, kenapa cari kakak saya ya? ada perlu?" bukannya memberi jawaban gadis cantik itu malah balik bertanya. Rakha yang bukan orang penyabar sebisa mungkin mengontrol emosinya.

" Ya! Aku Rakha, teman sekolah Damar dulu, aku ingin bertemu dan merindukannya saja." ia berfikir mungkin jawaban itu sedikit logis untuk gadis yang menyandang status adik Damar ini. Tak mungkin sekali jika ingin mengatakan bahwa ingin menghajar kakaknya. Namun gadis itu tersenyum lembut, menampakan lesung pipi di sebelah kiri.

"Kak Damar nggak tinggal disini kak, dia tinggal di apartemennya, biasa kak Damar kesini tiap libur kantor." jawab yang membuat Rakha sedikit melongo.

"Sejak kapan Damar punya apartemen,? ia membatin. Namun reaksi itu tak bisa ia sembunyikan dari gadis di depannya.

"Boleh aku tau alamat Damar?" tanyanya. Ia tak mau membuang banyak waktu berharga untuknya, dan gadis itu hanya mengangguk sebagai jawabnnya.

Mobil milik Rakha kini memasuki sebuah gedung pencakar langit, bahkan jika ia membandingkan dirinya dan di lihat dari puncak sana, ia tak lebih terlihat dari seekor semut.

Setelah memakirkan mobilnya dengan tenang, ia bergegas menuju meja resepsionis. Menanyakan penghuni unit yang ia maksud. Namun gadis yang bekerja sebagai resepsionis itu memberitahukan bahwa orang yang Rakha cari sedang keluar. Rakha pun memilih menunggu di tempat yang telah di sediakan. Detik demi detik, menit demi menit bahkan tak terasa satu jam lebih ia menunggu. Namun niat dan tekadnya tak bisa membuat ia bangun dari tempatnya.

Ia sejenak membunuh waktu demi menghilangkan rasa gundah dalam hatinya. Hingga beberapa saat, netranya tepat melihat di balik pintu utama, melihat seorang pria dengan jaket hitam, lengkap pula dengan topi abu-abu. Tanpa babibu ia bergegas berjalan menghampiri pria itu.

"Damar!" panggilnya.

Pria yang di panggil Damar itupun menoleh. Matanya membulat seketika. ia berniat menghindari Rakha dengan segera menaiki lif namun belum sempat masuk kerah jaketnya di tarik oleh Rakha hingga di pun oleng.

Brugggggg

Brugggggg

Pukulan bertubi-tubi ia berikan pada pria itu. Namun tak sekalipun ia membalasnya. Jeritan beberapa staf yang berlalu lalang membuat suasana semakin panas.

"Apa lagi yang lho sembunyiin dari gue sialan!" Rakha tak segan-segan melayangkn pukulannya.

"Dengerin gue dulu Kha!" pintanya sambil menghapus sudup bibirnya yang berdarah.

"Apa lagi yang yang lho mau bilang brengsek!" Rakha hendak ingin menghajar Damar kembali namun segera di tahan oleh petugas yang melihat kejadian itu.

Damar bangkit dengan susah payah meminta agar petugas itu melepaskan Rakha.

"Kita bicara di unit gue aja ya," pintanya saat para petugas itu melepaskan kungkungan tubuh Rakha.

Jujur dalam hati kecilnya pria itu enggan sekali memenuhi ucapan Damar sahabat baiknya dulu di bangku sekolah menengah atas. Namun tubuhnya mengatakn lain. Mengikuti langkah Damar yang sedikit terhuyung karna pukulan Rakha yang mengenai kepalanya beberapa kali, membuat Damar sedikit pusing.

Ting....

Suara kotak besi itu terbuka menunjukan angka dua puluh lima. Mereka berjalan menyusuri koridor dan Damar sebagai penunjuk jalan berada di depan. Mereka berhenti di sebuah pintu kayu besar nan kokoh.

Rakha melihat pintu kayu itu yang di atasnya terdapat angka serius tujuh puluh lima.

Ting ..

Pandangannya berubah melihat pintu itu mulai terbuka.

"Masuk Kha." ucap Damar. Melihat sahabat lamanya hanya diam di depan pintu.

"Gue bakalan ceritain semuanya ke elo, tapi please lho masuk dulu ya," ucpanya memohon.

Rakha pun menuruti permintaan itu. ia duduk di sofa panjang di ruang TV. Matanya menyusuri setiap sudut ruangan itu.

Sempat ia mencuri pandang pada sahabatnyayang kini membersihkan sisa luka yg di buat olehnya.

"Apa lho dateng nemuin gue karna udah liat Video itu?" tanyanya kala Damar datang mendekat membawa bascom yng berisi air dingin, serta handuk kecil yang ia gunakan untuk mengompres belas lebam di pipinya.

"Apa maksud dari video itu? jelasin ke gue sekarang." ucapnya. Mata mereka beradu. Dengan tatapan Rakha yang seperti elang mengincar mangsa, sedangkan Damar yang terlihat sendu.

"Gue cuman bisa bilang jaga Novia, hanya lho yang bisa ngelindungin dia." jawabnya. Rakha yang belum puas denganjawabn itu menggeram kesal.

" bukan itu yang gue mau denger dari mulut lho. Gue mau semuanya! tanpa terkecuali." ucapa tanpa ingin bantahan itu sontak membuat Damar menghela napas dalam-dalam. Rakha yang sudah tak sabar ingin mendengar itupun imut menghelas napas. Menahan emosi serta rasa keingintahuannya.

"Kalo lho nggak ngomong! gue bisa bikin lho bener-bener nggak bisa napas lagi."

Damar hanya bisa diam, ia mencoba menyusun kata yang baik agar Rakha yang ia tau wataknya egois serta emosinal bisa menerima semua penjelasnnya.

"DAMAR!" suara Rakha menyebut nama itu terdengar kesal.

Kesal karna kebisuan Damar yang tak kunjung bicara. Damar yang sedari tadi hanya diam menunduk kini mengangkat wajahnya. Pria itu kembali menghela napas berat. Ia sudah kepalang tanggung. Berada di posisi ini sangat sulit untuknya.

"Sebelumnya gue minta maaf Kha," ucapnya memulai pembaicaraan, namun tak ada reaksi sedikitpun dari Rakha. Pria itu menunggu ucapan Damar selanjutnya. Yang Damar tau maksud dari itu semua.

"Emang apa yang lho lihat di rekaman itu bener." Damar menghela napas sejenak, memori yang ia simpan selama tujuh tahun itu harus ia buka kembali. Mendengar ucapan Damar, Rakha mengepalkan kedua tangannyadan itu tak luput dari netra Damar.

"Yang niat gue bunuh itu bukan Sonia tapi Novia." kata itu membuat Rakha bangkit dari duduknya.

"Maksud lho apa hah?" tangannya tepat menunjuk wajah Damar yang masih di balut handuk kecil itu. Namun sang empunya hanya diam.

"Ini bukan keinginan gue tapi orang lain!" ucapnya ambigu. Rakha yang masih terkejut serta emosi yang belum reda mendengar itu semakin membiat darahnya mendidih.

"Lho kalo ngomong yang jelas Dam! sebelumgue bener-bener buat lho mati sia-sia disini."

" Gue lakuin itu atas keinginan Nadine." mendengar nama itu amarah Rakha makin bertambah, napasnya sudah tak stabil, dadanya kini kian sesak, Novia, Sonia, Nadine, kecelakaan, kenangan. semua menjadi satu yang membuat dia duduk kembali.

"Novia sekarang dalam bahaya Kha!" ucap Damar yang membuat Rakha kembali melihat netra itu, ada kekhawatiran dalam mata itu.

"Siapa yang mau nyakitin dia lagi?" tamya Rakha.