webnovel

Cindy Bukan Cinderella

Kata orang, “Sepatu yang bagus akan membersamaimu ke tempat yang indah”. Bagaimana dengan sepasang sendal jepit pemberian sang mantan? Ini kisah seorang gadis bernama Cindy, orang-orang menyebutnya Cinderella jaman now. Bagaimana tidak, Cindy memiliki Ibu dan dua saudari tiri seperti yang dikisahkan dalam dongeng. Sejujurnya Cindy ingin sekali berteriak, “Aku Cindy dan bukan Cinderella!” Bagai hidup di negeri dongeng, rupanya Cindy juga memiliki rahasia kecil tentang kemampuannya berbicara dengan hewan dan seorang peri yang ceroboh. Alih-alih membantunya, peri itu malah seringkali menyusahkannya. Mampukah Cindy melewati lika-liku kehidupannya? Mampukah Cindy bertemu dengan pangeran impiannya? Bagai sepasang sepatu yang menemukan rak untuk berteduh, Cindy juga membutuhkan hati tempatnya berlabuh.

Xerin_16 · ファンタジー
レビュー数が足りません
229 Chs

Amarah yang Tersulut

Sang Prajurit yang ditugaskan tak memiliki pilihan lain. Ia menjadi kesal sendiri sudah terpilih. Semua ini karena beberapa prajurit lain dengan teganya bergerak mundur bersamaan saat Sang Ratu memanggil prajurit.

"Sial! Aku akhirnya yang kena getahnya," gerutunya.

Sang Prajurit itu lalu menuju dapur istana yang berisikan banyak bunga-bunga yang sangat indah. Isi dapur itu tidak biasa. Bunga-bunga yang berasa di sana adalah bunga langka dan juga sangat harum.

"Apa ada yang bisa dibantu?"

"Saya ingin nektar yang termanis untuk Ratu Lala."

Penjaga dapur itu sedikit heran. Seingatnya, tadi ada seorang peri pelayan yang datang dan meminta hal yang sama. Ia menaikkan satu alis dan menatap Sang Prajurit dengan tajam.

"Kamu tidak sedang membohongiku, kan? Aku tidak akan memberikan nektar terbaik di negeri ini bila bukan untuk Sang Ratu." Tegas, ia memperingatkan.

"Aku tidak akan berani melakukannya. Bukankah kamu tahu sendiri apa resikonya bila aku berbohong. Kepalaku ini adalah jaminannya."

"Hm … baiklah."

Peri itu lalu mendekati sebuah tempat penyimpanan transparan yang berisi nektar teratai. Warnanya ungu dan sangat cantik. Ada serpihan-serpihan serbuk sari yang masih menempel dalam cairan itu. Itu membuatnya menjadi berkilauan. Sungguh, memandanginya saja sudah seperti bisa merasakan betapa manisnya minuman itu.

"Apa … aku bisa merasakannya sedikit saja?" Prajurti itu sedikit memelas.

"Apa kamu sudah gila? Tidak dengar ya tadi? Aku hanya akan memberikan ini pada Sang Ratu. Kalau mau, kamu carilah bahannya terlebih dahulu. Aku akan membantumu untuk mengekstraknya dengan baik." Meski penjaga itu menolak permintaan Sang Prajurit, ia memberi solusi lain yang masuk akal. Itu memberikan sedikit harapan bagi prajurit.

"Baiklah, aku akan membawa bahannya nanti. Aku pegang janjimu itu. Aku akan kembali ke sini suatu saat nanti. aku berharap kamu mau melakukannya nanti tanpa alasan."

"Oh, tentu. Aku tidak pernah mengingkari janjiku."

Prajurit itu membalas dengan senyuman.

"Ini dia." Sang penjaga memberikan sebuah nampan yang sudah lengkap dengan segelas nektar di atasnya. "Kalau Ratu masih menginginkannya lagi, kamu boleh kembali dan menemuiku."

"Tentu aku akan kembali sesuai perintah Sang Ratu."

Setelahnya, prajurit itu kembali dengan segera menuju kastil bunga. Tampak jelas sekali wajah Sang Ratu yang sudah tidak sabaran. Ia memandang tajam prajurit itu semenjak kakinya baru saja diinjakkan di sana.

"Cepatlah! Kamu tak tahu berapa lama aku menunggu? Kalau bukan karena pelayan sialan itu aku harusnya tak sehaus ini," gerutunya.

"Baik, Yang Mulia." Ia berjalan dengan sangat hati-hati. Peristiwa tadi sudah cukup membuatnya perlu lebih mawas saat mengantar nektar bunga hingga ke tangan Sang Ratu.

"Awas saja kalau kamu menjatuhkannya," ucap Ratu lagi. Kali ini membuat prajurit itu menjadi bergetar.

Semua mata memandang peristiwa itu. Memang bukanlah sebuah peristiwa penting. Nmaun, seolah ada aturan tertulis 'jika kamu menumpahkannya lagi, nyawamu adalah taruhannya'.

"Ini Yang Mulia, silakan dinikmati minumannya," ucapnya penuh hormat.

Ratu Lala langsung mengambil minuman itu dan menegaknya.

"Aaahh! Ini sangat nikmat!" Ia lalu duduk kembali di atas singgasana dengan tangan yang masih memegang gelas. "Lalu, apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya dengan sinis pada prajurit itu. "Hei! Kau bisa kembali ke posisimu semula."

"Ba-baik, Ratu."

Sesuai perintah, Sang Prajurit kembali ke dalam barisannya. Ia juga menaruh nampan pada meja yang terletak di sana. Suasana sangat tegang dan selalu seperti ini bila tanpa Para Tetua. Entah mengapa, sosok orang-orang tua itu terlihat sangat penting dan memiliki andil besar di sini sekarang.

"Aku ingin menanyakan pendapat kalian. Aku harap kalian menjawabnya dengan sangat jujur." Sang Ratu membuka pembicaraan setelah menghabiskan nektar dalam gelas itu. "Hukuman apa menurut kalian yang sangat pantas bagi seorang pemberontak."

Hening, tak ada satu pun yang berani menjawabnya. Itu bukan pertanyaan yang mudah karena beberapa hal. Mereka khawatir memberikan jawaban yang salah. Hal lainnya lagi, mereka tak tahu untuk siapa hukuman itu akan diberikan.

"Apa kalian tuli?!" Ratu Lala sudah sangat tak senang dengan sikap prajurit-prajurit itu. "Berilah jawaban untukku atau … akan aku selesaikan umur kalian sampai di sini!" imbuhnya.

Para prajurit itu saling berpandangan satu sama lain.

"Maafkan hamba Yang Mulia Ratu Lala. Kami para prajurit tidak bisa memutuskan begitu saja. Ada beberapa pertimbangan untuk memutuskan hukuman bagi terdakwa tersebut. Kami juga belum tahu siapa yang sedang Sang Ratu maksudkan." Akhirnya, salah seorang dari mereka berani menyuarakannya.

"Oh? Apa benar seperti itu? Apa perlu aku perjelas? Aku rasa kalian bahkan sudah mengetahuinya. Apa kalian sedang bermain-main denganku sekarang?" Nada suara Ratu Lala semakin tinggi. Ditambah dengan raut wajahnya yang sangat menyeramkan membuat kengerian tersendiri.

"Ampun Yang Mulia, kami …."