Sekitar dua jam perjalan dari ibu kota ke tempat kelahiran Aurora, kota sederhana dengan bangunan tua berbaris di sepanjang jalan. Rumah-rumah dengan halaman sempit namun terlihat sehat dengan tanaman buah dan sayur. Rumah sakit dimana ayah Aurora tidak jauh dari rumahnya, tidak berapa lama rumah sakit sudah terlihat.
Setelah Romeo menyapa ayah dan Ibu Aurora, keduanya kini berada di taman belakang rumah sakit. Romeo minum air kemasan yang tadi ia sempat beli di minimarket, juga ada bungkusan makanan kecil sisa tadi diberikan pada ibu Aurora. Patut dibanggakan perhatian Romeo pada kedua orang tua Aurora memang luar biasa besar, sampai kadang Aurora merasa Romeolah anak orang tuanya. Hati wanita mana yang tidak meleleh dengan sikap Romeo. Laki-laki itu baru saja selesai minum kemudian merogoh saku celana belakangnya.
Mungkin jika baru pertama kali melihat Romeo. Kesan pertama yang akan terlihat adalah? Ia anak nakal, anak jalanan, pembuat onar dan masih banyak lagi. Kenapa bisa demikian? Karena, Romeo datang dengan celana jeans, terdapat robekan di celana bagian lututnya. Kaos abu-abu muda polos dan rambut dicepol kebelakang.
Tapi nyatanya? Ia adalah laki-laki lembut, perhatian, memperlakukan wanita dengan sangat baik.
Tiba-tiba Romeo memberikan kartu kreditnya.
"Buat apa?" tanya Aurora saat setelah menerima. Pikir gadis itu Romeo ingin dibelikan sesuatu, kalaupun iyah, jika harganya masih bisa Aurora tangani. Romeo tidak perlu memberikan kartu hitam itu.
"Kamu berhenti kerja!" kata Romeo, keduanya duduk diatas rerumputan.
"Kenapa harus berhenti kerja? " Aurora kembali memberikan kartu itu pada tangan Romeo. Terkadang itu yang tidak Aurora suka dari Romeo selalu mengandalkan uang.
"Kamu mau selesai tahu ini kan, kuliahnya? Kalau sambil kerja terus cape, terus gagal pas sidang bagaimana? Aku gak mau kamu ngulang. Kalo pun mengulang aku tetap menikahi kamu tahun ini." Romeo tidak pernah berhenti mengemukakan niatanya dari dulu ingin segera menikahi Aurora.
Aurora tergelak bahagia, melihat wajah Romeo sangat serius dengan ucapannya. Siapa juga yang tidak ingin menikah dengan laki-laki itu.
"Oo... Jadi itu alasannya kamu ngasih aku, ini?" Aurora menaikan kartu kredit di tanganya tadi.
"Aku sedang tidak bercanda, Ara. Apa kamu tidak mau menikah denganku?" wajah Romeo benar-benar serius, seketika membuat gelak tawa Aurora menghilang dan sesat ia bisa membaca ada kecemasan dalam tatapan kekasihnya saat ini.
"Tidak mau." tawa Aurora lagi sengaja menggoda keseriusan Romeo. Menenggelamkan pemikirannya ditengah tengah restu orang tua Romeo yang belum didapatkan sedangkan Romeo sudah begitu keras ingin menikahinya.
Romeo tahu ucapan Aurora itu hanya bercanda, tapi terasa sedikit menusuk dengan keadaan sekarang. Gadis ini tidak mengetahui keadaan sekarang. Romeo masih diam, sedangkan Aurora masih saja bersembunyi dibalik kepura-puraan.
"Aku bercanda, tentu saja aku mau menikah denganmu. Mau lulus tahun ini apa nanti, rasanya semakin lama kita bersama aku semakin berdosa pada Ibu dan ayah, aku terasa sudah ngecewain mereka. Harapan mereka aku bisa hidup dengan baik, tidak terbawa arus pergaulan bebas."
"Harapan mereka sudah terpenuhi, Ara. Kamu kuliah dan bergaul dengan baik tidak."
Romeo memeluk Aurora, keduya mungkin mengecewakan tapi keduanya tidak mengikuti pergaulan bebas atau seks bebas apalagi obat-obatan.
"Kenapa, Romeo?" tanya Aurora dalam pelukan Romeo. Romeo membelai rambutnya.
"Kamu janji percaya aku, sekalipun yang kamu lihat adalah kenyataan." Romeo menatap lekat. Aurora mengganggu.
"Simpan ini!" Romeo kembali memberikan kartu kredit itu. Hanya untuk menuruti kemauan Romeo akhirnya Aurora menyimpannya tapi bukan berarti akan ia gunakan nanti.
Mata yang indah memancarkan daya tarik, Aurora menarik tangan Romeo keduanya berjalan menghabiskan waktu sore ini, setelah itu kembali ke rumah sakit membawa bungkusan untuk Ibu dan ayahnya.
"Mau kemana ruangan ayah di bawah?'' Melihat Romeo menarik tanganya masuk ke dalam lift. Sedangkan ayahnya dirawat di lantai bawah.
"Sudah dipindah, biar ayah dan ibu nyaman, Ara." Dengan gandengan tangan yang tidak juga terpisah Romeo semakin membawa Aurora masuk menelusuri lorong rumah sakit. Papan keterangan tertulis VVIP. Aurora masih melihat sekitar ruangan suasananya seketika berbeda dari ruangan yang tadi. Lebih tenang dan hanya ada perawat yang berjaga.
"Romeo."
Romeo berhenti kemudian melihat Aurora, sedang tidak ada minat untuk berdebat.
"Ayah sakit jantung, harus diawasi dengan baik, kalo di sini pasti betul-betul terawasi, terus ibu, biar bisa nyaman istirahat. Kamu bisa mengerti apa yang aku lakukan tanpa membantah! Ini, kenapa aku ingin cepat menikah, supaya kamu tidak terus berpikir kalau uang kita berbeda. Kamu selalu berpikir ini tanggung jawab kamu dan aku hanya sebatas kekasih. Ara! Kalau kita sudah menikah nanti, jangan selalu terpisah. Tadi pas kamu ngambil obat ayah, aku minta pada suster untuk memindahkan ruangan ayah. Dan sekarang sudah di ruangan ini."
Pintu dibuka Romeo, barulah Aurora masuk dengan sambutan senyum kedua orang tuanya.
"Aku beli makanan untuk Ibu, sini Bu, biar aku yang menyuapi ayah." Aurora mendekat mengambil alih sendok dan mangkuk yang ibunya pegang.
"Bagaimana kondisi ayah, Bu?"
Ayah Aurora mengangguk dalam payah, umurnya tak lagi muda serta penyakit jantung yang ia bawa.
"Ibu makan dulu!" Romeo memberikan makanan yang tadi ia beli.
"Ayo, kau juga makan, Nak. temenin Ibu makan." Ibu Aurora sudah menganggap Romeo sebagai anak lelakinya karena sikap Romeo pun layaknya kakak bagi Aurora. Semenjak hubungan keduanya Romeo utarakan, ibu Aurora sudah senang putrinya ada yang menjaga dan selama ini tidak pernah terlihat jika Aurora bersedih dan itu artinya Romeo memperlakukan ia dengan baik.
"Aku barusan sudah, Bu. Sama Aurora." Romeo mendekati Aurora membantunya memegang mangkuk di samping ranjang.
"Sudah, nak. Ayah sudah kenyang."
"Iya, yah." Dibantu Romeo, Aurora membereskan sisa makanan ayahnya. Romeo masih berdiri di samping ranjang seakan menunggu apa yang bisa ia bantu.
"Ara, layani dulu Romeo, mungkin dia butuh sesuatu atau buatkan teh hangat," ujar ibu Aurora. Senangnya Romeo terasa di atas angin, Aurora harus melayaninya layaknya suami. Dan itu juga kenapa Romeo menyukai gadis dari daerah karena masih diajarkan kesopanan.
Berbeda dengan wanita metropolitan yang semua serba modern tidak ada istilah melayani suami yang ada semua dikerjakan asisten rumah tangga.
"Ibu! Romeo bisa-bisa kesenangan." Aurora menyipitkan matanya melihat seutas senyum kecil pada bibirnya.
"Sepertinya ada yang cemburu, aku diperhatikan," balas Romeo. Semuanya tersenyum hangat.
Malam itu semua tidur di rumah sakit, Romeo terbangun melihat Aurora kedinginan, ia menyelimuti dengan jaketnya. Kalau tidak ada kedua orang tua gadis itu. Romeo akan rela jadi selimut hidupnya saat ini. Pagi ini Romeo harus kembali setelah tadi berpamitan pada kedua orang tua Aurora, ia kembali menemui Axel dan Deren di kampus.