webnovel

Catatan Cerita

Sheren Queena memiliki mimpi yang manis. Gadis cantik itu menyukai musik, dan mimpinya adalah orang-orang bisa mendengarkan musiknya. Sesederhana itu. Namun rupanya, jalan yang dia tempuh teramat sangat terjal.

ranyraissapalupi · 若者
レビュー数が足りません
297 Chs

Catatan 51: Tidak Mudah

Kehidupan sekolah Sheren tak pernah sama seperti dahulu. Kini, dia benar-benar sendirian di sekolah. Hanya Adeline yang masih bersamanya, sementara Sashihara dan Rhea benar-benar menjauh dari hidupnya. Anehnya, Sheren justru merasa lega dengan ini semua. Karena dia kini mengerti dan tahu mana orang-orang yang benar-benar tulus padanya dan mana yang tidak. Kini, Sheren tengah duduk di ruang guru untuk mengerjakan ujian susulan. Di beberapa mata pelajaran, Sheren tidak bisa menghadiri kelas dan dia tidak bisa mengikuti ujian. Pulpen yang digunakan Sheren kemudian dia letakkan di atas meja, lalu gadis itu beranjak dari duduknya. Meninggalkan Shawn sendirian yang masih berkutat dengan kertas ujian.

"Benar-benar melegakan sekali. Kini, aku hanya perlu menghadapi ujian semester yang akan datang beberapa waktu lagi," gumamnya sambil menatap lalu lalang para siswa di depan koridor ruang guru. Sheren lalu berjalan meninggalkan koridor ruang guru dan berjalan menuju kelasnya. Semoga saja dia tidak menghadapi masalah baru di kelas.

***

Sepanjang kelas berlangsung, pikiran Sheren benar-benar terfokus pada pelajaran yang dijelaskan oleh Guru. Sheren sangat menikmati momen ini, momen di mana dia bisa kembali menjadi Sheren yang dulu. Sheren Queena, seorang siswi biasa yang berbakat di bidang piano. Bukan seorang Sheren Golden Team yang berdiri di bawah lampu sorot dan ekspektasi orang-orang.

Sheren tidak sengaja menoleh ke kiri, manik matanya bertemu tatap dengan manik mata Rhea. Mereka saling bertatapan, hingga akhirnya Sheren mengalihkan pandangannya. 'Ada sesuatu yang aneh dari tatapan matanya. Aku tidak melihat kebencian di matanya, tapi kenapa dia menjauh dariku dan seolah tidak mengenalku?'

"Sheren, lihat deh," bisik Adeline sambil menunjukkan ponselnya di bawah meja agar Guru mereka tidak bisa melihat apa yang mereka lakukan karena jam pelajaran belum usai.

Sheren menatap ponsel Adeline, seulas senyum terbit di bibirnya. Itu adalah poster mengenai pertunjukan orkestra yang akan mereka lakukan di Austria. Poster itu diunggah pada sosial media resmi milik Starlight Entertainment. Sheren lalu mengambil ponselnya sendiri yang berada di laci meja, dia kemudian membuka laman sosial media Starlight Entertainment. Dia membaca komentar-komentar orang-orang. Dia bisa melihat banyak akun bercentang biru yang memberinya komentar positif, dan beberapa diantara akun itu adalah milik teman-teman satu timnya. Bel istirahat berbunyi nyaring lima menit kemudian.

Sheren menatap Adeline yang tergesa-gesa berkemas, hal itu tentu saja membuatnya heran. "Kenapa Line?"

Adeline tersenyum manis, "Pacarku sudah menunggu. Aku duluan ya?"

Sheren tertawa, gadis itu lalu mengangguk. Sheren kemudian memutuskan keluar dari kelas. Dia tidak mengacuhkan tatapan sinis dari teman-teman sekelasnya. Sheren mencoba untuk tidak membalas tatapan mereka. Karena jika dia melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh teman-temannya, hal itu membuatnya tampak bodoh dan selevel dengan mereka.

Angin sepoi-sepoi menyapa lembut wajah Sheren, membuatnya merasakan mengantuk sekaligus nyaman. Sheren membuka sterofoam berisi batagor untuk makan siangnya, kali ini dia menyantap makanannya seorang diri. Sebuah ide melintas di benaknya. Dia meletakkan sterofoam itu di sisi kirinya yang kosong, sementara tangan kanannya terus menyuapkan batagor ke mulutnya. Tangan kiri Sheren menggeser komentar-komentar orang-orang di sosial medianya. Sebut saja Sheren memang mencari penyakit, namun ada satu bagian dirinya yang merasa tergelitik untuk melihat komentar-komentar negatif orang-orang. Dan dia menemukannya, namun jumlahnya sangat sedikit.

"Sebentar, jika dipikir-pikir lagi yang memberiku komentar negatif tidak sebanyak yang memberiku komentar positif," gumam Sheren. "Jadi, masih banyak orang yang mendukungku kan?" Sheren lalu mengunggah ulang poster penampilannya dari laman resmi Starlight Entertainment ke akunnya sendiri.

"Masih aja cari penyakit kamu ini."

Sheren menjerit kaget saat seseorang tiba-tiba muncul di depannya. Shawn duduk di bangku yang berhadapan dengannya. Bangku taman di sekolah ini memang disusun berpasangan dan berhadapan. Sheren menatapnya kaget, "Sejak kapan kamu di sini?!"

"Sejak negara api menyerang! Kamu tahu membaca komentar negatif itu menyakitkan kan? Lalu, kenapa kamu malah membaca komentar-komentar itu?"

Sheren menatap layar ponselnya yang masih menampilkan komentar-komentar jahat dari orang-orang, kemudian dia menutup aplikasi sosial medianya. "Ehem...Aku hanya sedikit penasaran. Memangnya kamu gak penasaran dengan apa yang dikatakan orang-orang tentangmu, Shawn?"

"Enggak, aku enggak penasaran sama sekali. Kamu tahu kenapa? Semakin aku penasaran dan mencari tahu, hal itu hanya akan menyakitiku. Lagipula, memang jika kita mengetahui hal itu akan membuat orang-orang yang membenci kita jadi berbalik membela kita? Tentu saja tidak. Hal itu justru merusak mental kita."

Sheren mengerjap, dia menatap Shawn dengan pandangan penasaran. "Kok gitu, Shawn? Kan mereka jahat pada kita, tentu saja kita harus tahu agar kita bisa membalas mereka!"

"Manusia hanya mempercayai apa yang mereka ingin percayai, jadi tetap tidak akan merubah pandangan mereka pada kita kecuali jika mereka sendiri yang menginginkannya."

"Kamu tidak ada niat untuk melaporkan mereka? Atau membalas perbuatan mereka?"

"Ada rasa ingin membalas mereka, tentu saja. Tapi, aku tahu jika membalas mereka pun tidak berguna. Karena jumlah mereka sangat banyak. Menyalahkan mereka pun percuma. Jadi, yang bisa kulakukan adalah menjadikan ini sebagai pelajaran dan tidak melakukan perbuatan yang sama pada orang lain."

Sheren tersenyum, pernyataan Shawn ada benarnya. "Yah, kurasa kamu benar. Ditambah lagi, kamu lebih senior dari aku di bidang ini."

Shawn tertawa. "Kita sama seniornya di bidang seni, Sheren. Aku dan kamu sama-sama senior di bidang ini sebenarnya."

Anggukan Sheren menjadi jawaban atas kalimat Shawn tersebut. "Iya juga sih. Oh ya, kamu hari ini ada pekerjaan?"

"Ada, aku hari ini ada syuting serial televisi. Kalau kamu?"

"Bu Winona memanggilku, entah ada urusan apa."

Bel masuk menginterupsi percakapan itu dengan tiba-tiba. Sheren dan Shawn lalu berpisah menuju kelas mereka masing-masing.

***

Sheren kini menatap horor pada tumpukan dokumen yang berada di atas meja di ruang istirahat Golden Team. Tadi pagi sebelum berangkat ke sekolah, Bu Winona menyuruhnya untuk menemui beliau sepulang sekolah di ruang istirahat Golden Team. Dan setelah pulang sekolah dua puluh menit yang lalu, Sheren kini berada di ruang istirahat Golden Team dengan Bu Winona yang sudah menunggunya diisertai dengan setumpuk berkas di meja ruang istirahat Golden Team.

"Itu berkas apa jika saya boleh tahu?"

Bu Winona menatap Sheren dengan serius. "Itu adalah permintaan kolaborasi dari para artis di bawah label Starlight Entertainment dan 29 Music. Mereka memintamu untuk menciptakan lagu baru untuk mereka. Dan dokumen-dokumen itu adalah dokumen konsep album baru mereka."

"Sebanyak itu?"

"Itu hanya untuk 20 artis, Sheren. Dan kemungkinannya bisa bertambah sangat banyak seiring berjalannya waktu. Semua tergantung kualitas musikmu. Jadi, saya harap kamu tidak mengecewakan. Oke? Nah, saya pergi dulu. Kamu bisa membawa pulang dokumen-dokumen itu. Ah iya, ini kunci ruang studio musik. Di sana terdapat banyak alat musik dan komputer untuk menciptakan musik," ujar Bu Winona sambil meletakkan sebuah kunci di atas map yang ada di meja.

Sheren tersenyum. "Baik Bu, terima kasih banyak untuk bantuannya."

Bu Winona tersenyum, wanita itu kemudian meninggalkan ruang istirahat Golden Team. Sheren kemudian membawa semua dokumen itu ke studio musik yang kuncinya baru saja diserahkan oleh Bu Winona.

***

Dentingan piano diikuti oleh suara biola memenuhi setiap sudut studio bernuansa merah muda itu. Sheren sedang menatap serius pada layar monitor komputer yang menampilkan program pembuat musik. Sesekali, tangan kanannya mengarahkan tetikus yang dipegangnya ke arah ikon-ikon di program tersebut. Setelah membaca salah satu dokumen konsep, sebuah ide melintas di otak Sheren. Kemudian, gadis itu merealisasikan ide tersebut di atas kertas partitur yang sudah disediakan di studio ini.

Gumaman terdengar dari mulut Sheren. Dia sedang membuat satu lagu lengkap dengan liriknya. Sesekali, Sheren memutar lagu itu secara utuh kemudian merevisi beberapa bagian. Dia juga merekam demo lagu dengan suaranya. Sheren menatap jam dinding. Kini, waktu menunjukkan pukul 20.00. Sheren menghela nafas, satu lagu belum selesai dan dia masih memiliki banyak target lagu yang harus dia selesaikan. Gadis itu memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya hingga selesai satu lagu secara utuh agar tidak terlalu banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan.

Jam sudah menunjukkan pukul 21.00 saat Sheren mematikan komputer yang dia gunakan. Perutnya sudah konser sejak tadi. Sejak debut hingga sekarang, Sheren sering makan malam melewati jam makan malam yang seharusnya. Dia menghela nafas panjang, kemudian bergumam, "Capek sekali hari ini. Tapi, ini kan yang aku minta. Ini adalah konsekuensi yang aku terima saat aku menandatangani kertas kontrak itu." Kemudian, Sheren meninggalkan studio setelah mematikan lampu-lampu di dalam studio.

Kakinya melangkah gontai menyusuri koridor yang sunyi. Aktivitas perkantoran sudah usai sejak tadi, namun Sheren yakin bahwa aktivitas para pekerja seni di gedung ini belum berakhir walau hari sudah malam. "Wah sepi sekali. Jika ini adalah film horor, sebuah tangan gaib pasti muncul dari lantai untuk menarik kakiku...AH SIAL! TANGAN GAIB ITU MUNCUL!!" Jeritan heboh keluar dari mulut Sheren saat sebuah tangan mendadak muncul memegang bahunya. Sheren menampik tangan itu dengan kasar sambil berbalik badan. Namun bukan hantu yang dia lihat, melainkan sesosok pemuda tampan yang tengah menatapnya dengan tatapan kebingungan. Di belakangnya, ada dua sosok pria dan wanita yang juga tengah menatapnya dengan tatapan kebingungan.

"Kamu kenapa? Sakit?" tanya Shawn heran.

Sheren berdeham untuk menutupi rasa malunya. "Enggak, aku enggak apa-apa. Kamu ngapain di sini jam segini?"

"Aku baru saja selesai syuting."

Sheren mengangguk-angguk mengerti. Dia kemudian mengalihkan pandangannya pada Alana. "Kak Alana, pulang yuk!"

Namun bukan Alana yang menjawab, melainkan Robert. Robert adalah pria yang berdiri di samping Alana sekaligus salah satu manajer Golden Team. "Yakin mau pulang sama Alana? Bukankah lebih baik pulang bersama Shawn?" Robert menatap Sheren dengan pandangan jenaka. Sementara Alana sudah tertawa melihat reaksi Sheren yang kebingungan. "Kamu tidak mau melewatkan kesempatan untuk berduaan dengan Shawn? Mumpung dia ada di sini. Kalian bisa melakukan hal-hal romantis berdua," lanjut Robert disertai senyuman lebar.

Sayangnya, reaksi Sheren sangat diluar ekspektasi dari ketiga orang itu. Dia sama sekali tidak salah tingkah, melainkan menatap ketiganya dengan kesal. "Kak, aku capek dan lapar. Aku juga mengantuk. Oh satu lagi, aku tidak berniat bercanda saat mengatakan bahwa aku ingin pulang."

Melihat situasi yang sepertinya akan berujung pertengkaran, Shawn berinisiatif mengantar Sheren pulang sekaligus mentraktirnya makan. "Mau makan gak? Pecel? Ayam? Sebut saja yang kamu mau. Aku traktir."

"Mau lalapan pecel lele boleh gak?" tanya Sheren dengan tatapan berbinar. Suasana hatinya kembali membaik saat Shawn menawarinya makanan.

"Tentu saja boleh!" Shawn lalu berbalik badan, menatap kedua manajernya yang tengah berdiri di belakangnya. "Kalian berdua mau ikut gak?" Alana dan Robert mengangguk sambil tersenyum kecut. Mereka terpaksa menyetujui ajakan Shawn karena tatapan tajam pemuda itu. Pertanyaan tadi lebih bermakna ancaman. Kalian harus ikut atau kami bisa terkena skandal yang membuat kalian repot adalah makna dari ajakan tadi. Keempat orang itu kemudian berjalan meninggalkan gedung agensi bersama-sama.

***

"Lusa latihan terakhir dengan Winter Orkestra sebelum ke Austria kan?" tanya Robert pada Sheren. Mereka tengah duduk lesehan di salah satu tenda penjual pecel lele.

Sheren mengangguk. "Iya, lusa adalah latihan terakhir. Tapi aku harap, Austria bukanlah kerja sama terakhirku dengan Winter Orkestra."

"Kamu minta saja pada Bu Winona kegiatan solo berupa konser musik klasik," usul Shawn.

Sheren menggeleng pelan. "Enggak bisa, Shawn. Bu Winona sudah memberiku banyak kegiatan solo berupa aktivitas menulis lagu untuk artis lain."

"20 tim dan kemungkinan masih bertambah di kemudian hari," ujar Alana.

"Aku akan usahakan supaya kamu mendapat kesempatan untuk menggelar konser solo musik klasik," kata Robert mantap.

"Memang ada yang mau melihat konserku Kak? Aku enggak sehebat itu hingga membuat orang-orang rela mengeluarkan uang dan tenaganya untuk melihatku," bantah Sheren. Dia merasa begitu karena dia membaca komentar-komentar negatif yang terus berdatangan padanya.

Shawn mengibaskan tangannya tanda tak setuju. "Kamu berbakat banget! Aku yakin kamu pasti bisa menjadi musisi besar suatu hari nanti."

Penjual pecel lele mendatangi meja mereka untuk menyajikan pecel lele yang masih mengepulkan uap. Sheren seketika lupa dengan percakapan mereka tadi. "Wuah! Pecelnya terlihat lezat sekali!" Pembicaraan mengenai pekerjaan terputus sampai disitu. Mereka tidak lagi membicarakan pekerjaan, melainkan membicarakan hal-hal ringan lainnya.

Di tengah pembicaraan itu, Shawn menatap Sheren dengan tatapan lembut. Seolah-olah semesta hanya diisi oleh dia dan Sheren. Bunyi deru mesin kendaraan yang sesekali lewat pun tidak menjadi masalah. Pemuda itu justru asyik memperhatikan Sheren yang tengah menikmati makan malamnya. Dia bisa melihat jelas binar bahagia di mata Sheren saat menyantap sepiring pecel lele. 'Hal yang membuatmu bahagia rupanya sesederhana ini. Dan itulah sebabnya kamu menjadi sangat menarik di mataku,' batin Shawn tersenyum.

***

Surabaya, 12 Mei 2020

Semakin hari pekerjaanku semakin banyak. Pekerjaan-pekerjaan itu tak ayal menyita semua waktuku. Aku sangat lelah sekali, namun aku tahu bahwa itu adalah konsekuensi yang harus kuterima ketika memilih masuk ke dunia musik. Tidak mudah memang.