webnovel

Catatan Cerita

Sheren Queena memiliki mimpi yang manis. Gadis cantik itu menyukai musik, dan mimpinya adalah orang-orang bisa mendengarkan musiknya. Sesederhana itu. Namun rupanya, jalan yang dia tempuh teramat sangat terjal.

ranyraissapalupi · 若者
レビュー数が足りません
297 Chs

Catatan 19: Musikku

Sepulang dari konser Mama beberapa hari yang lalu, pikiran-pikiran mengenai masa depannya sering berkelebat. Mendatangi konser Mama kemarin, memberinya ide. Dia ingin menjadi seperti Mama, semenyebalkan apapun Mama. Namun, hati kecilnya tidak bisa berbohong. Sheren ingin menjadi musisi seperti Mama.Dan Mama adalah orang pertama yang mengenalkannya pada musik. Gadis cantik itu kini berdiri dari duduknya di sofa ruang tamu. Lantas, dia berlari cepat menuju lantai satu.

***

Mama baru saja selesai memasukkan bekal untuk Shaka ke dalam tas pemuda itu saat Sheren memasuki ruang tamu. Berbeda dengan Shaka yang sudah mengenakan kaus osis dan celana abu-abu, Sheren justru masih mengenakan setelan baju tidur katunnya.

"Loh She? Gak sekolah?" Mama menatap si bungsu dengan terkejut. Begitupula Shaka, namun pemuda itu lekas memahami bahwa adiknya tidak ingin datang ke festival sekolah.

"Kamu tidak sekolah?"

Pertanyaan Mama dijawab dengan gelengan oleh Sheren. "Tidak, aku tidak minat dengan festival sekolah." Omong-omong, festival sekolah baru bisa dilaksanakan hari ini. Mundur beberapa hari dari jadwal karena pihak sekolah menunggu kepastian dari manajemen Shawn. Shawn berjanji untuk datang ke sekolah sebagai pengisi acara, menyempatkan diri di tengah waktunya yang sibuk. Dan Sheren tidak pernah lagi mengobrol dengan pemuda itu setelah acara di rumahnya dulu.

"Loh kenapa? Festival sekolah, terutama saat kamu masih SMA adalah festival yang menyenangkan," bantah Mama.

"Mama benar! Lagian, hari ini artis ternama sudah dipastikan hadir loh! Kamu bisa bertemu dengannya dan menanyakan pengalamannya selama bekerja di bidang seni," imbuh Shaka. Melihat dan mendengar respon Mama dan Shaka yang sangat antusias membuat Sheren menghela napas. Rencananya untuk rebahan sepertinya gagal.

"Ayo siap-siap! Dua puluh menit lagi kita berangkat," ucap Shaka sambil berjalan menuju sofa ruang tamu. Sedangkan Sheren kini berjalan pergi menuju kamarnya. Gadis itu memutuskan untuk membahas mengenai rencananya mengikuti audisi di perusahaan Bu Winona nanti sepulang dari festival. Dia ingin tahu mengenai pendapat Mama tentang rencananya itu.

***

Suasana sekolah sangat ramai. Ada banyak kios yang menjual beraneka ragam barang, mulai dari makanan ringan hingga pernak-pernik. Ada juga kios yang menjual buku. Banyak pengunjung yang Sheren tahu tidak hanya berasal dari siswa dan alumni sekolah ini saja, namun juga sekolah lain. Netra Sheren melihat beberapa siswa-siswi telah berdandan. Beberapa siswi mengenakan gaun sementara beberapa siswa mengenakan setelan jas.

"Ka, kamu tidak ikut mengisi festival? Bukannya tim taekwondo sempat berlatih bersama untuk itu ya?" Sheren bertanya sembari berjalan menuju kelasnya.

Shaka yang juga tengah berjalan bersama Sheren mengangguk. "Iya, nanti setelah pidato pembukaan dari kepala sekolah. Tapi, aku tidak ikut karena sudah sangat sibuk menjadi panitia. Mau lihat mereka melakukan demonstrasi nanti?" Tanpa berpikir dua kali, Sheren langsung menggeleng. Hal itu membuat Shaka tertawa kecil. "Ke ruang taekwondo yuk? Aku rasa kelasmu pasti sepi."

Omong-omong soal kelas, dia tiba-tiba teringat sesuatu. "Ka, studio musik sekolah dikunci ya?"

"Tentu saja dikunci. Kenapa? Kamu mau pakai? Nanti aku pinjamkan ke Pak Randy." Omong-omong, Pak Randy adalah guru musik di kelas Shaka.

Sheren menggeleng. "Bukan ruang musik yang itu, tapi studio musik sekolah yang ada peralatan orkestra di samping gedung olahraga."

"Ah itu rupanya! Kalau gedung itu, kamu harus meminjam kuncinya ke Bu Fayra. Karena gedung itu kan spesial dan hanya digunakan oleh ekstrakurikuler orkestra. Kayanya sih, hari ini kosong gedungnya."

Sheren mengangguk. Lalu, gadis itu mengikuti Shaka menuju ruang taekwondo di dalam gedung olahraga. Sekolah Sheren ini memang unik. Dalam gedung olahraga, terdapat berbagai macam ruangan lengkap dengan fasilitas sesuai cabang olahraga masing-masing. Dalam ruang taekwondo, terdapat beberapa lapangan untuk berlatih taekwondo, ruang ganti putra dan putri yang terpisah, dan masih banyak lagi.

Kini, Sheren telah berada di dalam ruang taekwondo bersama Shaka dan mereka secara kebetulan bertemu dengan Bu Fayra. "Selamat pagi, Bu Fayra," sapa Shaka dan Sheren bersamaan.

Sapaan kompak dari Shaka dan Sheren membuat Bu Fayra tertawa gemas. "Kalian kompak sekali! Selalu kompak seperti ini ya?"

Sheren dan Shaka tersenyum simpul. Lalu, Shaka berkata, "Bu Fayra, apa saya boleh bertanya?"

"Tentu, ada apa Ka?"

"Begini, Bu Fayra membawa kunci ruang orkestra? Adik saya ingin meminjam ruang orkestra untuk berlatih piano."

Mendengar permintaan Shaka membuat Bu Fayra tersenyum lebar. "Tentu saja boleh! Oh iya, saya boleh ikut ya ke ruang orkestra?"

"Iya Bu. Saya justru senang jika Bu Fayra berkenan mau mendengarkan musik saya."

Bu Fayra tertawa. Lantas, guru muda itu mengajak Sheren meninggalkan ruang taekwondo. Sheren melambaikan tangannya pada Shaka kemudian berlalu dari ruang taekwondo.

***

Sheren tersenyum menatap ruang orkestra yang terawat dengan sangat baik ini. Sebuah panggung megah lengkap dengan grand piano berwarna coklat tua berdiri kokoh di sana. Ruang orkestra adalah salah satu tempat yang sangat Sheren suka. Dia sudah sering mencoba banyak ruang orkestra di banyak negara selama perjalanannya mengikuti kompetisi piano. Namun sayangnya, baru kali ini dia memiliki kesempatan untuk mencoba ruang orkestra di sekolahnya.

"Ruang orkestra ini jarang dipakai ya Bu?"

Bu Fayra yang sedari tadi mengamati ekspresi Sheren kini menjawab, "Tempat ini dipakai jika ada latihan orkestra dari ekstrakurikuler orkestra sekolah. Bagaimana menurutmu ruangan ini? Bagus?"

Sheren yang kini sudah berada di atas panggung orkestra tersenyum sambil menatap gurunya yang berada di undakan samping bangku penonton. "Untuk ukuran gedung orkestra sekolah, tempat ini sudah sangat bagus. Walau tidak sebanding dengan Aula Simfonia Jakarta."

"Kamu sudah pernah bermain musik di sana?"

"Pernah Bu. Saya pernah bermain di beberapa gedung orkestra lainnya di dunia untuk kompetisi.Saya juga beberapa kali bermain piano di universitas-universitas dunia. Tergantung di mana kompetisi itu dilaksanakan."

Sheren lalu menduduki kursi kayu pendek di depan grand piano tersebut. Gadis itu mengelus lembut tuts-tuts berwarna hitam putih itu. Lalu, dia menekan tuts-tuts itu. Perlahan-lahan dan pasti. Lalu, tekanan di jarinya berubah sesuai dengan tempo lagu yang dia mainkan. Sheren tidak perlu sheet musiknya, karena dia sudah hafal dengan isi dari sheet musik itu.

Selama hidupnya, Fayra belum pernah mendengarkan musik sebagus ini. Dia sering mendengar berbagai macam jenis musik, namun kali ini berbeda. Musik yang dia dengar kali ini tidak hanya mengenai bunyi yang bagus, namun juga cerita dan perasaan yang disampaikan oleh si pemain. Dan Fayra, bisa merasakan perasaan sedih itu. Perasaan sedih itu begitu dalam, begitu menyiksa, dan begitu perih. Dan perasaan sedih itu sukses membuat air matanya mengalir deras dari sepasang matanya. Gadis ini sangat berbakat. Kabar yang dia dengar rupanya memang benar.

Sheren selesai memainkan notasi terakhir dari lagu yang dia bawakan saat dia mendengar suara seseorang tengah menangis. Dan dia terkejut saat bangku-bangku penonton di gedung orkestra ini telah terisi beberapa. Adeline sibuk mengusap air matanya dengan tisu, riasan mata yang dia kenakan telah luntur. Tak jauh berbeda dengan Adeline, Bu Fayra, Oriana, dan beberapa gurunya bahkan Shawn ikut mengusap air mata mereka. Shawn mengusap air matanya sembari menggerutu. "Heh! Kamu sedang berusaha meledekku ya?!" ucap Shawn kesal dengan suara bindeng.

"Sejak kapan kamu di situ?"

Shawn mendengus. "Sejak kamu menyelesaikan lagu yang pertama. Aku baru tahu instrumen dari soundtrack film tentang sepasang kekasih yang menjadi korban kapal tenggelam bisa sesedih itu."

"Lagu dari film itu memang bagus, Shawn." Sheren lalu beranjak dari kursi piano yang sedari tadi dia duduki.

"Woi! Mau ke mana kamu?"

Pergerakan kaki Sheren yang akan berjalan menuju tangga panggung terhenti saat mendengar seruan Nathanael. "Loh Nael?"

"Main sekali lagi dong! Aku tadi sampai di sini saat separuh lagu tengah kamu mainkan," pinta Nathanael.

Sheren tertawa. Gadis itu lalu kembali ke tempat duduknya tadi. Jarinya kemudian menekan tuts-tuts hitam putih itu lagi.

"Hei Shawn," bisik Shaka yang duduk di samping kiri Shawn.

Shawn menatap Shaka dengan pandangan penuh tanya. "Kenapa Ka? Ada sesuatu yang serius?"

"Menurutmu, apakah adikku bisa debut?"

Shawn mengernyit. "Menjadi artis maksudmu? Seperti aku?"

Shaka mengangguk. "Dia selalu senang saat orang-orang mengapresiasi musik yang dia mainkan."

"Kamu tahu, Ka? Sheren pasti menjadi musisi besar di masa depan. Pasti!"

Shaka menatap Shawn serius. "Kamu gak bercanda kan?"

"Enggak. Walau kemampuan musikku sangat terbatas, tapi aku tahu seberapa besar bakat seseorang. Aku sudah bertemu banyak musisi berbakat, dan aku tahu Sheren memiliki bakat yang besar untuk itu."

Tuts terakhir telah selesai dia tekan. Sheren lalu menatap orang-orang yang terlihat sangat menikmati musik yang dia berikan. Hal itu terlihat dari binar mata orang-orang yang mendengarkan musiknya di ruangan ini.

***

Surabaya, 6 Februari 2020

Hari ini, musikku kembali mampu dinikmati oleh banyak orang. Dan mereka menikmatinya. Aku senang sekali karena mereka mampu memahami perasaanku yang kusalurkan melalui musik. Perasaan sedihku dan perasaan perihku. Namun, aku tidak berniat membuat mereka menangis!