webnovel

Catatan Cerita

Sheren Queena memiliki mimpi yang manis. Gadis cantik itu menyukai musik, dan mimpinya adalah orang-orang bisa mendengarkan musiknya. Sesederhana itu. Namun rupanya, jalan yang dia tempuh teramat sangat terjal.

ranyraissapalupi · 若者
レビュー数が足りません
297 Chs

Catatan 18: Mulai Mengerti

Adisty mengernyit saat lagi-lagi Sheren melakukan kesalahan. Tempo yang dimainkan gadis itu terlalu cepat dan terkesan buru-buru. Kesalahan itu merupakan kesalahan keempat kalinya sepanjang dua jam ini. Hal yang harusnya tidak perlu terjadi. Biasanya, Sheren tidak melakukan kesalahan sebanyak ini dan sesering ini. Dan Sheren sepertinya tidak sadar. Manik mata Adisty menatap gadis dengan pakaian serba ungu itu dengan tajam.

Jari Sheren telah selesa menekan tuts terakhir dari lagu itu. Sheren kini tengah meregangkan ototnya. Dia merasakan lelah karena terus berlatih selama dua jam tanpa henti.

"Sheren."

Sheren menoleh, manik matanya kini menatap Adisty. Sepasang manik hitam itu tampak penuh rasa ingin tahu. "Kenapa Kak?"

"Kamu kenapa? Ada masalah?" tanya Adisty. Netranya menyisir manik mata Sheren, berusaha menangkap kilatan kebohongan maupun kilat perasaan lainnya. Namun nihil.

Justru salah satu masalah terbesarku itu kamu, batin Sheren kesal. Namun, raut wajahnya tetap menampakkan raut kebingungan seolah tidak terjadi apa-apa. "Enggak kok. Aku enggak ada masalah apa-apa. Kenapa memangnya, Kak?"

"Beneran kamu enggak apa-apa?"

"Iya Kak, beneran kok! Kenapa sih?"

Adisty menghela nafas. Mungkin, itu hanyalah pikirannya saja. Dia terlalu paranoid jika sesuatu terjadi pada Sheren sebelum kompetisi. "Enggak kok. Tapi tadi, kamu sudah melakukan banyak kesalahan. Mulai dari salah pencet tuts, tuts yang kamu tekan justru berbunyi fals, beberapa nada tidak kamu mainkan, dan tempomu yang terlalu cepat."

Ah, begitu rupanya! Kini, Sheren mengerti. Tentu saja Adisty menyadari hal itu, karena pendengarannya sangat terlatih untuk membedakan nada dan menilai nada. Dan Sheren tidak bisa mendengarnya karena dia tadi setengah melamun dan memainkan pianonya dengan setengah hati.

"Kamu capek ya, She?"

Sheren mengangguk. "Boleh pulang?"

"Tentu boleh. Kamu ada yang menjemput?"

"Ada kok. Ada Kakakku. Tenang saja."

"Shaka gak sibuk?"

Sheren tersenyum. "Enggak kok. Dia selalu ada waktu untukku. Kakak gak usah khawatir. Lagi pula, Kakak ada kuliah lagi kan habis ini?"

Adisty mengangguk. Memang, setelah ini dia memiliki jadwal kuliah hingga malam. Jadwal kuliah Adisty ditambah dengan kesibukannya sebagai guru les membuatnya kehilangan banyak hal. Dia kehilangan waktu untuk beristirahat, waktu dengan keluarga, waktu untuk bahagia, dan masih banyak lagi. Adisty tersenyum menatap Sheren yang kini sudah selesai mengemas barangnya ke dalam tas ranselnya.

"Aku pulang dulu, Kak!" ujar Sheren riang. Lalu, gadis itu keluar dari ruang latihan. Netra Adisty masih setia mengikuti gerak-gerik Sheren hingga gadis itu benar-benar tidak terjangkau pandangan matanya. Sebuah rasa iri menyusup tanpa permisi ke dalam hatinya. Dia iri pada Sheren yang memiliki hal-hal yang diinginkan oleh Adisty. Hal-hal yang dulu pernah menjadi miliknya dan kini mustahil dia genggam. Dan dia ingin sekali saja kembali ke masa itu.

***

Sheren berbohong mengenai Shaka yang akan menjemputnya. Shaka tidak menjemputnya karena Sheren tidak meneleponnya. Mulai hari ini, dia akan membangun batas yang jelas antara dia dan orang-orang lainnya. Jadi mulai hari ini, dia tidak akan bercerita pada Adisty mengenai dirinya.

Pusat perbelanjaan yang dikunjungi oleh Sheren kini sangat ramai. Lebih ramai dari biasanya. Orang-orang berbondong-bondong menuju salah satu bagian gedung ini yang sudah disulap menjadi area mini konser seorang selebriti. Sheren mengamati reaksi orang-orang yang tengah bergembira, menunggu idola mereka tampil. Sejenak, Sheren berpikir. Benarkah musik mampu membuat orang lain bahagia?

Seorang pemuda menarik lengan Sheren dan hal itu membuatnya kaget. Orang itu adalah Shaka, yang mengenakan pakaian serba putih, kontras dengan pakaian yang dikenakan oleh Sheren. "Sudah lama di sini?" tanya Shaka. Lalu, Shaka menuntun adiknya untuk mengikuti langkahnya.

"Enggak kok, baru sampai," kata Sheren seraya berjalan bersama saudaranya. Remaja kembar itu kini berjalan menuju belakang panggung yang ada di venue ini. Mereka bisa memasuki belakang panggung dengan mudah karena seluruh staf mini konser sudah mengenal Shaka dan Sheren.

Mereka sudah berjarak seratus meter dari ruang tunggu Mama saat seorang staf menghadang langkah mereka. Staf itu seorang perempuan. "Kalian siapa? Bagaimana bisa kalian masuk ke sini?" tanya staf itu dengan nada menyebalkan yang penuh dengan kecurigaan.

Kakak beradik itu saling berpandangan. Ada apa dengan staf ini? Apakah dia staf baru? "Mbak, maaf sebelumnya. Tapi kami bukan orang asing, kami bisa masuk ke sini tanpa hambatan karena orang-orang memang sudah mengenal kami. Bahkan petugas keamanan di depan juga sudah mengenal kami dengan baik," ujar Shaka sopan dan ramah.

"Jangan berbohong! Jika kalian adalah orang terdekat mereka, harusnya kalian memiliki buktinya! Kalian bahkan tidak memiliki kartu akses khusus!" bentak staf itu dengan sengit.

Kesal karena diperlakukan dengan tidak sopan, Sheren lantas berbicara, "Heh mbak! Menurut mbak, petugas keamanan di depan sana itu adalah sekumpulan orang bodoh?! Dan staf lain di sini adalah orang bodoh?! Mereka sudah sangat mengenali kami, makanya kami diperbolehkan masuk!! Yang bodoh itu mbak karena tidak mengenali kami!!"

Staf itu menatap Sheren kesal, sepasang netranya melotot menatap Sheren. "Heh mbak! Bicara yang sopan dong!! Kalian ini penyusup, ditambah lagi kalian adalah orang-orang yang tidak punya sopan santun!!"

"Siapa yang kamu hina tidak memiliki sopan santun?"

Sheren, Shaka,dan staf itu serentak menoleh ke sumber suara. Mama berdiri di samping staf itu seraya menatapnya tajam. "Siapa yang kamu hina dengan kalimat tadi? Siapa seseorang yang tidak memiliki sopan santun?"

"Mereka Bu. Mereka berdua adalah penyusup dan bersikeras untuk menemui Anda. Mereka juga tidak memiliki kartu akses khusus."

Mama menatap staf itu kesal. "Mereka tidak butuh kartu akses khusus karena mereka adalah anak-anak saya! Anak-anak kandung saya! Selama ini, saya memang tidak memberikan mereka kartu akses khusus ke tempat kerja saya karena saya tahu mereka tidak butuh itu. Mereka tidak perlu akses khusus terbatas untuk menemui Ibu mereka. Mereka bebas menemui saya kapan pun mereka mau!" Kemudian, Mama membawa Sheren dan Shaka pergi dari sana dengan perasaan kesal.

Kini, Sheren dan Shaka tengah berada di ruang tunggu milik Mama. Sheren menatap Mama yang sedang dirias melalui pantulan cermin besar tepat di depan Mama. Manik mata Sheren menatap Mama dengan intens.

Hal itu tentu saja membuat Mama penasaran. "Kenapa, She?"

"Enggak sih. Cuma aku baru sadar bahwa Mama memiliki keriput di wajah yang sangat banyak. Bahkan lebih banyak dari orang-orang seumuran Mama." Ucapan Sheren tersebut mengundang tawa geli para staf yang ada di ruangan ini, yang semuanya adalah perempuan. Sedangkan Shaka tersenyum geli.

"Enak saja! Mama masih muda tahu!"

"Bohong ah! Kalau masih muda, rambut Mama tidak berwarna putih seperti itu."

"Ini cat, Nak!"

***

Sheren dan Shaka menikmati konser yang sedang berlangsung. Shaka beberapa kali menggumam menirukan lirik lagu dari sebuah lagu yang sudah sangat familiar di telinganya. Sementara Sheren sesekali mengetukkan kakinya mengikuti irama ketukan nada yang dia dengar.

Netra Sheren secara tidak sengaja menatap pada sekumpulan orang-orang yang sangat menikmati pertunjukan ini. Gadis cantik itu tersenyum tipis melihat antusiasme para pendengar dan orang-orang yang sesekali mengelu-elukan nama Mama. Sebuah perasaan aneh menghampiri batinnya. Perasaan itu membuatnya tercenung. Perasaan itu adalah perasaan bangga pada Mama dan keinginan untuk menjadi seperti wanita itu.

Shaka menyenggol bahu Sheren pelan dengan sengaja. Pemuda itu melakukannya karena dia sedari tadi melihat adiknya sedang melamun. Hal ini tentunya menimbulkan kekhawatiran di benak Shaka. "She?" Panggilan Shaka masih tidak mendapat respon, pun dengan gerakan yang tadi dia lakukan. Hal ini tentu saja membuat kekhawatiran Shaka meningkat. "SHEREN QUEENA!"

Panggilan dari Shaka dengan nada tinggi tersebut mendapat respon dari Sheren. Gadis cantik itu menoleh dengan wajah yang menyiratkan kekagetan. "Kenapa? Ada apa?"

"Kamu kenapa?"

Sheren mengerjap. "Aku gak apa-apa kok. Ada apa memangnya?"

"Kamu kelihatan melamun," ucap Shaka khawatir.

Sheren tersenyum. "Kamu tahu Ka? Mungkin kegiatan yang kita lakukan sekarang bisa mengubah masa depanku."

"Hm? Maksudnya?" Shaka memiringkan kepalanya ke kiri sambil menatap adiknya penuh tanya.

"Rahasia," senyum Sheren jenaka.

Lalu, gadis itu kembali menatap ke panggung. Sebuah senyum terpatri di wajah cantiknya.

***

Surabaya, 2 Februari 2020

Hari ini, aku tidak menyesal telah berada di konser ini. Aku senang ada di sini. Dan mungkin, aku telah menemukan apa yang aku inginkan untuk masa depanku.