webnovel

CAROLINE

Hidup Caroline berubah 180 derajat setelah ulang tahun ke-18 nya. Mengetahui seluruh anggota keluarga angkatnya ternyata adalah werewolf masih belum cukup, Ia harus menerima kenyataan bahwa kakaknya, Alex, adalah pasangan matenya. Belum lagi kenyataan bahwa selama ini sebenarnya Ia bukan manusia biasa. Caroline adalah Leykan terakhir yang hidup, bangsa superior yang sangat ditakuti dan dibenci oleh para werewolf. Apakah Ia harus melarikan diri atau menghadapi takdir barunya?

ceciliaccm · ファンタジー
レビュー数が足りません
252 Chs

Chapter 25

Hari ini aku menghabiskan waktu bersama Jake. Kami bermain xbox seharian setelah Alex pergi, Ia juga membawa dua kardus pizza dan soda yang sebagian besar dihabiskannya sendiri. Jake tidak menyinggung kejadian semalam sama sekali, Ia juga menolak untuk membicarakan kemana Alex pergi. Kami bertengkar dari game pertama hingga game terakhir yang berakhir 5 jam kemudian, lalu aku memasak makan malam untuk kami berdua. Aku masih berusaha menghubungi Vincent sejak satu jam yang lalu, tapi Ia tidak menjawabku sama sekali.

Kujatuhkan tubuhku di tempat tidur sambil memejamkan mataku yang lelah. Jake memutuskan utnuk menginap malam ini, Ia sudah mendengkur di sofa ruang tengah sejak tadi. Aku tahu Alex lah yang membuatnya menginap, mungkin Ia berpikir aku akan lepas kendali dan menghilang lagi. Sejak awal Alex sudah menyadari bahwa aku adalah leykan, Ia tahu aku yang membunuh seluruh binatang di hutan itu, Ia juga tahu aku lah yang melukainya saat kami bertengkar di pack meeting.

Ia sudah mengetahuinya sejak lama. Ia hanya belum tahu aku sudah mengetahuinya juga.

Perlahan rasa kantuk membuat kedua mataku semakin berat, setengah tertidur samar-samar aku mendengar handphoneku bergetar. Tapi akhirnya rasa kantukku lah yang menang.

***

Aku terbangun di ruangan yang cukup gelap. Kukerjapkan kedua mataku agar terbiasa di dalam ruangan bercahaya remang ini, tapi saat aku bisa melihat lebih jelas di sekelilingku hanya ada dinding kayu. Rasanya seperti berada dalam boks sempit... atau peti mati. Kedua tanganku memeluk kakiku yang terlipat di dadaku. Jantungku berdetak keras di dalam rongga dadaku membuat nafasku hampir terengah-engah mengimbanginya.

Tiba-tiba terdengar suara wanita yang menjerit kesakitan, suaranya begitu menyedihkan hingga membuat kedua mataku terasa panas. Salah satu tanganku bergerak untuk menutup mulutku yang juga ingin menjerit. Langkah beberapa pasang kaki terdengar mendekat ke arahku lalu diikuti suara pintu yang dibanting terbuka. Kali ini kedua tanganku menutup mulutku erat-erat.

"Kau menemukannya?" suara pria asing terdengar dari lantai di atasku. Beberapa langkah kaki lagi mendekat ke arahku. Suara barang-barang yang dilempar membuat tubuhku sedikit terlonjak. Lalu saat aku mendongak aku bisa melihat bayangan sepatu dari celah lantai kayu, pria itu sedang berdiri tepat di atasku. Tapi sepertinya Ia bukan pria yang sama dengan yang berbicara sebelumnya.

"Aku menemukannya." Suara pria di atasku akhirnya terdengar. Suara beratnya terdengar familiar di telingaku. Bayangan di atasku membungkuk, lalu satu detik kemudian Ia membuka pintu tempat bersembunyiku. Cahaya dari lampu kamar yang terang masuk ke dalam ruangan kecil ini

"Aku menemukanmu, gadis kecil." Aku mendongak ke arahnya dengan badan bergetar. Nafasku tertahan saat melihat wajah pria itu. Senyumnya yang dingin dan kejam menghiasi wajahnya yang tampan. Kedua mata coklatnya berkilat saat memandangku.

Alex.

Saat ini aku sedang memandang wajah Alex.

Lalu aku menjerit dengan seluruh suara yang kumiliki.

***

Sesuatu atau seseorang menarik badanku dengan tiba-tiba, membuatku terbangun dari mimpiku. Punggungku menempel pada dada bidang di belakangku. Kukerjapkan mataku yang baru terbangun lalu memandang sekitarku. Kamar Alex, atau yang sebelumnya kamarnya kini dipenuhi dengan pecahan kaca, bulu-bulu bantal, serpihan kayu, dan spons dari spring bed yang berceceran di lantai.

Apa yang terjadi? Kepalaku terasa pusing, rasanya seperti disorientasi setelah jatuh dari ketinggian 400 meter.

"Cara! Kau tidak apa-apa?!"

Dengan perasaan ngeri kubalikkann setengah badanku ke belakang. Jake duduk di belakangku, wajahnya terlihat sangat khawatir memandangku. Darah mengalir perlahan dari pelipisnya.

"J—Jake?" tanganku terulur untuk menyentuh darahnya, hanya untuk memastikan aku benar-benar tidak sedang bermimpi lagi.

"Cara, matamu..."

Kalimat Jake membuatku menarik tanganku lagi sebelum sempat menyentuhnya. Kupalingkan wajahku lalu memejamkan kedua mataku. "Apa kau terluka?" tanyaku tanpa membuka mataku.

"Cara, aku sudah mengetahuinya... Alex sudah memberitahuku. Kau tidak perlu menyembunyikan wajahmu."

Kubuka kedua mataku lalu memandang Jake lagi, "Apa—Apa aku yang melakukan ini semua?"

Jake menyentuh pelipisnya yang terluka, mengusap darahnya begitu saja seakan-akan itu hanya keringat. "Kau menjerit histeris, lalu saat aku masuk ke kamarmu... Kau sedang berdiri di frame jendela, jadi aku menarikmu." Katanya sambil menunjuk jendela yang tebuka lebar. Aku tidak menyadarinya sebelumnya tapi angin malam berhembus ke dalam kamar menerbangkan bulu-bulu putih di lantai.

"Aku pikir kau akan... jatuh." Gumam Jake, ekspresi terkejut masih terlihat jelas di wajahnya. Kami duduk terdiam di lantai, hingga akhirnya Jake berdiri sebelum membantuku berdiri. Kami pindah ke ruang tengah lalu duduk di sofa, sama-sama menatap layar Tv yang mati. Dari ekspresinya saat ini, Jake terlihat cukup shock.

"Aku akan memberitahu Alex—"

"Jangan!" potongku dengan panik. Jika Jake memberitahunya, Ia akan pulang lebih cepat. Dan aku harus pergi dari sini sebelum Ia kembali. Aku harus mempercepat rencanaku untuk pergi, lebih cepat lebih baik.

"Aku akan memberitahunya saat Ia kembali. Kau tidak perlu melakukannya. Aku tidak ingin mengganggunya... sebenarnya kemana Alex pergi?"

"Aku tidak bisa memberitahumu, Cara." Jawab Jake pendek. Kami terdiam lagi, Jake berusaha untuk tidak memandang wajahku saat ini. Mungkin kedua mataku belum berubah. "Alex... Ia pergi ke pertemuan Alpha." Kata Jake dengan ragu-ragu, "Ia yang meminta pertemuan itu dilakukan."

"Untuk apa?" gumamku.

"Ia berencana mencabut sumpahnya sebagai Alpha." Jawab Jake. Kalimatnya membuat seluruh perhatianku fokus padanya, "Apa?"

"Alex ingin melepaskan kekuasaannya. Ia ingin melepaskan segalanya, termasuk packnya."

"Ia melakukannya karena aku." Gumamku dengan sangat pelan.

Jake mengangguk kecil, "Seharusnya aku tidak mengatakannya padamu, Cara... tapi aku tidak bisa membiarkannya begitu saja. Ia tidak mendengarkan pendapatku sama sekali. Aku harap kau bisa menghentikan ide gilanya, karena Ia tidak akan menyelesaikan masalah hanya dengan melepas kekuasaannya. Jika Alex melakukannya aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi." Jake terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Posisi Alpha yang kosong akan diperebutkan Alpha-Alpha lain. Pack kita salah satu yang terbesar, memperebutkannya sama saja dengan memicu perang di antara kami."

"Bukankah seharusnya kau yang memimpinnya?"

Ia tersenyum sekilas, "Aku hanya Beta, Cara. Dan selamanya akan menjadi Beta. Posisi Alpha hanya bisa diisi oleh werewolf yang memiliki darah Alpha."

Kami sama-sama terdiam lama sekali hingga Jake memutuskan untuk kembali tidur karena sekarang sudah pukul 3 pagi. Ia membiarkanku tidur di sofa di seberangnya karena aku tidak bisa tidur di kamar lagi.

Aku terbangun saat sebuah tangan menyentuh pipiku, kubuka kedua mataku yang masih satengah sadar lalu ingatanku tentang semalam kembali membanjiri ingatanku. Tanganku mencengkeram pergelangan tangannya dengan refleks. Ia memandangku dengan terkejut sambil sedikit mengernyit.

"Cara?" Kedua mata coklatnya memandangku, bayangan hitam menghiasi kantong matanya. Kulepaskan tanganku dengan tiba-tiba saat menyadarinya.

"Alex?" kukerjapkan kedua mataku lalu duduk di sofa yang sebelumnya kutiduri. "Maaf. Aku pikir..." aku tidak melanjutkan kalimatku.

Alex terlihat sangat lelah, hingga aku yakin Ia belum tidur sama sekali. "Seharusnya kau baru kembali beberapa hari lagi." balasku dengan terkejut. Jake pasti memberitahunya semalam.

"Kau tidak apa-apa?" tanyanya sambil duduk di sebelahku. Jake sudah tidak ada di sofanya. Alex menyisir rambutnya dengan kedua tangannya, Ia bahkan masih memakai pakaian yang sama dengan kemarin.

"Seharusnya aku yang bertanya padamu. Kau terlihat... berantakan." jawabku

Alex tersenyum dengan wajah lelahnya, "Yeah, kurasa aku butuh sedikit tidur setelah ini." Ia menatapku dengan pandangannya yang membuat hatiku sakit. Pandangan yang sama seperti setelah Ia menciumku. "Kita harus pindah dari tempat ini."

Badanku membeku saat mengingat apa yang terjadi semalam, apa yang sudah kulakukan. "Alex—"

"Kita tidak perlu membahasnya sekarang. Seseorang akan memindahkan barang-barangmu nanti, jadi kau tidak perlu membawa apapun." Katanya sambil berdiri.

Aku berdiri lalu mengikutinya ke luar dari apartemennya, berusaha untuk tidak menoleh ke arah kamar saat melewatinya. Alex menggenggam tanganku saat kami berada di lift. Ia tidak melepaskannya bahkan saat menyetir sekalipun. Mobil Alex berhenti di halaman sebuah rumah kecil yang berada tidak jauh dari apartemennya.

"Rumah siapa ini?" tanyaku saat Ia mematikan mesin mobilnya.

"Salah satu properti milik Pack. Kita akan tinggal disini untuk beberapa minggu." Jawabnya sebelum keluar dari mobil lalu membukakan pintuku. Aku hampir bertanya padanya kenapa tidak tinggal di rumah Mum dan Dad, tapi mengurungkannya saat aku teringat apa yang terjadi pada Jake semalam. Tentu saja, saat ini aku berbahaya. Aku bisa melukai Mum atau Dad tanpa menyadarinya.

Alex masih menggenggam tanganku saat kami masuk ke dalam rumah. Rumah ini lebih kecil daripada rumah orangtua kami, tapi perabot di dalamnya sama modernnya dengan perabot di apartemen Alex. Dari luar rumah ini terlihat biasa, hampir seperti rumah normal pada umumnya. Tapi interior dalamnya didesain sangat bagus, hingga aku berpikir mereka menggunakan jasa desainer saat membangunnya.

Alex akhirnya melepaskan tanganku, membiarkanku melihat-lihat sekitar ruangan. Ia melepaskan jasnya lalu menjatuhkan dirinya di sofa besar di tengah ruangan, kedua matanya langsung terpejam.

"Kau bisa membangunkanku jika membutuhkan sesuatu." Gumamnya dengan suara mengantuk. "Kamar mandinya ada di dalam kamar dan dapurnya—"

"Aku bisa mencarinya sendiri, Alex." Jawabku sambil tersenyum.

Ia membuka salah satu matanya lalu membalas senyumanku. "Kapan terakhir kali aku melihatmu tersenyum..." gumamnya pada dirinya sendiri sebelum memejamkan matanya kembali. Kata-katanya kembali membuat hatiku kembali terasa seperti diremas. Handphoneku bergetar di sakuku, aku berjalan menjauh dari ruangan tempat Alex tidur lalu mengeluarkannya. Aku tidak mengenali nomornya, kutempelkan handphoneku di telinga lalu mengangkatnya.

"Gabriella." Suara Vincent terdengar.

"Darimana saja—"

"Kemasi barangmu secukupnya." Sekarang aku menyadari suaranya terdengar aneh. Ia terdengar tegang.

"Apa?"

"Kita harus pergi secepatnya. Mereka sudah mengetahuinya."

"Aku sedang bersama Alex." Jawabku dengan sedikit panik. "Aku tidak bisa pergi sekarang."

Vincent terdiam sesaat, "Kita pergi saat Prom, aku akan menjemputmu. Ingat Gabriella, jangan beritahu Alex sebelumnya." Katanya sebelum memutus sambungan teleponnya. Kusandarkan punggungku di tembok di belakangku. Apa yang harus kulakukan? Aku berjalan kembali ke ruang tengah, Alex masih tertidur, samar aku bisa mendengar dengkuran halusnya. Kedua mataku terasa panas lalu aku berjalan mendekat ke arahnya.

Apa yang harus kulakukan? Aku memandang wajahnya yang tertidur, jari-jariku yang sedikit gemetar menggeser rambutnya yang menutupi matanya. Kedua matanya yang terpejam bergerak sedikit lalu satu detik kemudian terbuka, memandangku.

"Kau butuh sesuatu?" tanyanya dengan suara yang serak dan mata mengantuk. Aku berusaha tersenyum padanya lalu menggeleng. Kugigit bagian dalam pipiku untuk menahan isakanku.

Salah satu tangannya bergerak untuk menggenggam tanganku, jari-jarinya menyusupi celah jari-jariku. Ia memandang tangan kami untuk beberapa saat, ibu jarinya mengelus bagian dalam pergelangan tanganku dengan lembut. Aku menggigit bagian dalam pipiku semakin keras. Perlahan kedua matanya kembali terpejam.

Kutarik tanganku darinya dengan perlahan, tapi Alex berusaha menggenggamku lebih erat. Aku berlutut di depannya lalu mencium pipi dan pelipisnya dengan lembut membuat Alex kembali membuka matanya.

"Aku tidak mengantuk lagi." katanya tiba-tiba sebelum bertumpu pada salah satu sikunya setengah bangun dari posisi tidurnya. Senyumnya sedikit memudar saat mengamati wajahku. "Cara, ada apa?"

Aku tidak menjawab pertanyaannya, kutarik tanganku darinya hingga terlepas lalu melakukan hal yang mungkin akan kusesali jika kami dalam keadaan normal; naik ke atasnya. Alex tidak bisa menyembunyikan wajah terkejutnya saat aku duduk di perutnya, kedua kakiku berada di samping kanan dan kirinya.

"Cara apa yang..."

Kututup mulutnya dengan telapak tanganku. "Kau harus mendengarkanku." lalu menunggu hingga Ia mengangguk, rasa lelah di matanya sudah menghilang berganti dengan ekspresi lain. Nafasnya yang hangat menggelitik telapak tanganku, "Kau harus berjanji, apapun yang terjadi kau tidak akan melepaskan pack ini."

Kedua matanya berubah menggelap lalu Ia menarik tanganku dari mulutnya, "Jake yang memberitahumu?"

Kedua tanganku menangkup wajahnya, rahangnya terasa kasar karena bakal janggutnya sedikit menusuk kulitku. "Kau harus berjanji." Aku menatap kedua matanya dengan pandangan memohon, "Untukku."

Rahangnya mengatup dengan kaku sebelum akhirnya Ia mengangguk kecil. Kedua tangannya menarik pergelangan tanganku lalu menggenggamnya dengan erat.

"Kau sudah mengetahuinya?" suaranya terdengar marah. Mengetahui apakah aku leykan.

Aku mengangguk, "Aku sudah menduganya." Balasku setengah berbohong. Ia melepaskan tangannya lalu menyisir rambutnya dengan frustasi.

"Hey..." gumamku sambil menangkup wajahnya lagi. Kedua mata coklatnya kembali memandangku, mencoba membaca ekspresiku. "Ini bukan salahmu, Alex."

Kami saling memandang hingga aku tidak bisa menahannya lagi, lalu aku menciumnya. Aku bisa merasakan tubuhnya yang sedikit terkejut saat bibirku menyentuhnya. Aku tidak dapat melihat ekspresinya karena kedua mataku terpejam. Detak jantungnya yang berdebar tidak beraturan terasa jelas saat telapak tanganku menyentuh dadanya. Aku tidak ingin ciuman ini berakhir karena aku tahu ini mungkin akan menjadi kesempatan terakhirku. Kedua tangan Alex berada di pinggangku, tangannya yang besar terasa hangat walaupun tertutup jeansku.

"Cara." Alex berbisik di bibirku, menghentikan ciumannya. "Ada apa?" Nafasnya yang hangat dan bau mint menerpa ujung hidungku. Aku membiarkan kedua mataku terpejam erat karena jika aku membukanya air mataku yang tertahan sejak tadi tidak akan bisa terbendung lagi. Bibirku menyusuri ujung bibirnya, memaksanya menciumku lagi. Dan Alex tidak menolaknya, salah satu tangannya bergerak dari pinggangku menyusuri tubuhku menuju leherku.

Aku menumpahkan semua perasaanku dalam ciumanku, semua yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bibirnya menarik bibir bawahku mengalihkan pikiranku sejenak, perasaan menyenangkan berdenyut di perutku. Aku merasakan ikatan yang tidak terlihat diantara kami, perasaan yang kuat yang kurasakan pada Alex... Yang selalu menarikku padanya seperti magnet. Tanganku yang berada di dadanya menarik kemejanya dengan erat. Kutarik wajahku menjauh lalu memandang Alex dengan nafas terengahnya, kedua mata coklatnya menggelap memandangku. Aku tahu Ia akan melakukan apa saja untuk melindungiku, bahkan melepas kekuasaan dan packnya. Untukku.

Dan sama sepertinya aku akan melakukan apa saja untuk melindunginya.

Aku harus pergi.