...Bagi gue bullshit itu, bahagia melihat orang yang kita cintai, bahagia dengan orang lain. Karena Cinta itu harus diperjuangkan, percuma lo ngomong bahagia, tapi nyatanya, air mata lo terus keluar dari tempat asalnya, pas lo liat dia, bahagia dengan orang lain...
~Selamat membaca~
"Gue suka sama elu,"
"Gue... gue kok pingin, kalo kita pacaran?"
"Aaaaaahkkk, sial!!" umpat Pandu setelah ia berbicara sendiri di depan cermin. "Kok gue jadi kayak orang gila gini ya?" Pandu mengomel sama dirinya sendiri, sambil mengacak-acak rambutnya.
Ia mengertkan gigi atas dan gigi bawahanya, hingga rahangnya terlihat mengeras. Pandu merasa sangat kacau hari itu, kesal sama dirinya sendiri.
Sejak Pandu melihat Aden bersalaman dengan Desma, ada rasa kekhawatiran dalam dirinya. Ia benar-benar tidak suka dengan cara Aden tersenyum dengan Desma. Ia juga tidak suka Aden begitu lama berjabatan tangan sama Desma. Karena hal itu perasaannya menjadi tidak nyaman.
Lalu apa itu salah Aden?
Apa salah jika Aden merasa senang mempunyai teman baru?
Apa salah kalau sebagai laki-laki normal, Aden merasa bangga bisa bersentuhan dengan cewek secantik Desma?
Tentu saja tidak, Aden berhak untuk melakukan semuanya. Lagi pula, mana Aden tahu kalau sikapnya itu, ternyata sudah membuat sebuah hati jadi gelisah.
Aden tidak tahu apa-apa, Aden hanya melakukan apa yang seharusnya Aden lakukan. Itu saja.
Oleh karena itu, akhir-akhir ini Pandu jadi sering terlihat marah-marah sendiri tidak jelas. Bahkan, bukan hanya sekali ia terlihat ngomong sendiri di depan cermin. Seperti yang ia lakukan barusan. Menurut Pandu, rasanya memang seperti orang gila, tapi tetap saja Pandu melakukan hal itu. Aneh.
Tapi memang, kadang perasaan cinta sama seseorang juga bisa membuat kita menjadi aneh, dan seperti orang bego. Apalagi, orang yang kita cintai itu tidak tahu, kalau sebenarnya kita mencintai 'dia', dan juga tidak tahu bagaimana perasaan kita sama 'dia'. Rasanya itu menyiksa banget, kita selalu melihat 'dia' dengan santainya tertawa, dan bahagia dengan orang lain. Rasanya 'dia' itu seperti dengan sengaja sedang mengobrak-abrik perasaan kita.
Tanpa perasaan bersalah, dengan santainya 'dia' seperti sedang menebar pesona dengan orang lain.
Padahal itu hanya perasaan Pandu saja, karena sebenarnya, Aden tidak bermaksud begitu. Hanya sebuah konsekuensi yang harus Pandu terima, karena masih belum mau mengungkapkan perasaannya.
Seandainya Pandu mengatakan perasaannya sama Aden, mungkin saja Aden bisa lebih bijak dalam bersikap. Entahlah.
Tapi, apa mungkin Pandu berani mengatakan sama Aden, kalu sebenarnya ia menyukai Aden. Lalu apa juga Pandu siap menerima kensekuensi, kalau ia sudah menyatakan suka sama Aden.
Serba salah, perasaan yang di rasakan sama Pandu memang serba salah. Diam, Pandu tersiksa, bicara terus terang mungkin resikonya akan lebih berat dari yang ia pikirkan. Karena perasaan yang Pandu rasakan memang tidak wajar, dan di luar nalar.
Pandu menjatuhkan bokongnya di dipan, kasur busa yang sangat empuk membuat tubuhnya sedikit terpental. Kemudian ia mengambil bola basket yang kebetulan ada di atas tempat tidurnya. Lalau Pandu arahkan bola basket itu ke arah jaring basket yang sengaja ia pasang di sekitar kamarnya. Pandu menyipitkan mata, menshooting agar bola itu bisa masuk ke dalam ring basket. Setelah yakin, kemudian Pandu melempar bola basket itu. Dan hasilnya...
"Iyeeees....!" Girang Pandu karena bola basket yang ia lempar tepat, dan masuk kedalam ring. Telapak tangannya mengepal.
Pandu memang Pandai bermain basket, meski ibu Veronica melarangnya melakukan semua kegiatan yang berhubungan dengan olahraga. Namun sebisa mungkin ia melakukannya dengan cara sembunyi-sembunyi.
"Kayaknya gue emang harus ngomong sama itu anak penjual cilok, kalo gue emang suka sama dia," ujar Pandu setelah ia berhasil memasukan bola kedalam ring basket.
Memang tidak ada hubungannya antara bola basket masuk ke ring, sama niatnya untuk menyatakan suka sama Aden. Tapi yang namanya orang sedang jatuh cinta, terkadang apapun bisa dikait-kaitkan, dan menjadi penyemangat. Mungkin.
Pandu memang belum pernah jatuh cinta sebelumnya. Namun ia merasa kalau cinta itu memang harus diperjuangkan. Ia akan berusaha untuk menggapai apa yang ia inginkan, meskipun cinta yang ia rasakan jatuh sama orang yang tidak tepat.
Tapi Pandu tidak mau menyerah begitu saja, ia tidak mau naif seperti orang-orang. Merelakan orang yang kita cintai, demi untuk orang lain. Berpura-pura terlihat tegar, padahal sebenarnya rapuh. Berpura-pura tersenyum, tapi sesungguhnya menangis.
Karena bagi Pandu, omong kosong jika kita bisa bahagia, melihat orang yang kita cinta bahagia dengan orang lain. Bohong jika kita berkata ikhlas, tapi nyatanya hati masih terasa sakit, dan air mata terus jatuh bercucuran.
Pandu bukan type orang seperti itu, ia akan berjuang untuk yang pantas diperjuangkan. Pandu tidak akan menyerah, bila perlu sampai titik dara penghabisan, hingga takdir yang akan menentukannya nanti.
Terus kalau Aden jadi takut sama Pandu gimana? Ah, itu juga urusan nanti, pikir Pandu.
Bukannya Pandu ceroboh, tapi ia hanya ingin mendapatkan apa yang ia inginkan. Setidaknya mencoba jauh lebih baik, dari pada hanya diam, statis atau jalan di tempat.
Took... took...
Suara ketukan pintu membuat Pandu menengok ke arah pintu kamarnya. Ia mengerenyitkan dahi saat melihat seorang wanita cantik sudah masuk kedalam kamarnya, sambil menutup kembali pintu itu.
"Yaela mami, ngapain juga mami pake ketuk pintu? kalo akhirnya mami tetep masuk," gerutu Pandu sambil melihat ibu Veronica yang sedang berjalan mendekat padanya. Senyum keibuanya terlihat mengembang.
"Sorry," ucap ibu Veronica santai.
"Kebiasaan mi," kesal Pandu. "Pandu ini udah dewasa, anak cowok. Pandu juga punya privacy, kalau Pandu lagi telanjang bulet gimana?" Jelas Pandu, masih dengan wajah yang kesal.
Pandu memang benar-benar kesal, ibu Veronica selalu masuk, sebelum Pandu membukakan pintunya. Walaupun ia sudah mengetuk pintu itu. Pandu cuma takut, kalau tiba-tiba ibu Veronica masuk kamar, disaat Pandu sedang bicara sendiri di depan cermin. Seperti yang ia lakukan barusan. Tapi salah Pandu juga sih, kadang ia memang selalu lupa mengunci pintu kamarnya sendiri.
Ibu Veronica menutup mulutnya yang sedang tertawa. Ia merasa geli mendengar kata-kata anaknya.
"Kamu ini ada-ada saja," ucap ibu Veronica sambil menarik hidung Pandu. "Mau kamu telanjang bulet depan mami selakipun, nggak masalah. Kamu itu anak mami." Ujar ibu Veronica sambil duduk di sisi dipan. Di dekat Pandu.
"Tapi Pandu itu udah gede mi," Pandu semakin kesal dengan ibu Veronica yang selalu menganggapnya seperti anak kecil. Bahkan anak balita.
"Emang kalau kamu udah gede kenapa Pandu? Bagi mami, kamu tetep anak mami yang masih kecil, nggak ada bedanya. Malah mami masih pingin mandiin kamu, gendong kamu kayak pas waktu masih kecil dulu," goda ibu Veronica.
"Terserah mamai," Pandu mendengus, ia tidak mau lagi berdebat sama ibunya. Percumah, orang tua selalu benar.
Pandu beringsut mundur, kemudian ia menyandarkan punggungnya di sandaran dipan. Tangannya meraih HP yang ia taruh di meja kecil di dekat dipan. Pandu menghidupkan HP itu, lalu memainkanya tidak jelas.
"Mami cuman mau tanya, gimana? Kamu udah kasih alamat kita sama tukang cilok itu belum? Soalnya kan besok acaranya," Jelas ibu Veronica memberi tahu maksud tujuannya masuk ke kamar Pandu.
"Udah," jawab Pandu tanpa menatap ke ibunya, ia sedang melihat akun medsosnya di layar HPnya.
"Yaudah kalau gitu, kasih tahu tukang ciloknya, suruh dia dateng lebih awal." Ibu Veronica berdiri dari duduknya, kemudian ia berjalan melenggang pergi sambil berkata. "Mami nggak mau acara mami berantakan, semua harus sempurnah. Mami nggak mau temen-temen mami kecewa sama acara yang mami buat."
"Mi..!"
Ibu Veronica menghentikan niatnya yang akan membuka pintu, karena Pandu memanggil. Kemudian ia menoleh dan menatap penuh tanya pada anaknya.
"Ada apa?"
"Besok Pandu nggak sekolah ya."
"Lho kenapa?"
"Nggak papa mi, cuma sehari aja, Pandu cuma pingin tau acara arisan mami aja kaya apa?" Kata Pandu.
Sebenarnya ia hanya ingin melihat Aden berada di rumah. Kesempatan langka, karena kalau di sekolah ia tidak mungkin bisa sebebas melihat Aden.
"Tumben," karena biasanya Pandu paling malas kalau mendengar ibu Veronica membahas soal arisan. Tapi sekarang justru kepingin melihatnya. "Tapi sayang sekali, nggak boleh, kamu harus sekolah." Tegas ibu Veronica.
Kemudian ibu Veronica melanjutkan niatnya membuka pintu, ia menutup kembali pintu itu, setelah berada di luar kamar pandu.
"Huuft..." Pandu membuang napas gusar. Keningnya bergelombang, ia sedang memikirkan sesuatu agar besok bisa bolos sekolah, dan tetap berada di rumah.
Lukman, ya tiba-tiba Pandu teringat Lukman, cuma dia teman satu-satunya yang bisa membantu Pandu. Dan Lukman pasti akan menuruti apa yang dikatakan sama Pandu. Teman Pandu semuanya baik, tapi bagi Pandu Lukman lah yang terbaik, sejauh ini hanya Lukman yang bisa diandalkan untuk melancarkan kebohongannya sama ibu Veronica.
Selain baik, ternyata Lukman juga dermawan. Sampai ia ingin memasukan Aden sekolah, secara cuma-cuma di yayasan milik Ayahnya.
Pandu bisa tahu sola itu, waktu Pandu melihat Lukman sedang berbicara berdua dengan Aden. Saat ia tidak mengikuti pertandingan basket waktu itu.
Ternyata Lukman menjelaskan sama Pandu, kalau Lukman akan bicara sama Ayahnya, agar Aden bisa sekolah secara gratis di sana.
Anak pemilik yayasan mah bebas!