webnovel

Move

"Tinggal sendiri kok barangnya banyak banget, sih," gerutu Ekamatra yang sedang membantu memasukkan koleksi gitar milik Aksa ke rumah barunya.

"Lo kalo nggak ikhlas bantuin, mending balik aja, deh," ketus Aksa.

"Lo berdua berhenti ngoceh, boleh, nggak? Kesel gue denger lo berdua berdebat mulu," lerai Lengkara.

"Dia duluan," ujar Aksa.

"Diam! Eka, masuk cepat," titah Lengkara lagi.

Ekamatra pun langsung mendengarkan perintah Lengkara sambil bersungut-sungut. Dia kesal bukan karena membantu kepindahan Aksa, tapi kesal karena Senandika yang membangunkannya dengan sangat tidak tahu diri. Akhirnya, dia berangkat dengan kepala yang sangat berat karena dipaksa bangun.

Setelah seminggu mencari apartemen yang lumayan bagus dan dekat dengan kantor mereka, akhirnya Bang Arnan mengizinkan Aksa untuk menempati rumah barunya ini.

Semua ini tidak diberitahukan ke Ibunya karena Aksa tidak mau Ibunya melarangnya untuk membeli rumah sendiri. Aksa sangat tah bagaimana kerasnya Ibunya itu untuk membuat dirinya kembali ke rumah.

Mas Tirta pun sudah diwanti-wanti untuk tidak membocorkan hal ini ke Ibunya. Dia akan membiarkan saja soal kepindahannya ini, sampai Ibunya tahu tanpa dia yang beritahu.

"Lo keterlaluan banget, Sa." Aksa menoleh dengan menatap bingung Batara yang tiba-tiba mengatakan hal yang tidak dia mengerti.

"Keterlaluan gimana, sih? Lo masih nggak ikhlas kalo gue pindah?"

"Bukan itu bego!" maki Batara sambil melepar bantal yang sedang dia pakaikan kain penutupnya ke arah Aksa yang berdiri di seberang kasur.

"Ya terus apa? Gue keterlaluan ke siapa coba?" kesal Aksa.

"Bisa-bisanya lo beli rumah dan pindah nggak kasih tahu ke Ibu lo. Anak durhaka emang, ya, lo ini."

Aksa hanya memutar bola mata malas. Mereka ini seperti tidak tahu saja bagaimana hubungannya dengan sang Ibu. Masih saja mereka berkata demikian ke Aksa.

"Lo tahu kan gimana watak Ibu gue."

"Iya, sih. Tapi, kan setidaknya kasih tahu gitu kek. Kayak nggak punya keluarga aja lo."

"Emang gue ngerasa gitu, kok."

Batara membeku mendengar balasan Aksa. Dengan ragu dia melirik ke arah Aksa yang saat ini sedang menata gitar-gitarnya ke samping meja kerjanya yang berada tidak jauh dari jendela.

Aksa pun menyadari suasana yang berubah dengan begitu cepat karena ucapan spontannya itu. "Santai-santai. Gue becanda doang."

Batara tidak merespons. Dia tahu Aksa benar-benar berpikir kalau dirinya hanya seorang diri saat ini. Apalagi dia yang memilih untuk tinggal sendiri.

"Gue tinggal bareng lo aja, gimana, Sa?" usul Batara tiba-tiba.

Aksa langsung melayangkan tatapan penolakan. Enak saja Batara berpikir seperti itu. Dia kan memang sengaja untuk tinggal sendiri.

"Enak aja, lo. Nggak guna dong gue beli rumah buat tinggal sendiri kalau lo malah ikut numpang."

"Gue nggak numpang, elah. Ikut bayar juga kali. Biar lo ada temannya, gitu," ujar Batara sambil menaik-turunkan alisnya.

Aksa menggeleng kuat. Pokoknya dia sudah memutuskan untuk hidup sendiri dan menikmati kesendiriannya di sini. Tempat pulangnya harus tentram dan damai. Tidak boleh ada kerusuhan di dalamnya, seperti yang sering terjadi di asrama.

"Big No for everyone," tegas Aksa dan langsung meninggalkan Batara begitu saja karena tidak ingin mendengarkan omong kosong dari temannya yang kaya itu. Dia kan punya rumah yang begitu megah, kenapa juga harus numpang di rumahnya?

***

Kini, semua personil tengah duduk di sofa ruang tamu. Sembari menunggu makanan yang sudah dipesan Bang Arnan, Lengkara dan Bang Arnan akan memberi beberapa peraturan untuk Aksa.

Walaupun ini bukan asrama dan ini adalah rumah yang dibeli dengan uang tabungan Aksa, bukan berarti peraturan yang ada di asrama tidak berlaku untuk Aksa saat ini.

Malah, Bang Arnan akan memberi tambahan peraturan khusus Aksa yang memilih untuk tinggal terpisah dari sang leader, Lengkara. Apalagi, mengingat bagaimana watak Aksa yang sangat-sangat bebas dari teman-temannya, membuat Bang Arnan harus memberikan perhatian dua kali lebih banyak dari sebelumnya karena dia yang hidup sendiri sekarang.

Bang Arnan menyodorkan satu lembar kertas yang berisi peraturan yang hampir sama dengan yang ada di asrama. Hanya ada beberapa poin yang diganti karena tidak sesuai dengan kondisi Aksa saat ini.

"Apaan, nih?" tanya Aksa sambil menarik kertas tersebut dan mulai membacanya poin per-poin.

"Peraturan lo di sini," jelas Bang Arnan.

"Lah, gue kan nggak tinggal di asrama. Kenapa masih pake peraturan-peraturan segala, sih?" protes Aksa yang langsung mengembalikan kertas tersebut ke atas meja.

"Tinggal sendiri bukan berarti bebas dari peraturan, Aksa," tegur Lengkara.

"Rasain lo."

"Mampus."

"Haha…."

Tiga temannya yang lain tertawa puas karena mereka pikir Aksa akan bebas dari peraturang yang ada di tempat tinggal mereka.

"Karena udah nggak ada Lengkara yang bakal kontrol tingkah lo, jadi ini setidaknya bisa lo jadikan bentuk pengontrol diri secara mandiri," papar Bang Arnan.

"Bang Arnan percaya sama, nih, bocah?" cibir Ekamatra seakan memperjelas bagaimana sifat Aksa yang sebenarnya.

"Diam lo."

Lengkara mengambil kertas peraturan itu dan mulai memaparkan isinya agar semua bisa dengar dan bisa membantu Aksa untuk mengingat setiap poin-poininya. "Jadi… sesuai yang ada di peraturan nomor satu dan yang paling utama, khusus Aksa Bumantara, tidak ada wanita selain Ibu di dalam rumah ini."

"Gue nggak yakin peraturan itu bakal dia turutin," celetuk Batara ragu.

"Gue juga," timpal Senandika dan Ekamatra serentak.

Seketika Aksa memaki teman-temannya yang begitu tahu bagaimana dirinya. Kadang, peka terhadap orang lain itu sangat menyebalkan di waktu-waktu yang seperti ini.

Kalau suara mayoritas membuat peraturan Bang Arnan itu mengikat dirinya, Aksa tidak bisa apa-apa lagi. Dia seakan punya empat CCTV untuk bisa melaporkan semua tindakan yang dia lakukan kepada Bang Arnan.

Dia pikir, dengan tinggal sendiri, beberapa peraturan yang berlaku di asrama tidak akan diberlakukan di rumahnya juga. Tapi, ternyata Bang Arnan tidak senaif itu untuk percaya padanya.

***

Bel apartemennya berbunyi tepat jarum jam berpindah ke angka 8. Alis Aska saling bertaut karena tiba-tiba ada yang datang berkunjung. Tapi, kakinya tetap dilangkahkan untuk melihat siapa yang berkujung ke apartemennya malam-malam seperti ini.

"Lho, kok lo datang nggak bilang, sih?"

Orang yang berdiri di depan Aksa saat ini adalah Mas Tirta. Orang yang tahu tentang kepindahannya selain para personil The Heal dan Bang Arnan.

"Gue nelpon lo tapi nggak ada respon," jawab Mas Tirta dan langsung nyelonong masuk tanpa dipersilakan terlebih dahulu. Aksa pun mengekor di belakang kakaknya.

Mas Tirta meletakkan paper bag yang dibawanya tadi ke atas meja yang ada di ruang tamu. Dia tidak menggubris Aksa yang sudah kembali ke dapur entah untuk melakukan apa.

Dia memilih untuk menjelajahi seluruh bagian rumah baru milik adiknya itu. sangat-sangat minimalis untuk seorang anggota band seperti Aksa. Bahkan, jika dia tidak masuk ke ruangan yang berada tepat di sebelah kamar Aksa, mungkin dia tidak akan tahu kalau rumah ini ternyata milik seorang musisi.

Sangat-sangat minimalis seperti rumah pada umumnya. Interior yang ada di ruang tamu sampai dapur semuanya bernuansa minimalis. Tidak ada interior yang mencolok atau yang menyimbolkan pemilik rumah.

Mungkin karena Aksa seorang laki-laki yang lebih menyukai hal-hal yang sederhana, berbeda dengan dirinya yang begitu tertarik dan terobsesi dengan gaya-gaya retro.

Setelah puas berkeliling di seluruh area rumah yang tidak terlalu besar itu, Mas Tirta ikut bergabung dengan adiknya yang ternyata sedang memasak mie instan di dapurnya yang terkesan mini itu.

"Ngapain lo di sini?" tanya Aksa sambil meletakkan panci mie instannya di mini bar tempat kakaknya duduk.

"Ngantar barang titipan Ibu," jawab Mas Tirta sambil mengarahkan dagunya ke paper bag yang terletak di meja ruang tamu.

"Apaan, tuh?"

"Brosur univ, kali," balas Mas Tirta cuek.

Wajah datar Aksa langsung tercipta. Dia tidak ingin mood makannya hilang gara-gara berita buruk dari Ibunya yang dibawa kakaknya itu.

"Mas nggak usah rusak mood gue, deh," ketus Aksa.

"Gue juga nggak mau kali," balas Mas Tirta.