webnovel

Memang Tidak Selalu

~Apa yang tertangkap oleh mata, kadang bukan hal yang sebenarnya.~

Gadis berambut panjang yang hanya diikat asal itu tengah mengetuk-ngetuk jari telunjukknya ke layar ponsel yang tengah menyala. Perhatiannya terfokus pada jam yang ditunjukan oleh benda pipih tersebut. Ini sudah lewat dari satu jam sejak dirinya mengirim pesan kepada Bang Arnan bahwa dia saat ini ingin bertemu langsung dan bertanya mengenai tanggapannya soal undangan ke acara mereka nanti.

Mega—anak magang—juga terlihat sudah bosan karena yang mereka lakukan sedari tadi hanya duduk diam di sofa dekat meja resepsionis.

"Kak Nar, ini beneran kita bisa ketemu sama manager The Heal hari ini? Apa mereka nggak ada jadwal lain gitu di luar?" tanya Mega akhirnya. Mungkin itu adalah ekspresi dari kebosanan yang melandanya selama satu jam ini.

Naraya juga sempat berpikir seperti itu sejak tadi. Dia khawatir karena Bang Arnan yang sejak kemarin tidak ada kabar, mungkin memang mereka sedang ada kerja di luar kantor. Tapi, kan tidak mungkin Bang Arnan dengan teganya tidak menggubris pesan-pesan yang dia kirimkan sejak kemarin.

"Gue tanya lagi, deh, ke resepsionisnya," ujar Naraya sembari bangkit dan kembali menghampiri sang resepsionis.

"Permisi, Mbak. Bisa nggak hubungin Manager The Heal atau siapapun itu yang saat ini mungkin dekat dengan dia di atas, bilang ada Naraya yang sedang nungguin dia di bawah," pinta Naraya.

Resepsionis itu pun mengangguk dan langsung menghubungi entah siapa itu yang jelas tidak sampai 3 menit telepon itu sudah berakhir.

"Saat ini Manager The Heal lagi rapat dan saya sudah sampaikan mengenai kedatangan anda. Mungkin bisa ditunggu sebentar lagi," ucap resepsionis tersebut dengan ramah.

Naraya hanya bisa mendesah pasrah. Kalau memang Bang Arnan sedang rapat, dia bisa apa selain menunggu … lagi.

"Gimana, Kak?" tanya Mega begitu Naraya menghempaskan tubuhnya di sofa.

"Lagi rapat si doi. Tau gitu kita makan dulu dari tadi," gerutu Naraya.

Karena tidak ingin menyia-nyiakan waktu untuk bertemu dengan Bang Arnan, Naraya sampai melewatkan jam makan siangnya. Beruntung Mega sebelum pergi bersama Naraya sudah menyempatkan untuk makan siang lebih dulu. Berarti saat ini hanya Naraya yang sedang menahan lapar.

"Makan dulu aja, Kak. Mungkin rapatnya masih lama," ujar Mega.

Naraya nampak berpikir sejenak. Perutnya sudah keroncongan sejak tadi. Dan rapat Bang Arnan pun tidak pasti akan selesai jam berapa. Sekarang jam digital yang ada di ponselnya sudah lewat dari angka 2.

"Ya udah, deh. Kita ke kafetaria aja. Kita nunggu Bang Arnan di sana aja, yuk," ajak Naraya akhirnya.

Karena sudah lewat jam makan siang, jadi suasana kafetaria sudah tidak padat. Hanya ada beberapa pegawai yang mungkin nasibnya sama seperti Naraya—melewatkan jam makan siang.

Setelah membeli apa yang mungkin bisa mengisi perutnya yang sudah kosong itu, Naraya pun membawa nampannya ke salah satu meja yang sudah diduduki Mega lebih dulu.

"Kantornya beda, ya, dari kita. Lebih kerasa bebas kalo di sini," ujar Mega sambil menyeruput es kopinya.

Naraya mengangguk masih dengan mulut yang penuh dengan makanan. "Beda CEO-nya ya gini. Setiap lingkungan kan punya kulturnya masing-masing. Tentu saja ada plus minusnya. Kalau dari yang gue liat, sih, mending kayak kantor kita yang ada batasan-batasannya. Kalo terlalu bebas kayak gini takutnya jadi sarang hal negatiff."

"Sarang hal negatif? Maksudnya kayak gimana, Kak?" tanya Mega penasaran sekaligus bingung.

Naraya menelan makanannya lalu meneguk air putihnya. "Takutnya ada hal yang berbahaya bagi sang artis ataupun sang artis melakukan sesuatu yang berbahaya kepada orang luar yang mungkin sedang nongkrong di kafetaria ini. Siapa yang tahu kan."

Mega manggut-manggut mengerti. Penjelasan Naraya masuk akal juga. Apalagi perusahaan ini adalah perusahaan yang menaungi beberapa publik figure besar yang dimana para fansnya bukan hanya fans yang berotak normal, tapi ada juga yang mungkin lebih ekstrim dalam memperlakukan idolanya.

Mega sudah sering melihat berita-berita fans yang saking ingin bertemu idolanya, dia akan rela melakukan apapun. Bahkan, jadi penyusup pun mereka bisa.

"Gue ke toilet dulu, ya," ujar Naraya tiba-tiba. Mega hanya mengangguk menyetujui.

Selain karena budaya yang berbeda dengan kantornya, sisanya dari kantor ini sama saja. Apalagi saat jam-jam kerja seperti ini. Gedungnya terlihat sepi. Atau mungkin ini lantai satu yang hanya ada kafetarianya, jadi tidak terlalu banyak orang yang turun ke sini hanya untuk menghabiskan waktu lowong mereka.

Naraya berbelok ke lorong kecil yang di ujungnya ada dua pintu toilet. Sebelah kiri toilet wanita dan sebelah kanan toilet pria. Dia sedikit terperanjat karena pintu yang juga ditarik dari dalam. Dengan cepat Naraya menetralkan ekspresinya saat melihat seorang wanita dengan pakaian sangat ketat keluar dari sana dan langsung meninggalkan Naraya dengan begitu cepat.

Naraya hanya mengedikkan bahu tanda tidak peduli karena wanita itu tadi juga sempat terkejut melihat keberadaan Naraya. Dia pun kembali meraih gagang pintu tersebut dan menariknya lalu masuk.

"ARGH!!" teriak Naraya begitu dirinya masuk dan mendapati ada seseorang yang tidak boleh ada di sana.

"LO NGAPAIN DI SINI?" Naraya tersandar di pintu toilet saking terkejutnya dia dengan apa yang ada di depannya saat ini.

Orang itu berbalik sembari memperbaiki letak topinya. Dia hanya menatap datar ke arah Naraya seakan-akan apa yang terjadi saat ini adalah hal yang biasa.

"Aksa?" gumam Naraya.

Ya, itu Aksa Bumantara, personil The Heal. Tapi, apa yang dia lakukan di toilet wanita saat ini? Dan kepala Naraya dengan cepat menghubungkan kejadian tadi dengan keberadaan Aksa saat ini.

Perempuan tadi ….

"Lo ngapain di sini, Aksa?" tanya Naraya dengan suara bergetar. Padahal sudah susah payah dia menyembunyikan ketakutannya saat ini, tapi ternyata gagal. Kepalanya tidak bisa berpikir jernih untuk saat ini.

"Lo liat perempuan yang keluar tadi?" Aksa benar-benar tidak nyambung dan terlihat biasa saja saat ini.

Naraya mengangguk pelan dengan susah payah menelan salivanya. "Ka-kalian ketemuan di sini?"

Tanpa Naraya duga, Aksa malah mengangguk. Kemudian dia berjalan ke arah wastafel yang ada di sebelah kiri dan mulai membasuh tangannya.

"Harus banget gitu ketemunya di toilet. Toilet cewek lagi," ujar Naraya ketus. Melihat tingkah songong Aksa saat ini seketika menghilangkan ketakutannya dan kali ini sudah berganti dengan kekesalan.

Aksa mengambil tisu dan melap tanganya. Setelah itu dia berjalan ke arah Naraya dan menatap gadis itu dengan tatapan remeh. "Menurut lo kita ngapain aja tadi?"

"Lo—"

"Syuut … ini rahasia kita berdua aja. Oke?" Aksa dengan cepat memotong ucapan Naraya dengan telunjuknya yang langsung menempel di bibir Naraya.

Naraya langsung menepis tangan Aksa dan menatap laki-laki itu dengan garang. "Lo seberani itu enak-enakkan di toilet kantor? Lo nggak takut kedapatan sama orang lain? Apa susah bagi lo buat nyewa kamar, hah? Ternyata gini, ya, sifat asli lo di balik panggung?"

"Lo nggak usah ngomentarin sifat gue, deh. Lo nggak berhak. Dan juga, suka-suka gue dong mau enak-enakkan di mana. Toh gue nggak ngerugiin siapa-siapa," balas Aksa santai.

"Lo ngerugiin gue. Hal yang seharusnya nggak gue liat jadi gue liat sekarang karena tingkah lo yang serampangan itu. Kalo mau main sama perempuan cari tempat privat dong, jangan di tempat umum kayak gini," marah Naraya.

"Lo kok jadi belagu, sih? Itu mah salah lo yang masuk ke sini. Ini bukan kantor lo, kan? Jadi salah siapa dong? Ini kantor gue, jadi suka-suka gue dong mau ngapain aja. Mending lo diam aja. Lo tahu kan akibatnya kalau hal ini bisa sampai kecium media?"

Naraya tersenyum sinis. Sepertinya dia punya hal besar untuk membuat laki-laki yang ada di depannya ini tidak bersikap songong seperti sekarang ini.

Dia mengeluarkan tanda pengenalnya dari dalam saku dan dihadapkan tepat di depan wajah Aksa. "Sorry, sepertinya emang udah kecium sama media, deh."

"Lo—"

Naraya tertawa sinis mendapati ekspresi Aksa yang begitu cepat berubah. "Berhenti bersikap sok kayak tadi, deh. Kartu lo ada di gue."

Setelah itu Naraya langsung keluar dari toilet dan hendak menemui Mega. Tapi, belum ada beberapa langkah dia keluar dari lorong toilet itu, tangannya langsung dijegat Aksa.

"Lo ngancam gue, hah? Lo pikir lo bisa?" kata Aksa dengan nada yang sudah sedikit meninggi.

"Kenapa nggak bisa? Gue bisa bawa info ini ke teman-teman media gue di kantor dan mungkin ini akan jadi berita ekslusif," ujar Naraya.

"Lo nggak punya bukti, bego!" bentak Aksa.

Naraya memejamkan matanya sejenak karena kaget dengan bentakan Aksa itu. Tapi, dengan cepat dia menetralkan ekspresinya. "Lo pikir gue nggak bisa bikin bukti itu ada? Makanya, kalo mau main dan nggak pengen ketahuan sama orang, mainnya jangan di toilet dong. Mau gue sewain kamar, aja?"