webnovel

Kafe Kenangan dan Ceritanya

~Carilah tempat ternyamanmu untuk bercerita~

Dentingan besi yang saling beradu tergantung di pintu menggema memenuhi ruangan. Bunyi yang dirindukan Naraya akhir-akhir. Bukan hanya itu, wangi dari tempat ini pun rasanya sudah lama tidak lagi Naraya rasakan. Untung saja dia tidak pernah lupa dengan tempat ini.

Ya, Kafe Kenangan. Kafe milik Mas Tirta yang selalu menjadi tempat istirahat Naraya setelah melakukan konsultasi dengan klinik jiwa yang berada tepat di seberang jalan kafe ini. Dan tempat favorite Naraya. Sudut ruangan yang berbatasan langsung dengan dinding kaca.

Sebelum ke tempat andalannya, Naraya terlebih dahulu berjalan ke arah meja kasir dan bar camilan. Sekaligus untuk menyapa sang pemilik kafe ini.

"Hai, Mas," sapa Naraya.

"Hey. Nar. Tumben ke sini? Ada keperluan dekat sini?" tanya Mas Tirta di tengah kesibukannya melayani salah satu pelanggan.

Naraya menggeleng. "Nggak. Lagi kangen aja sama pemilik kafe—eh, kafenya maksud gue," kekeh Naraya.

Setelah pelanggan tadi bergeser, Naraya pun berdiri tepat di depan Mas Tirta—hanya berbatasan meja kasir saja. Matanya melirik menu-menu yang berada tepat di atas kepala Mas Tirta.

"Kayak mau pesan yang di situ aja, lo," sindir Mas Tirta.

Naraya terkekeh. Mas Tirta benar. Dia hanya iseng saja membaca menu-menu yang ada, padahal yang dia pesan pasti hanya itu-itu saja—lemonade.

"Tunggu di sana aja. Gue buatin bentar minuman lo," kata Mas Tirta.

"Sekalian sama kuenya, ya, Mas," timpal Naraya. Mas Tirta hanya bergumam sebagai balasan.

Beberapa menit kemudian, Mas Tirta datang menghampiri meja Naraya. Diletakkannya nampan berukuran sedang berisi minuman dan kue Naraya. Lalu, gadis itu langsung menyeruput minumannya sampai tersisa setengah gelas.

Mas Tirta melihat itu sempat melongo. "Haus, Bu?" kekeh Mas Tirta.

Naraya meletakkan kembali gelasnya dengan sedikit hentakan. Lalu dia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi sambil mengembuskan napas berat.

"Kenapa, sih? Ada yang buat lo bete akhir-akhir ini?" tanya Mas Tirta lagi.

"Banyak," jawab Naraya ketus.

Alis Mas Tirta saling bertaut karena bingung. "Kenapa? Apa yang buat lo bete? Perasaan baru minggu kemarin lo happy karena udah masuk kerja. Kok sekarang udah kusut aja tuh mukanya."

Naraya menarik napas panjang lalu mengembuskannya secara kasar. "Gue bete sama kerjaan gue, Mas," adu Naraya.

"Kenapa? Apa yang terjadi di kantor? Katanya lo dapat sambutan hangat dari orang kantor."

Mas Tirta hampir mengetahui semua hal yang Naraya lakukan karena dia menyempatkan waktu untuk menanyakan apa saja yang sudah terjadi pada Naraya. Tapi, beberapa hari belakangan ini, Mas Tirta tidak lagi menghubungi gadis itu karena kebetulan masih ada urusan di luar kota. Ternyata dia sudah melewatkan hal yang kurang baik mengenai Naraya.

"Masa gue dikasih tugas buat megang acara musik, sih? Gue kan nggak suka sama program itu," keluh Naraya sembari mencebikkan bibirnya.

"Kenapa lo nggak suka sama acara musik? Padahal kan lo ngefans banget sama The Heal."

"Acara musik sama The Heal itu beda, Mas."

"Beda di mananya? Mereka kan sama-sama berada di bidang yang sama. Yakni, musik," jelas Mas Tirta.

"Beda lah, Mas. Apalagi acara musik yang ada di perusahan gue. Semuanya buat gue sakit kepala. Ingin sekali gue bubarin aja tuh acara," kata Naraya kesa.

"Kenapa lo sebenci itu sama acara musiknya?" tanya Mas Tirta lagi dengan nada bicara setenang mungkin.

"Gimana gue nggak benci coba, itu acara adalah acara paling membosankan yang pernah gue temui. Meskipun itu adalah produk dari perusahaan gue sendiri, tapi gue memang mengakui kalau program itu adalah program gagal," kata Naraya menggebu-gebu.

"Kalau gitu lo harus rubah acaranya biar jadi bagus. Kan, lo punya julukan si ratu rating."

"Masalahnya, saat gue minta mereka rombak total acara itu, merekanya nggak mau, nggak tahu, dan berbagai alasan yang ada. Terus bilang gue banyak maunya. Padahal kan emang acaranya sehancur itu dan gue pengen memperbaiki. Mereka apa nggak malu rating acara yang mereka pegang selalu rendah dari yang lainnya? Kalau gue, paling udah minta tuh acara diberhentiin aja."

Naraya berujar dengan napas memburu. Emosinya kembali naik saat menginngat kejadian tadi saat dirinya yang berdebat dengan beberapa rekan kerjanya dan berakhir dengan dirinya mendapat teguran dari Manager juga meminta maaf kepada rekan kerja yang lain.

Mas Tirta kembali menyodorkan gelas minuman Naraya untuk meredakan emosi gadis itu. Dari cara bicaranya, Mas Tirta bisa tebak kalau memang hal yang terjadi di tempat kerja Naraya tidaklah mudah.

"Terus lo maunya gimana?" Mas Tirta kembali membuka suara ketika dirasa Naraya udah sedikit tenang.

"Pengen pindah lah," balas Naraya cepat.

"Emang diizinin?" Naraya menggeleng. "Terus?"

"Nggak tahu gue. Pusing. Baru juga seminggu tapi cobaannya seberat ini."

Mas Tirta membantu memotong kue mini yang ada di depan Naraya lalu memberinya satu suapan kecil. Naraya menerima saja karena memang dia butuh hal-hal yang manis saat ini.

"Terima aja dulu, Nar." Mas Tirta kembali motong kuenya jadi ukuran kecil-kecil lalu memberikan sendok yang tadi dia gunakan kepada Naraya. "Semua kerjaan pasti akan ketemu dengan hal-hal semacam ini. Dunia kerja memang kayak gini, Nar. Apalagi untuk pekerjaan yang memerlukan kreatifitas dan kerja sama yang besar. Egois tidak akan pernah menghasilkan sesuatu yang baik."

Naraya diam. Kalau Mas Tirta sudah bicara dengan nada lembut seperti ini, berarti memang sekarang sudah waktunya Naraya memasuki area pendengar setia ceramah kehidupan dari Mas Tirta.

"Kalau berat, coba cari hal yang sekiranya punya sedikit hal baik di sana. Contohnya… lihat tujuan dari mereka kasih lo tugas itu. Karena apa? Karena mereka percaya sama lo. Kepercayaan mereka bukan beban buat lo, melainkan suatu harapan bahwa dengan hadirnya lo di tempat itu pasti akan memberikan hal yang lebih cerah dari ini."

"Tapi, mereka nggak dengerin apa yang gue bilang, Mas. Mereka nggak mau dengerin alasan gue yang nyuruh mereka rubah acara itu," keluh Naraya.

"Mungkin cara penyampaian lo yang nggak bisa mereka terima. Bukan ide lo untuk perubahan."

Naraya kembali dibuat bungkam. Ternyata Mas Tirta pun bisa memberi jawaban yang sama dengan apa kata Manager-nya tadi.

Cara penyampaiannya yang salah. Terlalu bar-bar, blak-blakan dan pedas. Tapi, dia kan mengutarakan apa yang ada di kepalanya. Dia terlanjur kesal dengan hasil rekan kerjanya yang masih jauh dari ekspektasinya. Tapi, saat dikasih kritikan mereka merajuk dan bilang dirinya terlalu memaksakan kehendak.

"Tapi, gue cuman bilang apa yang ada di kepala gue, Mas," balas Naraya tidak mau kalah.

"Lo bisa pilih kata-katanya, Nar. Lawan kata dari kasar adalah lembut. Lo bisa kasih tahu dengan kata-kata yang lembut. Kebanyakan orang akan sulit menerima kebaikan jika disampaikan dengan cara yang tidak baik. Mungkin mereka sudah lebih dulu tersinggung ketimbang memikirkan kritikan lo itu."

"Au ah. Gue pusing sama mereka. Dikasih tugas tapi banyak ngeluhnya," tandas Naraya menyerah.

Dia malah tambah pusing. Meskipun semua yang diucapkan Mas Tirta itu benar adanya. Tapi, tetap saja dia kesal. Dia kesal karena ternyata apa yang dia lakukan itu salah.

"Udah. Nggak usah dipikirin lagi. Jangan terlalu stres. Gimana kalo lo ikut gue sebentar ke suatu tempat?"

Kekesalan Naraya perlahan luruh saat mendengar ajakan dari Mas Tirta. Dia selalu suka jika Mas Tirta mengajaknya pergi ke suatu tempat. Pasti tempat itu tidak pernah gagal untuk membuatnya jatuh cinta.

"Kemana? Gimana kalo pergi sekarang?" tanya Naraya antusias.

"Mau sekarang?" Naraya sontak mengangguk.

Dan sampailah mereka di suatu gedung tiga lantai yang dekorasinya masih setengah jadi. Malam sudah menyapa dan sekarang Mas Tirta tengah asik memandang Naraya yang sibuk berdecak kagum dengan tempat sekarang.

"Mas… ini beneran punya lo?" tanya Naraya seakan tidak percaya.

Mas Tirta mengangguk. "Gimana? Lo suka?"

"Suka banget," seru Naraya dengan mata berbinar. "Mungkin ini akan jadi tempat favorite gue menggantikan kafe Kenangan."

Mas Tirta sengaja mengajak Naraya untuk mengunjungi cabang dari kafe Kenangan. Kafe yang ini letaknya lebih ke pinggiran kota sehingga tidak terlalu ramai, tapi kesannya lebih tenang. Juga gedungnya di rancang dengan tema alam. Sangat berbeda jauh dengan konsep kafenya yang pertama.

"Mau dinamain apa, Mas?" tanya Naraya lagi saat dirinya sudah berada di undakan tangga paling atas di bagian rooftop ini. Tempat kecil yang kemungkinan besar akan dijadikan sebagai tempat privat dan pemandangan dari sini benar-benar menakjubkan.

"Menurut lo bagusnya dikasih nama apa?"

Naraya nampak berpikir sejenak sampai akhirnya dia menjentikkan jari pertanda bahwa dia sudah mendapatkan ide untuk nama kafe baru Mas Tirta Tirta ini. "Secret Place, gimana?"