webnovel

Ingin Pindah

Selera makan Aksa langsung hilang seketika. Tangannya yang sudah terulur untuk mengambil lauk kesukaannya, terpaksa harus ditarik kembali. Seperti inilah Ibunya bersikap setiap kali dia kembali.

Aksa dan keinginannya. Ibunya dengan segala penolakan dan paksaannya. Saat di rumah, Aksa seperti bukan dirinya, melainkan bayangan dari Ibunya.

Benci saja dirasa tidak cukup untuk mengekspresikan kemarahannya kepada sang Ibu setiap kali pertanyaan yang mengharapkan matinya mimpi Aksa selalu menjadi penyambut setiap kepulangannya.

Bahkan, dukungan pun tidak pernah Aksa harapkan dari Ibunya. Bukan berarti dia juga harus terima dengan lapang dada setiap kali Ibunya bertanya kapan mimpinya itu dipaksa untuk mati.

"Ibu…," tegur Mas Tirta. Dia saja sudah hapal dan jengah dengan pertanyaan itu. Apalagi Aksa.

"Ibu sudah siapkan keperluan kamu untuk pindah ke luar negeri. Segera selesaikan kontrak kamu dengan orang-orang tidak berguna it—"

"Cukup, Bu!" sela Aksa. Tangannya menggenggam erat sendok yang tadi hendak digunakan untuk menyendok makanan.

Tanpa ada rasa takut sekalipun, Aksa melayangkan tatapan tajam ke Ibunya. Bentuk kemarahan yang bisa dia lakukan ke Ibunya hanyalah ini. Hanya bisa memberi peringatan ke Ibunya lewat tatapan tajamnya.

"Kalau Ibu nggak bisa dukung apa yang Aksa lakukan sekarang, mending Ibu diam aja, deh. Jangan hina teman-teman Aksa," tajam Aksa dan bangkit dari duduknya.

Niat untuk menenangkan diri di rumah ternyata tidak bisa dia dapatkan hari ini. Sebenarnya sama seperti hari-hari sebelumnya. Hanya saja, entah kenapa, hari ini dia tidak ingin mendengar pertanyaan menyebalkan itu lagi.

"Aksa," panggil Mas Tirta yang juga ikut bangkit untuk menyusul adiknya.

Dengan setengah tergesa-gesa, Aksa kembali mengambil barang-barang yang tadi dia bawa dari asrama. Moodnya jadi tidak bagus. Laparnya pun seketika menghilang.

"Sa, lo nggak usah dengerin apa kata Ibu. Dia udah seperti itu dari dulu." Mas Tirta sudah berdiri di ambang pintu kamar Aksa. Berniat untuk mencegah adiknya itu untuk tidak pergi.

"Gue lagi males buat dengerin ocehan dia," balas Aksa ketus.

"Mau balik asrama?"

***

"Balik juga lo?"

Oke. Tingkat bad mood Aksa naik satu tingkat. Seharusnya, bukan Eka yang menyambutnya. Tapi, mau diapakan lagi. Lebih baik dia tidak menggubris orang yang menjadi salah satu dari pemicu kekesalannya hari ini.

Ekamatra hanya menganga tidak percaya saat Aksa melewatinya begitu saja tanpa menanggapi kejahilannya kali ini. Apakah orang itu sudah tidak kesal lagi kepadanya?

"Lah, udah balik aja? Nggak jadi nginap di rumah?"

Itu pertanyaan yang dilontarkan Lengkara. Semua personil ternyata sedang menyantap makan malam mereka. Sementara Aksa kali ini harus melewatkan makan malamnya lagi karena moodnya untuk makan sudah hilang beserta selera makannya tadi.

"Males," balas Aksa asal dan langsung memasuki kamarnya yang ditempati bersama Senandika.

"Tuh orang masih marah sama lo, Ka?" tanya Lengkara saat Ekamatra kembali ke meja makan.

Ekamatra hanya mengedikkan bahu. Dia pun tidak tahu. "Tau lah. Bad mood ke hal lain kali. Tadi gue nggak digubris."

"Berarti dia masih kesal sama lo, Ka," timpal Batara.

Sudah satu jam dirinya mendekam di kamar sejak kembalinya tadi. Teman-temannya yang lain pun seakan mengerti dengan mood Aksa kali ini, jadi mereka tidak berani mendekatinya. Bahkan untuk mengajak makan cemilan saja mereka tidak berani.

Sejak kepulangannya tadi, Aksa melakukan perenungan. Bukan seperti Aksa saja melakukan perenungan selama satu jam di kamar seperti ini. Tapi, dari itu dia bisa mendapatkan ide untuk kententraman hidupnya nanti.

Aksa pun langsung mengambil ponselnya dan langsung menghubungi Bang Arnan. Tidak perlu lama untuknya menunggu panggilannya diangkat. "Lo di mana, Bang?"

"Keluar. Gue bareng anak-anak."

Kening Aksa saling bertaut karena bingung dengan jawaban tidak nyambung Bang Arnan itu. Tapi, tetap saja dia mengikuti perintah managernya itu. Dan ternyata, orang yang ditelponnya barusan sudah ada di ruang tamu bersama dengan personil yang lain.

"Semedi aja lo kayak cewek," celetuk Batara saat Aksa mengambil tempat duduk di sampingnya.

"Kenapa nelpon?" tanya Bang Arnan.

"Cariin gue apartemen."

"APA?!"

"Ukhuk…ukhuk."

Respon semua orang yang ada di tempat itu seperti itu. Kaget dengan permintaan Aksa yang sangat tiba-tiba.

"Kok tiba-tiba?"

"Kenapa, nih?"

"Maksud lo apa, sih?"

Lagi. Bang Arnan, Batara dan Lengkara bertanya dengan serentak saking tidak percayanya mereka dengan permintaan Aksa.

Pasalnya, mereka sangat tahu bagaimana Aksa yang begitu mencintai asrama mereka ini. Bahkan, dia berniat untuk tinggal di sini meskipun personil yang lain memilih mencari rumah baru.

Tapi, ada satu orang yang duduk paling pojok dekat Bang Arnan yang hanya diam saja sejak Aksa mengutarakan keinginannya itu. Diam bukan karena tidak peduli. Tapi, dia diam karena merasa bersalah.

Ya. Dia adalah Ekamatra. Dia merasa bersalah karena dia rasa Aksa yang ingin pindah ini dikarenakan dirinya yang sudah keterlaluan mengganggu Aksa tadi.

"Kenapa mau pindah tiba-tiba?" tanya Bang Arnan dengan sangat tenang. Dia sebenarnya tidak terlalu kaget dengan keinginan Aksa ini. Dia hanya kaget karena Aksa memintanya tiba-tiba.

"Lo ada masalah apa, sih, kok tiba-tiba minta pindah gini?" Kalau pertanyaan tajam itu dari sang leader, Lengkara.

"Nggak ada masalah apa-apa, sih. Pengen pindah aja. Kayaknya seru," bohong Aksa. Nyatanya, dia ingin pindah karena ingin merasakan kehidupan yang tenang tanpa ada gangguan dari orang lain ataupun mengganggu orang lain.

"Nggak mungkin nggak ada masalah. Nggak usah sembunyi-sembunyi, deh. Kita nggak bunuh lo juga kok kalau jujur soal ini," timpal Senandika yang dari tadi hanya mendengarkan para kakak-kakaknya ini saling melepar pertanyaan dan jawaban.

Aksa menarik napas panjang sebelum dirinya bicara yang sejujurnya. Tidak ada gunanya juga menyembunyikan perasaan di hadapan orang-orang yang sudah hapal bagaimana luar dan dalamnya dia.

"Oke. Gue jujur. Gue pengen pindah karena memang pengen sendiri. Gue nggak mau ada orang lain yang ganggu gue baik itu buat lagu atau istirahat. Gue hari ini pulang ke rumah Ibu dan mood gue makin down karena balik ke sana. Ke sini juga mood gue belum baik buat baikan sama dedemit satu itu."

Aksa memutus ucapannya sejenak sambil melemparkan tatapan kesalnya yang masih tersisa ke arah Ekamatra. Bukan bermaksud memperpanjang masalah. Tapi, dia ingin menumpahkan emosinya dengan lebih terbuka agar bisa cepat hilang.

"Jadi ini karena masalah tadi pagi?" tanya Lengkara.

"Jadi lo mau pindah gara-gara gue?" Akhirnya Ekamatra memberanikan diri untuk membuka suara.

Aksa menggeleng pelan. "Bukan itu maksud gue. Maksud gue itu, gue pengen cari tempat yang bisa buat gue ciptain lagu sepuasnya tanpa mengganggu yang lain atau ada yang mengganggu gue. Gue hanya pengen tenang aja. Entah dari semua keributan Ekamatra atau tekanan dari Ibu gue. Gue pengen ada tempat dimana gue benar-benar bisa pulang dengan tenang."

Semua diam. Jika Aksa sudah membawa Ibunya ke dalam pembahasan serius seperti ini, pasti memang dia sedang tidak baik-baik saja.

Alasan keributan Ekamatra sebenarnya hanya selingan saja biar yang lain tidak begitu mencurigai luka yang sedang berusaha dia sembuhkan sendiri. Padahal, luka itu begitu nyata di mata yang lain.

"Jadi… inti dari kepindahan lo karena ingin punya studio pribadi, gitu?" simpul Batara yang langsung mendapat jentikan jari dari Aksa. Ucapan Batara ternyata bisa menyelamatkan dirinya dari kecanggungan yang dia ciptakan sendiri.

"Benar sekali, Batara. Lo emang orang paling peka soal gue," kekeh Aksa yang berusaha mencairkan suasana.

"Benar?" tanya Lengkara mencari keyakinan dari Aksa.

Aksa mengangguk kuat tanpa ragu. "Jadi, cariin, ya, Bang? Tugas dari Lengkara nggak bisa gue selesain kalau ada si dedemit itu."

"Jadi lo masih dendam ke gue?" ketus Ekamatra.

"Iya," balas Aksa cepat.

"Udah-udah. Nanti gue cari yang dekat studio. Kalau dekat asrama ini pasti lo nggak mau, kan?"

"Iya-lah. Sama aja bohong kalau gue pindahnya dekat-dekat sama mereka lagi," sergah Aksa.