webnovel

#2-Guru Neraka

Selesai upacara, Mentari Jingga masih berdiri di lapangan sekolah, menghadap ke arah tiang bendera.

Cewek itu dihukum oleh Senja Alexandro untuk memberi hormat pada bendera merah-putih karena lupa memakai dasi. Sialnya, yang melanggar aturan hari ini hanya Mentari sendiri. Makin puaslah Senja untuk menghukum cewek begajulan dan tomboy itu. Senja duduk di kursi yang sengaja dia bawa dari dalam ruang guru, kemudian menaruhnya di dekat tiang bendera, berhadapan dengan Mentari yang memasang wajah cemberut sekaligus kepanasan. Keringat itu membasahi wajah cantiknya, tapi Senja tidak peduli. Sudah merupakan kewajiban dan tugasnya sebagai seorang guru, BK pula, untuk mendisiplinkan siswa-siswi yang tidak mematuhi peraturan sekolah. Senja duduk dengan kaki kanan yang disilangkan ke kaki kiri, sambil membaca sebuah novel.

Mentari mendengus.

"Pak," panggil Mentari dengan nada bete. "Harus berapa lama lagi nih, saya hormat sama bendera? Panas, Pak! Bapak sih enak, duduk di situ, kehalangan sama daun dari pohon yang ada di samping Bapak. Lah, saya? Tatap-tatapan langsung sama matahari, Pak! Mana haus, lagi. Kering nih tenggorokan, Pak."

Senja mengangkat wajahnya dari novel yang sedang dia baca. Melihat itu, Mentari langsung melirik ke arah sampul novel, karena Senja baru saja menutup buku fiksi tersebut. Alis Mentari terangkat satu. Bibir candumu? Mentari berpikir, kemudian bergidik. Membayangkan apa isi dari novel tersebut jika judulnya saja sudah kacau parah seperti itu. Memangnya boleh seorang guru membaca novel dewasa seperti ini?

"Saya sudah dewasa, Mentari. Usia saya sudah matang dan memperbolehkan saya untuk membaca bacaan dewasa mana pun. Bukan hanya bacaan, melainkan juga film dan lain sebagainya."

Mentari melongo dan mengerjap. Kini, Senja bersedekap dan menaikkan satu alisnya. Wajah dan tatapan itu terlihat datar, seolah-olah Senja tidak tertarik dengan Mentari dan tidak peduli dengan Mentari. Well, yeah, Mentari juga tidak ingin dipedulikan atau menjadi pusat perhatian dari Senja Alexandro, kok. Amit-amit, deh. Ya tapi, setidaknya Senja peduli sedikit, kek, gitu! Kasih minum atau apalah! Mentari tidak masalah disuruh berdiri di sini sepuluh atau lima belas menit lagi, atau bahkan setengah jam. Asalkan, ada minum!

MINUM!

"Bapak kenapa bisa tau apa yang saya pikirin?!" seru Mentari heboh. Dia melupakan hasratnya untuk minum, walau barusan dia berkoar-koar di dalam hati ingin Senja memberinya minum. "Bapak bisa baca pikiran orang lain, ya?! Bapak mesum berarti!"

Senja mendengus dan memijat pangkal hidungnya. "Mentari, sejak kapan orang yang bisa baca pikiran disebut sebagai orang mesum? Dan, tidak. Saya tidak bisa membaca pikiran orang. Kamu itu orangnya gampang ditebak, Mentari. Apa yang kamu pikirin, tergambar jelas di raut wajah kamu." Cowok itu kemudian berdiri dan mendekati Mentari. Tubuh tingginya menjulang di hadapan Mentari yang masih cemberut dan terpaksa mendongak. Sudah tangannya pegal karena disuruh memberi hormat sejak sepuluh menit yang lalu, sekarang dia terpaksa mendongak untuk bisa menatap Senja. Heran, kok ada sih manusia setinggi jerapah kayak gini? "Kenapa kamu bisa lupa pakai dasi di hari Senin? Kamu tau kan kalau setiap hari Senin itu selalu diadakan upacara bendera?"

"Pak Senja, kalau yang namanya lupa itu, itu tuh artinya nggak ingat. Kalau saya ingat buat pakai dasi, saya nggak mungkin berduaan sama Bapak di lapangan sekolah kayak gini buat menikmati panasnya sinar matahari." Mentari berdecak jengkel, membuat Senja mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengusap dagunya.

"Masuk akal,"

"Ya Bapak pikir saya sebodoh apa sih, Pak?" gerutu Mentari. "Pak, liat nih, keringat saya udah sebesar biji kedondong!"

"Mana? Saya nggak liat ada biji kedondong di wajah kamu."

Arrrgh! Boleh nggak sih dia santet orang? Dosa nggak, ya? Masalahnya, tangannya udah gatal banget kepengin nabok guru menyebalkan keluaran neraka di hadapannya ini. Minimal menjambak rambutnya sedikit saja. Dosa kecil juga nggak apa-apa, deh. Yang penting hasratnya untuk membuat Senja Alexandro menderita tersalurkan. "Itu kan perumpamaan, Pak! Istilah! Bapak kan guru bahasa Indonesia, masa nggak tau istilah-istilah kayak gitu, sih?"

"Selama saya hidup dan menjadi seorang guru sejak dua tahun yang lalu, saya nggak pernah mendengar ada istilah keringat sebesar biji kedondong. Kalau sebesar biji jagung, saya baru pernah dengar." Senja mengedikan bahu dan menganggukkan kepalanya. "Mungkin saya udah ketinggalan zaman?"

"Pak, kalau saya nabok Bapak, Bapak bakalan balas nabok saya, nggak?" tanya Mentari dengan nada gemas, membuat Senja menaikkan satu alisnya. "Sumpah, Pak, saya udah nggak tahan kepengin bikin Bapak nggak banyak ngoceh lagi. Dan saya haus! Haus, Pak! Saya bisa gila!"

Senja diam sejenak, kemudian dia membungkuk sedikit agar bisa membisikkan sesuatu pada telinga Mentari.

"Mentari Jingga, jangan pernah main-main sama saya, karena saya nggak suka sama yang namanya permainan. Dan lagi, kalau kamu nekat mengajak saya bermain atau membuat saya kesal dan semacamnya, mempermainkan saya atau menjalankan apa pun rencana-rencana busuk di otak kamu yang nggak seberapa itu—"

"Wha—"

"—Saya pastikan kamu akan menyesal karena sudah mengajak saya bermain." Senja menegakkan tubuhnya kembali, lalu tersenyum. Senyuman yang mengejek. Kemudian, Senja menurunkan tangan Mentari yang masih memberi hormat kepada bendera merah-putih, lalu mengusap kepala Mentari. Tentu saja cewek berusia tujuh belas tahun itu langsung mengambil langkah mundur dan memasang sikap waspada. Melihat itu, Senja langsung terbayang akan kucing liar yang sedang mendesis karena didekati seorang manusia. "Kamu bisa masuk ke kelas sekarang."

Mentari tidak menjawab dan buru-buru mengambil ranselnya yang ada di dekat tiang bendera. Dia memeluk ransel itu seolah-olah itu adalah benda yang akan memperpanjang hidunya. Mentari memutar tubuh dan bergegas berlari menuju tangga agar bisa langsung masuk ke dalam kelasnya yang ada di lantai dua. Namun, tak berapa lama, Mentari kembali ke hadapan Senja yang sedang merapikan kursi dan berniat masuk ke ruang guru. Cowok berusia dua puluh lima tahun itu menatap datar ke arah Mentari yang sudah berdiri lagi di depannya dan masih memasang sikap waspada ala kucing liarnya.

"Kenapa kamu balik lagi? Masih mau dihukum lagi sama saya?"

You wish, gerutu Mentari dalam hati. "Pak, haus! Beneran, deh. Saya lupa bawa minum juga dari rumah. Boleh ke kantin sebentar, ya? Cuma buat beli minum. Es teh atau air mineral dingin. Pelajaran pertama itu bahasa Indonesia, kan? Mata pelajarannya Bapak? Kasih saya waktu sedikit aja buat beli minum dan istirahat sambil habisin minumannya. Please?"

Senja menarik napas panjang dan melakukan gerakan tangan untuk mengusir Mentari. Tak lupa dia menganggukkan kepala, memberikan izin kepada Mentari untuk pergi ke kantin sebentar saja.

"Terima kasih, jigoku sensei!" teriak Mentari. Cewek itu berlari sambil tertawa. Dan Senja berani bertaruh, Mentari mengira dirinya tidak tahu apa arti dari kalimatnya barusan.

"Dasar cewek pembuat onar," gerutu Senja. Merasa ketiban sial harus memiliki siswi tomboy seperti Mentari.

Note: Jigoku Sensei = Guru dari neraka.