webnovel

Calon Imamku (Tamat)

Faezya Farzan, seorang mahasiswi jurusan PGMI, dia sering sekali bermimpi bertemu dengan seorang pria berjubah putih berparas rupawan dengan senyu manis, pria itu selalu mengatakan bahwa dia adalah calon istrinya. Faeyza jatuh cinta dengan seorang pria dama mimpi tersebut, berusaha mencari dan terus mencari hingga hatinya tak mampu terbuka untuk pria lain, tak perduli bahwa dirinya akan dianggap gila. Dia hanya ingin bertemu dengan bersama pria tersebut. "Aku hanya inginkan dirimu, calon imamku."

Firanda_Firdaus · 歴史
レビュー数が足りません
88 Chs

Episode 53

Ketika seorang wanita cemburu itu adalah hal yang paling menakutkan, mulut berkata tidak tapi hati berkata lain, bahkan mengupas apel pun penuh dengan tenaga amukan.

Zein menggelengkan kepala melihat sang Istri uring-uringan hanya karena Ulfi menggoda dirinya.

"Sayang, kau masih kesal pada Adikmu? Atau kau marah pada ku?"

Faeyza tidak menjawab, dia lebih memilih menyelesaikan kupasan apelnya lalu memakan sendiri apel tersebut, biasa kalau menunggu pasien yang sedang sakit, maka apel itu akan diberikan pada pasiennya bukan dimakan sendiri seperti yang dilakukan wanita itu.

"Sudah, jangan marah. Bagaimana kalau hari ini Maz ajak kamu jalan-jalan?" bujuk Zein lembut dan penuh kasih sayang.

Faeyza mendongakkan pandangannya menatap sang Suami, dia memperhatikan pria 30 tahun tersebut. Selang infus masih menempel di pergelangan tangannya, bagaimana caranya jalan-jalan?.

"Mas itu masih sakit, bagaimana caranya jalan-jalan?"

Zein tersenyum lembut, ternyata Istrinya itu tahu juga kalau dirinya masih sakit tapi masih saja sempat ngambek.

Cklek...

Pintu ruang rawat terbuka dari luar, terlihat Tanvir dengan senyum lebar membawa sebuket bunga mawar merah di tangannya, dia berjalan menghampiri Faeyza.

"Faeyza, bunga ini untuk mu. Aku khusus memerankan 1000 mawar merah ini untuk orang yang paling spesial."

Faeyza memperhatikan bukan tersebut, sangat indah tapi dia seperti pernah mendengar bunga mawar seribu bunga atau seribu bunga mawar, bunga itu harganya ratusan juta bukan hanya puluhan atau ratusan ribu.

"Ehem, Tanvir. Bunga ini pasti mahal, bagaimana kalau aku tukar dengan uang tunai saja? Aku tidak suka bunga ini, pasti nanti akan layu. Kalau uang kan tidak akan layu."

Tanvir menahan kegeraman dalam hatinya, harusnya setiap wanita itu sangat suka kalau diberi bunga, apa lagi bunga mawar merah indah dengan harga selangit. Ini malah ingin ditukar dengan uang, di mana romantisnya kalau seperti itu.

"Ya sudah tidak apa-apa, biar Maz saja yang memberimu uang seharga bunga itu. Memangnya uang itu untuk apa?" sahut Zein menahan senyum melihat betapa polosnya Istrinya tersebut, wajar saja pemikiran orang kampung dengan penghasilan keluarga minimum dibandingkan dengan gadis kota dengan harta melimpah ruah.

"Faeyza! Kamu sadar tidak si?! Aku itu sengaja pesan bunga ini untuk kamu. Kenapa kamu malah mau ditukar dengan uang?!" omel Tanvir, apa lagi Kakaknya justru akan mengganti dengan harga beli bunga itu. Sengaja memesan mawar 1000 tangkai dengan harga ratusan juta hanya akan diganti dengan uang.

"Memang apa gunanya bunga mahal?!  Aku juga tidak makan bunga. Kalau aku butuh bunga juga palingan sembarang bunga yang penting bisa untuk nyekar ke makam," balas Faeyza tidak kalah sewot.

Tanvir mengepalkan tangannya, ingin sekali dia mencium bibir gadis itu tapi ingat kalau ada Zein. Bukannya dapat ciuman bisa jadi akan dapat bogeman mentah, apa lagi kalau Ayahnya tahu seharian akan mendapatkan ceramah rohani yang sangat membosankan.

"Dasar gadis kampung, bunga mawar 1000 tangkai malah dibandingkan dengan bunga rongsokan. Sudah, kau terima saja bunga ini. Jangan ditukar dengan uang!" Tanvir menyerahkan bunga itu dengan paksa dan kasar, setelah itu dia membalikkan tubuh lalu meninggalkan ruang rawat saudaranya itu dengan perasaan jengkel setengah mati.

Faeyza masih sangat bingung dengan sikap Adik iparnya tersebut, dia tidak merasa melakukan kesalahan sama sekali. Dirinya bukan hantu yang suka makan bunga karena itu baginya lebih penting uang dari pada bunga.

"Maz, apakah menurut Maz, bunga itu lebih penting dari uang?"

Zein tersenyum maklum, setiap orang memiliki pemikiran yang berbeda-beda, itu semua tidak bisa disalahkan karena mereka juga hidup dan tumbuh dengan pemikiran yang sangat  berbeda.

"Tidak, jika menurut Iza lebih suka diberi uang, maka Iza berpikir secara realistis. Bagi orang yang hidup sederhana seperti Iza, bunga seperti mawar 1000 tangkai itu dirasa tidak terlalu penting. Seberapa pun tinggi harga bunga itu, tetap saja tidak akan bisa dimakan. Benar?"

Faeyza mengangguk, Suaminya itu sungguh halus dalam bicara, kalau orang lain mungkin akan bicara" orang miskin seperti Faeyza" tapi memang benar, uang bisa digunakan untuk apapun seperti, membeli makanan, pakaian, rumah dan lain lagi. Tapi bunga, siapa yang akan beli bunga dengan harga selangit? Palingan hanya orang-orang kaya saja sedang dirinya tidak kenal dengan orang kaya.

"Ehehe.... " Dia terkekeh, setelah itu menghampiri sang Suami yang masih duduk sambil bersandar di bantal.

Brek...

"Bunga ini untuk Maz saja, aku tidak butuh bunga seperti ini. Tadi Maz bilang akan memberiku uang seharga bunga ini bukan?"

Zein mengangguk, dia tahu apa yang sedang dipikirkan gadis itu. Pasti ingin menjual bunga pada dirinya.

"Aku mau uang itu, memang harga bunga ini berapa?" tanya Faeyza menaruh bunga itu di pangkuan sang Suami.

"Sekitar 177 juta, jadi? Iza akan menjual bunga ini pada Maz?" tanya Zein menggoda.

"Bukan menjual, Maz. Sebagai seorang laki-laki, Maz tidak boleh menarik kembali ucapan Maz tadi. Jadi aku hanya menagih janji, Maz dapat bunga aku dapat uang. Jadi kita tidak ada yang dirugikan bukan?" kilah Faeyza.

Zein mengangguk, dia iyain saja karena tidak ingin berdebat dengan sang Istri tercinta.

"Baiklah, nanti Maz akan transfer ke rekening mu."

"Jangan, aku bahkan tidak pernah menggunakan kartu yang Maz berikan itu. Aku tidak tahu cara menggunakannya, aku mau uang tunai saja. Aku ingin belikan rumah orang tua ku yang lebih layak, juga mau belikan motor yang lebih baik," tolak Faeyza sekalian menjelaskan alasannya.

"Baiklah, tapi sekarang Maz tidak punya uang tunai. Bagaimana kalau nanti saja setelah Maz keluar dari rumah sakit? Apakah Iza tidak keberatan?" balas Zein.

Faeyza memikirkan sejenak ucapan sang Suami, lebih baik percaya saja, lagi pula pria itu juga tidak pernah berbohong apapun terhadap dirinya.

"Baiklah, aku setuju. Maz memang yang terbaik, aku sayang Maz." Dia memeluk leher sang Suami mesrah, tidak sabar rasanya ingin melihat wajah bahagia kedua orang tuanya lantaran dibelikan rumah.

Sementara itu, di luar ruangan Tanvir mengeraskan rahang melihat kemesraan sepasang Suami Istri tersebut. Padahal dia pikir Faeyza akan keluar dan mengejarnya kemudian minta maaf, atau menjual bunga itu pada dirinya. Tapi malah melakukan transaksi pada kakaknya.

"Dasar cwek matre, aku kasih barang bagus malah ditukar dengan uang."

Tak...

Tak...

Seorang perawat berjalan anggun menuju ruang rawat Zein, tanpa sengaja dia melihat Tanvir sedang mengintip di lubang kunci.

"Wajah setampan itu kenapa suka ngintipin orang?" gumamnya, namun masih terdengar di telinga CEO tampan itu.

Tanvir langsung menegakkan tubuhnya dan bersikap sok cool dengan memasukkan kedua tangan ke dalam saku seakan tidak pernah melakukan pengintipan terhadap Zein dan Faeyza.