webnovel

Tua pasti, dewasa itu pilihan

Sudah menjelang magrib Erca terbangun, Erca mengusap matanya kasar. "Papa masih disini...?!", Erca bertanya lembut, begitu menyadari dia terbangun dengan posisi semula dia tidur.

Cakya tidak menjawab hanya mengusap lembut pucuk kepala putra kesayangannya penuh kasih.

"Jam berapa pa...?", Erca bertanya pelan.

"Sudah hampir jam setengah enam", Cakya menjawab dengan suara paling rendah.

"Astagfirullah, sudah mau magrib. Erca mau mandi dulu pa", Erca beranjak dari posisinya, berniat ingin pergi meninggalkan Cakya menuju kamarnya.

Cakya menarik lengan Erca, kemudian jongkok duduk di hadapan Erca.

"Papa pulang ya, udah mau malam", Cakya bicara lirih.

Erca hanya mengangguk pelan, "Papa hati-hati", Erca menjawab pelan.

"Jagain mamanya baik-baik jagoan", Cakya bicara pelan.

Erca hanya menyatukan jari telunjuk dan jempol tangan kanannya, sebagai isyarat setuju.

Cakya mengusap kasar pucuk kepala Erca, kemudian berlalu pergi dari hadapan Erca.

Begitu sampai di ruang tamu Cakya melihat Mayang dan Gama yang sedang duduk menonton TV.

"Mau kemana Cakya...?", Mayang bertanya pelan.

"Pulang, udah mau magrib juga", Cakya menjawab santai.

"Hati-hati", Gama segera menengahi sebelum Mayang angkat suara.

Cakya hanya mengangguk pelan sebelum berlalu dari hadapan Gama dan Mayang. Cakya melaju dalam kecepatan pelan menyusuri jalan yang sepi.

Cakya tiba-tiba menghentikan motornya begitu melihat seluet punggung perempuan yang dia kenal berdiri di trotoar jalan.

"Putri...? Kamu ngapain disini dek...?", Cakya bertanya heran, begitu yakin kalau dia tidak salah mengenali orang.

Putri tidak menjawab malah menangis tersedu-sedu.

"Naik, Cakya antar pulang", Cakya segera memberi perintah.

Putri tidak protes, langsung naik ke motor Cakya.

"Maaf bang...", Putri memeluk Cakya dari belakang, menempelkan pipinya di punggung Cakya.

Cakya tidak bergerak, detik berikutnya Cakya segera mengembalikan kesadarannya. Cakya kembali menjalankan motornya dengan perlahan, Cakya merubah tujuannya menuju rumah dinas pak Lukman.

Cakya cukup bingung begitu melihat rumah dinas pak Lukman gelap gulita. Putri segera turun dari motor Cakya, kemudian mengeluarkan kunci dari dalam tasnya, detik berikutnya putri sudah berhasil membuka kunci pintu.

"Masuk bang", Putri menawarkan dengan sopan.

"Di luar aja dek", Cakya memilih duduk di bangku yang tersedia di teras rumah.

Cakya memijit keningnya yang mulai terasa pusing.

Putri masuk kedalam rumah, hanya dalam hitungan menit, putri sudah kembali ke luar dengan membawa segelas kopi untuk Cakya. Putri meletakkan gelas kopi dengan sangat hati-hati di meja tepat disamping kursi Cakya duduk.

"Di minum bang", Putri bicara pelan, kemudian duduk di kursi lain yang masih kosong.

"Hem... Terima kasih dek", Cakya menjawab pelan, dengan hati-hati menyeruput kopi buatan Putri.

"Pada kemana...? Kok sepi...?", Cakya bertanya pelan, setelah kembali meletakkan kopinya di atas meja.

"Memangnya abang mengharapkan ada siapa lagi di rumah...? Kan Putri sekarang hanya tinggal berdua sama ayah", Putri menjawab santai.

"Oh iya, bu Devi sudah menikah dan ikut suaminya. Pak Jendral kemana...?", Cakya bertanya asal, kembali menyeruput kopinya dengan hati-hati.

"Ayah ada tugas di luar kota. Paling nanti malam juga pulang", Putri menjawab dengan kepala tertunduk.

"Kamu belum cerita kamu kenapa tadi...?", Cakya kembali bertanya.

Putri baru saja akan membuka mulutnya, tiba-tiba sebuah motor parkir di depan rumah. Seorang lelaki segera turun dari motor, melangkah dengan tergesa-gesa menghampiri Putri.

"Kita harus bicara", lelaki itu bicara penuh harap.

Cakya duduk dengan tenang, seolah sedang menonton siaran langsung drama percintaan remaja.

Putri mendaratkan tamparan ke pipi lelaki yang ada di hadapannya.

"Semua udah selesai, udah g'ak ada lagi yang mau aku bicarakan sama kamu", Putri bicara dingin.

Lelaki yang ada di hadapan Putri spontan meraih tangan yang memberinya hadiah tamparan keras bahkan sampai pipinya terasa panas.

"Dengerin aku dulu", lelaki itu bicara dengan dominan.

Putri berusaha keras untuk melepaskan cengkraman tangan lelaki yang ada di hadapannya. Akan tetapi usaha Putri sia-sia saja, karena lelaki itu menggenggam pergelangan tangan Putri dengan sangat keras.

"Sakit...", Putri meringis pelan karena merasa kesakitan.

Cakya berdiri dengan perlahan, kemudian segera melepaskan paksa genggaman lelaki yang ada di hadapan Putri.

"Sama cewek jangan kasar bro", Cakya bicara dingin. Tatapan mata Cakya yang demikian tajam langsung membuat nyali lelaki itu ciut seketika.

Cakya mendorong Putri kebelakang punggungnya, sebagai sikap protektif Cakya akan melindungi Putri apapun yang akan terjadi nantinya.

"Kamu siapa, ini urusan kita. Jangan ikut campur...!!!", lelaki itu bicara dengan tegas, merasa kesal karena Cakya menganggu usahanya untuk bicara dengan Putri.

"Anda punya masalah sama Putri, berarti anda cari masalah sama saya", Cakya bicara perlahan kata perkata dengan nada suara sangat dingin.

Lelaki yang ada dihadapan Cakya spontan mundur satu langkah kebelakang, menjauhi Cakya.

"Me... Memangnya anda siapa, berani-beraninya ikut campur urusan kita...?", lelaki itu berusaha keras untuk menyelesaikan ucapannya.

"Putri calon tunangan saya. Kita di jodohin dari kecil", Cakya bicara diluar dugaan.

"Apa...? Lulucon macam apa ini...? Putri...! Apa yang dikatakan orang ini benar...?", lelaki itu menolak untuk percaya dengan ucapan Cakya. Kemudian segera menagih jawaban dari Putri.

Putri tidak menjawab, hanya mengangguk pelan.

"Lalu apa artinya hubungan kita selama ini...?", lelaki itu meradang tidak terima dengan perbuatan Putri.

"Kamu yang memulai tidak jujur. Dari awal kamu sudah tidak jujur, kamu sebenarnya masih punya pacar. Bahkan berkali-kali kamu selingkuh, kamu pikir aku tidak tahu apa...?", Putri menjawab sengit.

"Tapi... Putri... Aku sayang banget sama kamu. Aku g'ak bisa hidup tanpa kamu", lelaki itu bicara memelas meminta dikasihani oleh Putri.

"Aku mau kita udahan", Putri bicara pelan, kepalanya tertunduk bersembunyi dibelakang punggung Cakya.

"Putri... Tapi...", lelaki itu berusaha mendekati Putri.

Cakya segera mendorong dada lelaki yang ada dihadapannya saat ini, sehingga dia bahkan tidak bisa meraih Putri sedikitpun.

"Saya rasa anda belum budek. Pergi dari sini", Cakya bicara dingin.

Lelaki itu tidak berani melawan Cakya, memilih mundur untuk sementara. Berlalu pergi dengan motornya.

Cakya membalikkan tubuhnya, menatap Putri yang masih gemetar karena merasa ketakutan. Cakya membantu Putri untuk duduk.

"Kamu jangan takut, dia sudah pergi", Cakya bicara pelan.

"Dia bukan orang yang segampang itu mundur. Putri yakin dia akan kembali lagi nanti malam bang...", Putri bicara disela tangisnya.

"Kamu g'ak perlu khawatir, Cakya akan tetap disini sampai ayah kamu kembali", Cakya akhirnya membuat keputusan besar.

"Terima kasih bang...", Putri bicara lirih, air matanya masih mengalir deras.

"Kamu masuk sana, kunci pintunya, abang mau ke mushala dulu sholat magrib", Cakya bicara pelan.

Setelah sholat magrib, Cakya kembali duduk diteras rumah dinas pak Lukman. HP Cakya berbunyi seketika. Cakya segera menerima telfon masuk, begitu melihat nama Erca yang muncul di layar.

"Assalamu'alaikum nak, ada apa...?", Cakya bicara pelan.

"Wa'alaikumsalam, papa udah di rumah...?", Erca malah balik bertanya.

"Papa... Belum", Cakya menjawab dengan penuh keraguan.

"Kenapa...?", Erca bertanya pelan.

"Papa... Dirumah pak Jendral Lukman, tadi... Papa ketemu anaknya pak Jendral di jalan lagi nangis. Jadi... Papa anterin pulang", Cakya memutuskan untuk bicara jujur.

"Papa sudah bisa melupakan mama ya...?", Erca tiba-tiba bertanya diluar dugaan.

"Papa...", Cakya tidak melanjutkan kalimat berikutnya.

"Kalau tante Putri bisa membuat papa bahagia, Erca ikut senang pa", Erca langsung memberi restu kepada Cakya tanpa pikir panjang.

Cakya diam sejenak, memikirkan kata-kata apa yang pantas untuk dia ucapkan selanjutnya.

"Anak kecil, ngomongnya sudah kayak orang dewasa saja kamu", Cakya memutuskan untuk tidak menanggapi ucapan Erca.

"Tua pasti, dewasa itu pilihan", Erca tiba-tiba mengucapkan kata-kata diluar dugaan ayahnya.

Ucapan Erca seolah menjadi tamparan keras bagi Cakya, Erca yang sekecil itu berhasil move on dari keterpurukan. Anak seumur Erca kalau harus dihadapkan dengan perpisahan kedua orang tuanya, yang ada malah terjerumus kenakalan remaja. Erca berada di sisi lain, dia malah berhasil menguasai hidupnya sendiri menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya.