webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · 若者
レビュー数が足りません
251 Chs

Setidaknya Cakya harus tetap hidup

Cakya sampai di Sungai Penuh lewat tengah malam. Sehingga Cakya memutuskan untuk ke kosan milik Gama.

Cakya tidak mengucapkan salam atau capek-capek berbasa-basi kepada penghuni kosan yang sedang duduk diteras rumah. Cakya masuk menuju kamar Adam, kamar terlihat kosong, tidak ada ciri-ciri bekas orang tidur.

Cakya kembali mematikan lampu kamar, kemudian merebahkan diri diatas tempat tidur. Air matanya mengalir tanpa permisi disela matanya yang tertutup lengan tangan kanannya.

Tepat saat subuh Gama baru pulang dari kerja lemburnya dikantor, wajahnya terlihat lelah.

"Bang, ada bang Cakya...", salah satu penghuni kosan membuka pintu saat mendengar suara motor Gama.

"Cakya...? Dimana...?", Gama bertanya bingung, bukankah seharusnya Cakya di Garut selama seminggu mencari Erfly.

"Kamarnya Adam", lelaki itu menjawab sembari menunjuk dengan isyarat mulutnya.

"Adam sudah pulang...?", Gama kembali bertanya.

"Belum bang, paling juga agak siangan ntar", lelaki itu berusaha menebak.

"Ya udah, masuk dulu", Gama memukul lengan kanan lelaki yang ada dihadapannya.

Gama membuka pintu kamar Adam dengan perlahan. Kemudian menepuk pelan paha Cakya.

Cakya segera membuka matanya begitu sadar ada yang menepuk pahanya.

"Udah subuh", Gama bicara pelan.

Cakya tidak protes, kemudian langsung menuju kamar mandi untuk berwudhu. Cakya segera menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim.

Setelah sholat subuh, terdengar suara ketukan pintu. "Bang, ditunggu bang Gama diteras", seorang lelaki penghuni kosan bicara lembut dari balik pintu kamar.

Cakya melangkah perlahan menuju teras rumah, terlihat Gama duduk dengan menyeruput kopinya. Gama meletakkan kembali kopinya keatas meja begitu melihat Cakya muncul, kemudian memberi isyarat agar Cakya meminum gelas lain yang berisi kopi.

"Kapan kamu pulang...?", Gama bertanya dengan nada paling rendah.

"Semalam, pesawat terakhir", Cakya menjawab sesingkat yang dia bisa.

Cakya menyeruput kopinya secara perlahan. Gama bisa membaca aura kesedihan dari wajah Cakya.

"Apa yang mau kamu lakukan selanjutnya...?!", Gama bertanya pelan.

"Cakya butuh waktu Om", Cakya bicara lirih, nyaris tidak bisa tertangkap oleh daun telinga Gama.

"Om ada tugas keluar kota selama 3 hari. Orang rumah juga belum tahu kamu pulang, kamu bisa tinggal di rumah Om selama Om pergi", Gama memberi solusi kepada Cakya.

Gama tidak tahu pasti apa yang terjadi selama Cakya di Garut, akan tetapi melihat wajah Cakya yang penuh sedih Gama bisa menebak kalau Cakya tidak memperoleh informasi apapun dari pencariannya.

"Cakya mau ke makam Asri Om", Cakya bicara tiba-tiba.

"Om akan hubungi penjaga rumah disana untuk menyiapkan kamar untuk kamu tinggal selama disana", Gama kembali menjawab ucapan Cakya dengan sangat antusias.

"Makasih Om", Cakya bicara dengan suara paling pelan.

"Kamu yang kuat...", Gama memukul pelan pundak Cakya.

"Setidaknya Cakya harus tetap hidup. Agar nanti saat Cakya bertemu dengan Erfly, Cakya bisa meminta sepotong penjelasan", Cakya bicara lirih, tatapannya demikian kosong.

Gama kehabisan kata-kata, dia tidak tahu harus merespon seperti apa dengan ucapan Cakya barusan. Akan tetapi Gama akan sedikit lebih tenang, karena dia tahu Cakya berada dimana.

***

Ayah Cakya memasuki gerbang rumah bergaya Belanda. Kedatangannya disambut oleh perempuan setengah baya yang memakai gaun tidur putih.

Ayah Cakya tidak bertegur sapa dengan perempuan setengah baya itu, langsung masuk menuju meja makan.

"Mbak... Siapkan makan", perempuan setengah baya itu bicara dengan nada setengah berteriak.

Tidak perlu menunggu lama, makanan sudah tersedia diatas meja makan. Ayah Cakya makan dengan tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

"Utama... Semua baik-baik saja bukan...?", perempuan setengah baya itu bertanya dengan nada suara paling lembut.

Ayah Cakya tidak merespon, hanya melanjutkan memasukkan suapan penuh kedalam mulutnya.

Perempuan setengah baya itu menggenggam jemari tangan kiri ayah Cakya dengan lembut, seolah tangan itu makanan yang sangat rapuh yang akan hancur saat di sentuh.

"Utama... Aku masih istri kamu, kalau ada apa-apa kamu bisa cerita sama aku...", perempuan setengah baya itu bicara penuh arti.

Ayah Cakya spontan melepaskan kasar sendok yang dia pegang sebelumnya, sehingga mengeluarkan bunyi yang cukup keras saat sendok beradu dengan piring. Karena merasa terkejut, perempuan setengah baya itu langsung melepas jemari tangannya dari tangan ayah Cakya.

"Ini yang membuat aku g'ak pernah betah berada disisi kamu...", ayah Cakya bicara dengan nada paling rendah, tatapan dinginnya langsung berhasil menusuk ketulang belulang perempuan setengah baya itu.

"Aku... Aku... Aku minta maaf, ini salah aku Utama. Aku minta maaf", perempuan setengah baya itu langsung duduk jongkok disamping kursi ayah Cakya, menggenggam lengan kiri ayah Cakya, bahkan keningnya menempel di lengan ayah Cakya sebagai tanda penyesalan. Air matanya mengalir tanpa bisa di bendungnya lagi.

Ayah Cakya langsung berdiri dari posisi duduknya, kemudian dengan kasar melepaskan genggaman tangan perempuan setengah baya itu dari lengannya.

Perempuan setengah baya itu terbanting jatuh kelantai.

Ayah Cakya berlalu pergi begitu saja.

Sadar kalau suaminya akan pergi lagi, perempuan setengah baya itu berusaha keras menyusul ayah Cakya yang sudah hampir meraih pintu utama.

"Utama... Kamu tidak akan menginap malam ini...?", perempuan setengah baya itu bertanya penuh harap.

"Lain kali jangan buat mood ku hilang", ayah Cakya bicara pelan, kemudian berlalu pergi begitu saja, tanpa perduli ada perempuan setengah baya yang telah sekian lama menunggu kehadirannya tanpa henti.

Perempuan setengah baya itu menangis terduduk di lantai, melepaskan kepergian suaminya.

***

Cakya tiba ditempat tujuannya hampir jam 5 sore, Cakya memutuskan untuk langsung ke makam Asri. Setelah mengucap salam, Cakya duduk jongkok di depan makam Asri.

Membersihkan didaunan yang gugur diatas makam Asri, mencabuti rumput liar yang tumbuh diatas makam Asri. Kemudian Cakya mengusap papan nama yang bertuliskan nama Asri.

"Apa kabarnya kamu...?", Cakya bicara lirih.

"Cakya pikir... Cakya sudah bisa menemukan kebahagiaan Cakya, dan perlahan bisa melupakan kamu.

Ternyata... Cakya salah lagi.

Kenapa seolah kebahagiaan itu selalu menghindar dari Cakya?

Apa Cakya memang tidak pantas untuk meraih kebahagiaan itu?", Cakya bicara dengan suara paling pelan, mengusap batu nisan Asri dengan lembut, berharap Asri yang ada dihadapannya saat ini.

"Kamu tahu Erfly...? Dia gadis yang pernah datang kesini waktu itu. Dan... Sekaligus penerima donor organ dari kamu.

Cakya... Udah ngelamar dia, waktu terakhir kali di gunung tujuh. Kita setuju untuk menikah awal tahun depan.

Cakya lagi skripsi sekarang, target Cakya tahun ini harus wisuda. Terus... Bisa cari kerja yang mapan.

Terus... Kamu tahu apa...? Gadis sialan itu malah menghilang tanpa jejak. Bahkan orang-orang yang selalu disekitarnyapun tiba-tiba lenyap ditelan bumi.

Cakya sudah cari dia dengan berbagai macam cara, Cakya juga sudah meminta bantuan pak Jendral. Semua nihil.

Cakya g'ak tahu harus mencari dia kemana lagi, bahkan Cakya juga g'ak tahu apa yang harus Cakya lakukan.

Cakya juga g'ak tahu Cakya udah melakukan salah apa sama Erfly. Sebelumnya saat di Garut kita baik-baik saja. Cakya...", Cakya tidak bisa melanjutkan kata-katanya karena tangisnya pecah tanpa permisi.