webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · 若者
レビュー数が足りません
251 Chs

Papa minta maaf

Cakya, Wulan dan Tio memutuskan untuk ke rumah istri tuanya ayahnya. Begitu pintu di buka, Cakya dan kedua adiknya disambut hangat oleh istri tua ayahnya.

Cakya beserta kedua adiknya diarahkan ke kamar utama. Di sudut ruangan, ayah Cakya sedang duduk diatas kursi rodanya, tatapannya nanar menatap keluar jendela.

"Pa...", Cakya bicara lirih.

Ayah Cakya berusaha keras untuk menoleh. Cakya segera mengubah posisi kursi roda, agar ayahnya bisa dengan mudah menatap Cakya dan adik-adiknya.

"Papa minta maaf", ayah Cakya bicara dengan tangisnya. Berusaha untuk turun dari kursi rodanya.

Wulan yang pertama langsung menyerbu kepelukan ayahnya. Detik berikutnya pertahanan Tio runtuh, ikut memeluk ayahnya. Tangis mereka pecah seketika, Cakya hanya mengusap pelan punggung Wulan dan Tio bergantian.

***

Nanya membuka pintu mobil perlahan, pintu mobil sengaja tidak di kunci. Karena Nanya sudah menitipkan Erca kepada satpam kampus.

Begitu Nanya duduk di balik bangku setir, Nanya menatap putranya yang sedang tertidur pulas dikursi penumpang belakang supir.

Nanya mengendarai mobilnya dengan sangat perlahan, takut akan membangunkan Erca. Begitu Nanya berhasil memarkirkan mobilnya di garasi, Erca membuka matanya.

"Mama sudah selesai mengajarnya...?", Erca bertanya sembari mengucek-ngucek matanya lembut.

"Kita udah di rumah ganteng", Nanya bicara pelan.

Erca segera menyapu tatapannya keluar kaca mobil.

"Maaf ma, Erca ngantuk jadinya ketiduran", Erca nyengir kuda.

"Ayo masuk, kamu mandi terus istirahat", Nanya memberi perintah.

Erca hanya mengangguk pelan.

"Kamu sudah makan nak...? Mau mama masakin apa...?", Nanya kembali bertanya setelah membuka pintu rumah.

"Erca ditraktir nasi goreng gila sama Om Tio ma", Erca menjawab santai, sembari menuju arah kamarnya. "Erca ke kamar dulu ma, mau mandi, terus istirahat", Erca bicara pelan sebelum menghilang dari balik daun pintu kamarnya.

***

Ayah Cakya berusaha meraih tangan Cakya. Cakya segera menggenggam jemari tangan ayahnya.

"Er... Fly...", ayah Cakya berusaha keras untuk mengucapkan nama itu.

"Dia di Lombok sekarang pa", Cakya bicara lirih.

"Pa... Pa... Maaf...", ayah Cakya berusaha keras untuk menyelesaikan kalimatnya.

"Nanti Cakya coba cari alamatnya dari dokter Alfa atau Om Gama", Cakya bicara dengan penuh keraguan.

Ayah Cakya hanya mengangguk pelan.

"Ma... Ma....", ayah Cakya kembali bicara lirih.

"Tadi... Mama sedang pergi, InsyAllah nanti Cakya bawa kesini untuk menemui papa", Cakya kembali tidak yakin dengan ucapannya sendiri.

"Ma... Kan...", ayah Cakya kembali bicara pelan.

"Kita udah makan tadi pa sebelum kesini", kali ini Wulan yang menjawab.

Ayah Cakya mengangguk perlahan.

HP Wulan tiba-tiba berbunyi, Wulan meraih HPnya, kemudian terdiam kaku sejenak setelah melihat siapa yang menelfon. Wulan menatap kearah Cakya. Tidak perlu kata-kata Cakya sudah mengerti kalau itu telfon dari ibunya.

Cakya memberi isyarat agar Wulan tidak perlu mengangkat telfon, Wulan kembali mengantongi HPnya.

Cakya segera pamit kepada ayahnya, Wulan dan Tio mengekor di belakang. Cakya membawa mobil dengan kecepatan sedang, begitu sampai dirumah ibunya sudah mondar-mandir di teras rumah.

"Assalamu'alaikum...", Cakya, Wulan dan Tio mengucapkan salam bersamaan.

"Wa'alaikumsalam, astagfirullah... Kalian dari mana saja...? Mama telfon Wulan g'ak diangkat", ibu Cakya bicara cemas.

Cakya, Wulan dan Tio bergantian menyalami ibunya.

"Mama telfon...?", Wulan pura-pura meraih HPnya.

"Maaf ma, kita pergi g'ak pamit, tadi... Bang Cakya ngajakin kita cari jagung bakar", Tio menyerahkan kantong plastik bawaannya ketangan ibunya.

"Mama kira ada apa-apa Wulan tidak ada di rumah pas mama pulang", ibu Cakya kembali bicara lembut.

Wulan segera memeluk ibunya lembut, "Wulan minta maaf ma, HP Wulan hanya mode getar tadi", Wulan bergelantungan manja di leher ibunya.

"Cakya istirahat dulu ma, capek, baru pulang dari gunung", Cakya bicara dengan suara paling rendah.

"Kamu sudah makan nak...?", ibu Cakya bertanya pelan.

Cakya hanya mengangguk pelan, sebelum berlalu masuk kedalam kamarnya.

"Tio juga istirahat ma, habis dari kampus", Tio segera masuk kedalam kamarnya.

Wulan meletakkan kantong yang berisi jagung bakar keatas meja makan, kemudian Wulan mengisi dua gelas dengan air putih dari galon. Selanjutnya Wulan duduk di hadapan ibunya, mulai meneguk minumannya.

"Bagaimana keadaan si abang...?", ibu Cakya bertanya pelan, setelah menggigit jagung bakarnya.

"Dia baik-baik saja, mama jangan khawatir. Abang bukan anak kecil lagi ma, dia sudah menjadi seorang ayah. Otomatis pola pikirnya juga pasti akan berubah, jauh lebih dewasa lagi", Wulan bicara pelan.

Wulan kembali meneguk minumannya perlahan.

"Ada apa...?", ibunya tiba-tiba bertanya.

"Hah...apanya...?", Wulan bertanya bingung, tidak yakin kemana arah ucapan ibunya barusan.

"Ada yang mau kamu omongin", ibunya bicara langsung kepada intinya.

"Em... Kebaca ya...?", Wulan tersenyum malu, karena ibunya berhasil menangkap basah dirinya.

"Sembilan bulan kamu di perut mama", ibunya bicara disela senyumnya.

"Mama... Tidak mau bertemu papa?", Wulan bertanya dengan nada suara paling rendah, nyaris tidak terdengar.

"Kenapa kamu bertanya begitu...?", ibunya malah balik bertanya.

"Em... Wulan dengar, kata Om Gama... Papa sudah di bebaskan seminggu yang lalu. Kabarnya kak Erfly memutuskan untuk menyelesaikan secara kekeluargaan", Wulan bicara kata perkata dengan sangat hati-hati. Terlihat Wulan tidak ingin menyakiti perasaan ibunya.

"Buat apa...? Toh mama sudah resmi pisah sama papa kamu", ibunya menjawab sengit ucapan Wulan.

Wulan tidak berani lagi bertanya, takut ibunya kembali naik pitam nantinya.

"Kamu ajak Tio dan bang Cakya saja klau mau bertemu dia", ibunya tiba-tiba bicara diluar dugaan Wulan.

Ibunya sama sekali tidak menatap wajah Wulan saat berbicara.

"Boleh ma...?", Wulan bertanya bingung. Dia takut salah dengar ucapan ibunya sebelumnya.

"Dia papa kalian. Yang bercerai itu mama sama papa kamu. Bukan hubungan ayah dan anak",Ibunya bicara dengan suara paling pelan.

"Mama... Tidak apa-apa...? Kalau kita menemui papa...?", Wulan kembali memastikan.

"Mama tidak akan melarang kalian. Toh kalian sudah besar, mama tidak punya hak untuk melarang kalian untuk bertemu papa kalian sendiri", ibunya bicara dengan nada paling rendah.

Wulan langsung berdiri dari posisinya, kemudian merangkul ibunya dari belakang, tanpa dia sadari air matanya mengalir tanpa permisi.

"Terima kasih ma", Wulan berbisik lirih di daun telinga ibunya.

Ibunya hanya mengusap pelan tangan putrinya yang melingkar di pundaknya.

Di sisi lain, Tio menahan tangis bersandar di daun pintu kamarnya.

Pikirannya berkecamuk, bayangan ayahnya yang duduk di kursi roda lemah tidak berdaya, membuat hatinya terasa di remas-remas.

Karena anak bungsu, Tio lebih dekat dengan ayahnya. Dimata Tio ayahnya adalah sosok pahlawan keluarga yang tanpa cacat. Itu yang membuat Tio Sangat-sangat mengidolakan ayahnya.

"Tinggal dimana papa kamu sekarang...?", ibu Cakya tiba-tiba bertanya pelan.

Wulan langsung tegang setelah mendengar pertanyaan ibunya.

Ibunya segera berbalik badan, berusaha lepas dari pelukan Wulan. Ibunya menatap lekat wajah Wulan yang tertunduk dalam.

"Ada apa...?", ibunya bertanya lembut, menyelidiki Wulan. Mengapa Wulan tiba-tiba bersikap aneh, begitu ditanya tentang ayahnya.