webnovel

Kita hanya butuh waktu saja sayang

Hasan melangkah perlahan berdiri dihadapan ibunya. Kemudian menarik ibunya perlahan kedalam pelukannya. Erfly menangis sejadi-jadinya dalam pelukan putra sulungnya, tangan mungil Hasan mengusap lembut rambut ibunya.

5 menit kemudian Erfly sudah merasa jauh lebih tenang, kemudian Erfly melepaskan pelukannya dari Hasan.

Erfly menepuk lembut kasur disampingnya, "Sini sayang, duduk di samping bunda", Erfly bicara serak, karena berusaha keras menahan tangisnya.

Hasan duduk di samping ibunya tanpa protes, dengan lembut Hasan menghapus jejak air mata ibunya.

Erfly menarik nafas panjang berusaha untuk menenangkan diri.

"Bunda baik-baik saja...?", Hasan kembali bertanya lembut.

Erfly meraih jemari tangan kanan Hasan, kemudian mengecup lembut punggung tangan Hasan. Kemudian Erfly meletakkan jemari tangan kanan Hasan di atas pahanya, Erfly mengusap lembut punggung tangan kanan Hasan.

"Sejujurnya g'ak", Erfly bicara pelan, sebutir air mata Erfly kembali keluar dari mata jernihnya.

Hasan kembali menghapus lembut jejak air mata ibunya.

"Kenapa...?", Hasan bertanya lembut.

"Kita hanya butuh waktu saja sayang", Erfly bicara lirih.

Hasan kembali menarik ibunya kedalam pelukannya, kemudian menepuk-nepuk lembut pundak ibunya.

Detik berikutnya, terdengar suara azan magrib berkumandang.

"Kita sholat berjamaah, abang yang jadi imam ya", Erfly mengajukan permohonan.

Hasan mengangguk lembut. "Bunda wudhu dulu, Hasan beresin barang-barang bunda", Hasan menatap barang-barang ibunya yang berserakan di atas tempat tidur.

Begitu Erfly keluar dari kamar mandi setelah berwudhu, Hasan sudah mengunci rapat koper ibunya. Hasan dan Erfly segera menuju mushala di pojok rumah. Hasan bertindak menjadi imam, di belakang ada Husen, Erfly kecil dan ibunya sebagai makmum.

Selesai sholat magrib, Dirga beserta keluarga kecilnya datang. Erfly segera berpamitan kepada si kembar, sesuai rencana Erfly menuju lokasi tanah longsor.

Hampir 2 jam Erfly dan rekannya di dalam perjalanan, kemudian Erfly memutuskan untuk melakukan survei sendiri ke lokasi. Setelah melakukan survei ke lokasi, Erfly memutuskan untuk ke rumah sakit menemui mantan wali kelasnya.

Erfly memilih untuk menggunakan kursi rodanya, karena sudah terlalu lelah. Erfly mengetuk pelan daun pintu salah satu ruang rawat inap. Setelah mendapatkan izin untuk masuk, Erfly langsung membuka daun pintu perlahan.

Seorang perempuan setengah baya duduk di atas kursi tepat di samping tempat tidur, kursi roda Erfly perlahan menghampiri perempuan setengah baya itu. Erfly segera meraih jemari tangan kanan perempuan setengah baya itu, kemudian menciumnya dengan penuh rasa takzim.

"Assalamu'alaikum bu...", Erfly bicara lembut. "Wa'alaikumsalam... Erfly...? Butterfly bukan...?", perempuan setengah baya itu bicara tidak percaya.

Erfly hanya mengangguk pelan sembari melemparkan senyuman terbaiknya, "Bagaimana keadaan bu Molly...?", Erfly bertanya lembut.

"Saya baik-baik saja, hanya suami yang harus menjalani operasi", bu Molly bicara dengan mata yang berkaca-kaca.

"Oh... Iya, ibu masih ingat Dirga...?", Erfly menoleh kearah Dirga yang ada di sampingnya.

Dirga segera menyalami tangan bu Molly. Bu Molly mengusap lembut punggung tangan Dirga, "Kalian sudah besar-besar semua", bu Molly bicara disela senyumnya.

"Bu Molly hanya berdua disini...?", Erfly bertanya pelan.

"Iya, anak ibu dan saudara memutuskan untuk pulang kampung. Rumah dan harta benda semuanya lenyap dalam waktu singkat", bu Molly bicara lirih, sangat terlihat raut kesedihan di wajahnya.

"Ibu g'ak perlu khawatir, InsyAllah akan ada gantinya", Erfly bicara pelan.

Bu Molly menarik Erfly kedalam pelukannya, "Jujur saya bingung harus bagaimana, ditambah suami harus operasi lagi. Saya bingung biayanya dari mana, perusahaan hanya menanggung biaya emergency awal", bu Molly tidak mampu menahan tangisnya lagi.

Erfly meraih jemari tangan kanan bu Molly, kemudian meletakkannya ditengah kedua telapak tangannya.

"Untuk saat ini, ibu tidak perlu memikirkan apa-apa. Fokus saja pada kesembuhan suami ibu. Serahkan sisanya pada kita, anak-anak ibu", Erfly bicara lembut.

Tangisan bu Molly pecah seketika begitu Erfly menyelesaikan ucapannya.

Setelah dari rumah sakit, Erfly memutuskan untuk mencari penginapan. Nadhira dan yang lain masih sibuk dengan barang bawaan, Erfly yang sudah merasa lelah memilih untuk masuk ke kamarnya terlebih dahulu. Baru saja melangkah beberapa langkah, pandangan Erfly mengabur.

Erfly merasakan tangan kekar menahan pundaknya, Erfly segera mengalihkan tatapannya menatap siapa yang baru saja menolongnya. Detik berikutnya Erfly sudah ada di gendongan lelaki yang menolongnya. "Ah..." , Erfly tersentak kaget karena diangkat tiba-tiba, kruknya bahkan terjatuh kelantai begitu saja.

"Turunin aku" Erfly memberi perintah.

Lelaki itu tetap diam melangkah dengan perlahan, Erfly berusaha keras untuk lepas dari tangan lelaki itu. Lelaki itu segera menurunkan Erfly tepat setelah berada di depan sebuah pintu, kemudian menyerahkan kruk milik Erfly detik berikutnya.

"Istirahat, muka Erfly pucat kurang istirahat", lelaki itu bicara pelan sebelum berlalu pergi begitu saja.

"Cakya...", Erfly memanggil lirih nama lelaki penolongnya.

Cakya menoleh lembut kearah Erfly.

"Terima kasih", Erfly bicara pelan.

Cakya hanya melemparkan senyum kecil, kemudian berlalu pergi dari hadapan Erfly begitu saja.

***

Alfa masih duduk diam di hadapan Satia yang tiada henti menghisap rokoknya.

"Lalu kamu maunya apa...?", Alfa bertanya putus asa.

"Seperti biasa, keputusan ada di tangan Ilen", Satia bicara lirih.

"Kalian g'ak bisa egois seperti ini, ada anak-anak yang harus kalian jaga", Alfa berusaha mengingatkan Satia.

"Satia juga g'ak bisa egois Ko, kalau Ilen akhirnya memutuskan untuk mengejar kebahagiaannya. Satia g'ak punya hak untuk menahan Ilen disini", Satia bicara lirih.

***

Tiga hari berlalu begitu saja, Erfly masih sibuk dengan proyek pembangunan perumahan. Beruntung tanah bu Molly berada di tempat yang cukup strategis, sehingga Erfly bisa memprioritaskan pembangunan untuk rumah bu Molly.

Erfly selalu menyempatkan diri menjenguk suami bu Molly, operasi suami bu Molly berjalan lancar. Sekarang sedang dalam masa pemulihan.

Sesekali Erfly berpapasan dengan Cakya, karena Cakya menjadi relawan yang dikirim untuk membantu korban tanah longsor di perbatasan oleh kantornya.

Erfly melangkah perlahan mendekati penjual bakso, "Baksonya mas", Erfly bicara pelan setelah melihat penjual bakso yang sedang menyiapkan pesanan.

Erfly diam sejenak begitu mengalihkan tatapannya ke meja pembeli, Cakya sedang menikmati makanannya bersama beberapa relawan lainnya. Tidak ada pilihan lain, Erfly terpaksa duduk tepat dihadapan Cakya. Detik berikutnya, pesanan Erfly telah tiba di hadapan Erfly.

Erfly hanya menatap mangkok pesanannya tanpa bereaksi apapun. Cakya yang sadar dengan tingkah Erfly langsung mengalihkan tatapannya ke mangkuk yang berisi bakso milik Erfly.

"Mas...", Cakya memanggil penjual bakso.

"Yah...", penjual bakso langsung menghampiri Cakya.

"Pesan satu mangkok lagi baksonya, bakso kecil dan telur, pakai bihun, g'ak usah pakai daun bawang, hanya pakai seledri saja, sayurnya pakai toge saja, banyakin bawang gorengnya", Cakya menyebutkan pesanannya dalam satu nafas.

Penjual bakso hanya mengangguk pelan, kemudian berlalu pergi untuk membuat pesanan Cakya.

Cakya menarik mangkok bakso yang ada di hadapan Erfly, kemudian menyodorkan ke tengah-tengah teman-teman satu team relawannya.

"Di habisin bang, ada yang mau nambah, nambah saja, nanti bu Erfly yang yang bayar", Cakya bicara santai.

Teman-teman Cakya langsung menyambut dengan sorakan antusias. Tanpa basa-basi segera mengosongkan mangkuk yang baru disodorkan oleh Cakya.

Erfly hanya menggeleng pelan, kehabisan kata-kata untuk menjawab ucapan Cakya barusan. Si empunya malah dengan santainya tetap melanjutkan makan, memasang wajah tanpa dosanya.