webnovel

Kasih dia waktu untuk sendiri

Cakya kebandara diantar oleh Erfly, Nadhira dan supir kantor. Setelah mendengar panggilan penerbangannya Cakya menatap lekat wajah Erfly.

Cakya mengusap pelan pucuk kepala Erfly yang ditutupi Jelbab. "Erfly hati-hati, jaga diri", Cakya bicara lembut disela senyumnya.

Erfly mengangguk pelan, "Cakya juga, jangan lupa shalat, makan dan istirahat yang cukup. Badannya udah kurus gitu, mau saingan sama tiang listrik...", Erfly berkelakar manja.

Cakya hanya tersenyum mendengar ocehan Erfly, "Assalamu'alaikum", Cakya bicara lembut.

Erfly meraih jemari tangan Cakya, kemudian menempelkannya diantara hidung dan bibirnya beberapa saat. "Wa'alaikumsalam...", Erfly menjawab lirih.

"Teh, jagain ya", Cakya berbalik menatap Nadhira yang berada agak jauh darinya.

Nadhira hanya mengangguk pelan, sembari melemparkan senyuman terbaiknya. Setelah Cakya menghilang dari pandangan, Nadhira menghampiri Erfly. Mendorong pelan kursi roda Erfly keluar bandara menuju parkiran.

Erfly duduk dibangku penumpang dengan menatap keluar kaca mobil.

"Teteh udah urus semua biaya rumah sakit Om Bambang...", Erfly bertanya pelan, dengan tanpa mengalihkan tatapannya dari semula.

"Udah Len, sebelum kerumah tadi teteh udah selesaikan semuanya. InsyaAllah sore ini Om Bambang akan menjalani operasi", Nadhira menjelaskan dengan menatap kearah Erfly yang ada dikursi belakang.

Erfly mengangguk pelan.

Nadhira kembali mengalihkan tatapannya melihat jalanan yang ada didepan.

"Terima kasih teh", Erfly tiba-tiba bicara lirih.

Spontan Nadhira menoleh kearah bangku belakang, Nadhira tersenyum mendengar ucapan Erfly.

"Jangan sungkan Len", Nadhira membalas dengan lembut.

Sesampainya dirumah, ada pemandangan yang tidak biasa. Ada 3 orang sedang mondar-mandir didepan rumah Erfly dengan gelisah.

Satu berumur sekitar 45 tahun, perempuan dengan menggunakan baju lusuh, terlihat kantung mata yang sangat jelas, entah itu karena kurang tidur atau malah terlalu banyak menangis.

Terlihat seorang perempuan muda lainnya yang berada di umur sekitar 18 tahun, wajahnya sendu seperti sedang dirundung duka.

Disisi lain ada seorang lelaki yang baru menginjak umur 22 tahun. Gaya pakaiannya yang seperti gelandangan membuat orang bergindik ngeri, entah itu karena dia anak band atau malah memang sudah lama terlantar hidup dijalanan.

Erfly mendekat perlahan, dengan Nadhira yang masih setia mendorong kursi roda Erfly dengan sangat hati-hati.

Begitu sadar akan kedatangan Erfly, perempuan yang lebih tua berusaha untuk memeluk Erfly. Spontan Erfly mendorong kursi rodanya kebelakang, beruntung Nadhira sedang membuka pintu rumah. Kalau tidak, Nadhira bisa terhantam kursi roda Erfly.

"Nak... Ini tante...", perempuan yang lebih tua itu menangis sejadinya, menerima penolakan Erfly.

"Setelah orang tuaku meninggal, aku hanya hidup sendiri. Tanpa sanak famili", Erfly menjawab dingin.

Perempuan yang lebih tua itu langsung berlutut berusaha meraih kaki Erfly.

"Tante salah, tante minta maaf...", perempuan itu menangis menghiba kepada Erfly.

Erfly mendorong kursi rodanya masuk kedalam rumah.

"Len...", Nadhira bicara lirih, tidak tega melihat perempuan yang sedang menghiba di teras rumah.

"Suruh mereka pergi, aku g'ak mau ngeliat muka mereka ada dihadapan ku lagi", Erfly bicara dingin.

Tangis perempuan yang lebih tua itu pecah, mendengar ucapan dingin Erfly yang seolah hukuman mati baginya.

Spontan lelaki satu-satunya yang berada diantara mereka, menghadang kursi roda Erfly. Lelaki itu meletakkan kedua tangannya diatas kedua lengan kursi roda Erfly.

"Walau bagaimanapun, kami tetap keluarga kamu. Kamu g'ak sepantasnya berbuat g'ak sopan kepada ibuku", lelaki itu bicara kata perkata dengan penuh emosi.

Nadhira berusaha ingin menarik kursi roda Erfly agar terbebas dari cengkraman lelaki kasar yang ada dihadapan Erfly.

Erfly menaikkan jemari tangan kanannya keudara, sebagai isyarat kalau Nadhira tidak perlu melakukan apa-apa.

Nadhira segera mundur beberapa langkah.

"Sebelum anda bicara soal sopan santun. Sebaiknya anda belajar soal sopan santun terlebih dahulu", Erfly bicara dingin. Tatapannya tajam langsung menembus bola mata lelaki yang ada dihadapannya.

Lelaki itu hanya memasang muka bingung karena tidak mengerti dengan ucapan Erfly.

"Ini rumah saya, anda datang kesini tanpa saya undang. Kalau anda berbuat macam-macam disini, sampai anda mati nantinya disini, anda hanya akan mati sia-sia. Karena anda yang datang kesini menyerang saya", Erfly menjelaskan panjang lebar.

Nyali lelaki yang ada dihadapan Erfly langsung ciut menerima ancaman Erfly.

"Oh... Satu lagi. Anda bukan siapa-siapa saya. Hubungan anda dengan saya hanya karena Om Bambang menikahi ibu anda. Jadi... Jangan pernah datang dan muncul dihadapan saya lagi. Saya muak melihat keluarga anda yang selalu muncul dihadapan saya", Erfly meluapkan amarahnya.

Detik berikutnya, Erfly sudah menghilang berlalu masuk kedalam rumah.

"Saya minta maaf atas sikapnya Ilen...", Nadhira bicara lembut setelah Erfly menghilang dari hadapan mereka.

"Kita yang terlalu dalam menancapkan luka dihati Ilen. Jadi... Wajar saja kalau dia bersikap seperti itu...", perempuan yang lebih tua bicara sembari menghapus air matanya.

"Pada dasarnya Ilen anak yang baik. Dia hanya butuh waktu saja untuk menerima semuanya. Kasih dia waktu untuk sendiri", Nadhira bicara lembut, membesarkan hati perempuan dan kedua anaknya itu.

"Kalau begitu kami permisi", perempuan yang lebih tua mewakili mohon diri.

"Ibuk mau kemana...? Biar diantar supir saya", Nadhira menawarkan tumpangan.

"Tidak perlu, kita bisa naik angkot nanti didepan", perempuan itu menolak dengan sopan.

Nadhira mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribu dari dompetnya, kemudian menyerahkan ketangan perempuan yang ada dihadapannya.

"Ini ada sedikit untuk makan siang", Nadhira bicara lembut.

"G'ak usah Nadhira", perempuan itu berusaha menolak pemberian Nadhira.

"Walau bagaimanapun pak Bambang pernah menjadi mentor saya saat magang di kantor, saya harap anda tidak menolak pemberian saya ini", Nadhira kembali memaksa agar perempuan itu menerima pemberiannya.

"Terima kasih...", perempuan itu bicara lirih.

"Pak Bambang ada di rumah sakit, dan InsyAllah nanti sore akan menjalani operasi", Nadhira memberikan informasi, walaupun sebenarnya Nadhira ragu perempuan dan 2 orang anaknya ini masih perduli dengan keberadaan Bambang.

"Apa...? Kenapa bisa...? Papa... ", perempuan yang lebih muda kali ini bereaksi lebih cepat.

"Dia ada dimana...?", perempuan yang lebih tua kali ini bertanya panik.

"Kalau mau, saya bisa minta tolong supir untuk mengantarkan anda ke rumah sakit", Nadhira kembali menawarkan solusi.

"Terima kasih...", perempuan yang lebih tua menggenggam jemari tangan kanan Nadhira lembut.

Setelah melepaskan kepergian tamu Erfly yang tak diundang itu, Nadhira bergerak menuju kedalam rumah mencari keberadaan Erfly.

Terlihat Erfly sedang duduk melamun menatap kosong ke kolam ikan. Nadhira duduk agak jauh dari Erfly.

"Segitu sulitnya buat Ilen maafin mereka...?", Nadhira bertanya lembut.

"Luka itu terlalu dalam teh", Erfly menjawab lirih, tanpa mengalihkan tatapannya semula.

"Setiap orang berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua. Apalagi... Om Bambang satu-satunya keluarga yang kamu punya saat ini", Nadhira berusaha menasehati.