webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · 若者
レビュー数が足りません
251 Chs

Kamu kenapa dek...?

Sesuai rencana Erfly dan Satia makan siang ditempat yang telah dipesan oleh Nadhira. Bagi Nadhira, kesempatan langka bisa melihat Erfly dan Satia bisa menghabiskan waktu berdua.

Erfly masih saja melamun, Satia menarik saos yang ada di tangan Erfly.

"Astagfirullah, ada apa mas...?", Erfly bertanya kaget, karena saos yang ada di tangannya ditarik tiba-tiba oleh Satia suaminya.

Satia tidak menjawab, hanya memberi isyarat agar Erfly mengalihkan tatapannya ke piring makanannya.

"Ya Allah... Ilen kok ceroboh amat ya...", Erfly bicara pelan, kemudian berusaha mengaduk makanannya asal.

Satia segera menarik piring Erfly, "Kita pesan lagi aja, itu udah g'ak enak pastinya", Satia bicara pelan. Kemudian memanggil pelayan kafe untuk memesan lagi makanan yang sama untuk Erfly.

"Maaf mas...", Erfly bicara dengan suara paling pelan.

"Kamu kenapa dek...?", Satia bertanya lembut, menggenggam jemari tangan kanan Erfly dengan sayangnya.

"G'ak apa-apa mas", Erfly berusaha menghindar dari menjawab pertanyaan Satia.

Satia melemparkan senyuman terbaiknya, "G'ak mungkin kamu g'ak ada apa-apa, sikap kamu jadi aneh seperti ini dek...", Satia bicara dengan nada suara paling lembut, matanya memancarkan cinta yang begitu besar untuk Erfly.

"Ilen... Hanya tiba-tiba kepikiran si kembar saja mas. Dari tadi... Perasaan Ilen was-was saja bawaannya, kepikiran si kembar. Ilen takut terjadi apa-apa", Erfly akhirnya mengakui apa yang dia cemaskan.

Satia tersenyum lembut, "Itu hanya perasaan kamu saja dek, selama ini kamu belum pernah di tinggal oleh si kembar. Jadi... Wajar saja kamu merasa seperti itu", Satia berusaha menghibur istrinya.

"Tapi mas...", Erfly kembali mau melanjutkan ucapannya.

"Gini saja, agar kamu g'ak khawatir. Nanti mas coba telfon kang Untung untuk memastikan keadaan si kembar, atau... Mas minta bawahan mas yang lagi ada di Jambi, sedang memberikan pelatihan, untuk ke Kerinci sebelum pulang mengecek keadaan si kembar, bagaimana...?", Satia menawarkan solusi.

"Terima kasih mas...", Erfly bisa sedikit bernafas lega, setelah mendengar ucapan suaminya.

"Sekarang... Yang lebih penting kamu makan dek, nanti malah sakit lagi", Satia mengingatkan.

Erfly hanya melemparkan senyuman terbaiknya sebagai jawaban.

Sebenarnya Satia sudah curiga, si kembar dari kemaren tidak bisa di lacak oleh Satia. Satia bahkan tadi pagi sempat menghubungi kang Untung, akan tetapi kang Untung tidak mengangkat panggilannya. Biasanya, saat kang Untung tidak mengangkat telfon darinya, hanya butuh waktu kurang dari satu jam, kang Untung akan menelfon kembali. Yang membuat bingung, malah sama sekali tidak ada respon dari kang Untung sama sekali.

Setelah makan siang, Erfly memutuskan untuk langsung pulang bersama Satia. Meninggalkan pekerjaan kantor untuk diselesaikan oleh Nadhira.

Baru saja Satia meletakkan pantatnya di atas kursi di dalam kamar, telfon Satia berteriak minta diangkat. Satia segera meraih HPnya, kemudian menempelkannya di daun telinga sebelah kiri. Satia diam sejenak, menit berikutnya Satia kembali menutup hubungan telfon.

"Dek...", Satia bicara berat.

"Ada tugas lagi...? Kali ini kemana...?", Erfly menebak-nebak asal.

"Pedalaman hutan Kalimantan", Satia bicara berat.

"Ilen siapin dulu perlengkapannya, mas pergi berapa hari...?", Erfly bertanya asal, sembari menuju lemari pakaian.

"Seminggu...", Satia bicara dengan nada suara tidak yakin. "Maaf dek...", Satia bicara lirih.

Erfly mengerutkan keningnya, kemudian memilih untuk duduk di pangkuan Satia, setelah menyadarkan kruknya ke lemari.

"Kenapa malah minta maaf mas...?", Erfly bertanya bingung.

"Disaat seperti ini, mas harus meninggalkan kamu dek", Satia bicara dengan nada paling rendah, sangat terlihat kesedihan dari raut mukanya.

Erfly meletakkan jemari tangan kanannya di pipi Satia, "Mas... Ini sudah menjadi tugas mas sebagai Anggota satuan khusus. Sudah sepantasnya, Ilen sebagai istri bangga dengan pekerjaan mas...", Erfly memberikan penekanan pada setiap ucapannya.

Satia spontan menarik Erfly kedalam pelukannya, "Terima kasih dek... Mas beruntung punya istri seperti kamu", Satia bicara lirih.

"Ilen lagi mas, yang beruntung bisa miliki mas", Erfly menenggelamkan wajahnya di dada Satia, pipinya terasa panas, Erfly yakin pipinya sekarang sudah berubah menjadi merah seperti udang rebus, karena malu dengan ucapan yang dia baru saja ucapkan.

Satia tertawa renyah melihat kelakuan istrinya, kemudian Satia mengeratkan pelukannya.

***

Candra memilih untuk diam di ruang kerjanya. Tatapannya hanya menatap kosong ke berkas yang ada di hadapannya, pikirannya menerawang kepada wajah Wulan yang menangis saat terakhir kali mereka bertemu.

"Dek...", Sinta meletakkan jemari tangan kanannya diatas pundak Candra.

"Astagfirullah halazim...", Candra mengusap mukanya karena kaget.

"Kamu kenapa...?", Sinta bertanya pelan, kemudian kembali duduk dihadapan Candra.

Candra hanya tersenyum pahit, "Ada apa mbak...?", Candra bertanya pelan, kembali memaksakan senyumnya.

"Kamu ketemu Wulan...?", Sinta tiba-tiba bertanya diluar dugaan Candra.

"Tasya... Ngasih tahu mbak ya. Tasya cerita apa aja...?", Candra malah balik bertanya asal.

"G'ak cerita apa-apa. Dia hanya bilang, pas masang dekor, kamu ketemu sama cewek yang namanya Wulan", Sinta kembali menjelaskan.

"Iya mbak, g'ak tahunya yang nikah itu sahabatnya Wulan dari bangku sekolah", Candra bicara lirih.

"Terus...?", Sinta kembali menagih jawaban.

"Wulan sempat narik Candra buat ngomong berdua, dia nanya kenapa Candra mutusin dia tiba-tiba", Candra menjawab lirih.

"Kamu jawab apa...?", Sinta kembali bertanya menghilangkan rasa penasarannya.

"Candra g'ak ngomong apa-apa. Candra bilang antara kita udah g'ak ada lagi yang bisa diperbaiki, semua udah selesai, hari dimana Candra mutusin dia. Dan... Wulan nagihin jawaban kenapa Candra mutusin dia, Wulan ngiranya Candra ninggalin dia, karena lebih milih sama Tasya...", Candra tertawa getir, menertawakan dirinya sendiri.

"Lalu...? Kamu biarkan saja Wulan salah paham...?", Sinta kembali menagih jawaban dari Candra.

"Candra bilang, Tasya g'ak ada hubungannya sama putusnya hubungan Candra sama dia. Kalau dia mau tahu kenapa Candra mutusin dia, Candra suruh Wulan tanya sendiri ke papanya, apa yang udah dia lakukan kepada keluarga Wiratama...", Candra bicara lirih.

Mukanya terlihat sendu, Sinta tahu dengan pasti seberapa besar cinta Candra untuk Wulan. Hanya keadaan yang memaksa Candra untuk memilih meninggalkan Wulan.

"Kamu menyesal akhirnya menikahi Tasya...?", Sinta tiba-tiba bertanya lirih diluar dugaan Candra.

"G'aklah mbak. Candra g'ak pernah menyesal menikahi Tasya", Candra langsung menjawab sengit.

"Terus...? Kenapa kamu malah jadi bimbang sekarang, setelah ketemu lagi sama Wulan...? Kamu masih berharap sama Wulan...?", Sinta kembali menyelidiki.

"G'aklah mbak, mbak ngacok aja kalau ngomong. Candra udah nikah sama Tasya, ya kali Candra masih mengharapkan kembali lagi sama Wulan", Candra segera menjawab dengan satu nafas.

"Terus... Apa yang jadi beban pikiran kamu dek...?", Sinta kembali bertanya.

"Saat Candra tinggalin, Wulan nangis mbak. Candra... Awalnya berpikir, dengan Candra meninggalkan Wulan hanya dengan selembar surat, Wulan akan sakit hati, dan... Akan segera mencari pengganti Candra.

Ternyata... Dia bertahan sejauh ini, hanya untuk mendengarkan jawaban, yang ujung-ujungnya hanya akan nyakitin dia saja mbak. Candra hanya g'ak habis pikir saja sama Wulan", Candra bicara dengan nada putus asa.

"Itu hidupnya sendiri dek, biarkan dia yang menulis kisahnya sendiri mau seperti apa. Kalau akhirnya dia memilih untuk mengejar jawaban, dan terluka. Itu resiko yang harus dia terima. Tapi... Setidaknya setelah ini, dia bisa menegakkan kepala untuk menyongsong masa depannya kelak", Sinta berusaha sebaik mungkin memberikan pengertian kepada Candra.