webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · 若者
レビュー数が足りません
251 Chs

Kamu bebas nak

Nanya perlahan duduk, mukanya pucat pasi melihat orang yang baru saja masuk kedalam ruang rawat inap nya. Cakya memilih untuk berdiri, memberikan ruang kepada orang-orang yang baru saja masuk untuk lebih dekat dengan Nanya.

"I... Ibuk...", Nanya bicara dengan terbata, Nanya mengulurkan tangan kanannya untuk menyalami punggung tangan wanita setengah baya yang ada dihadapannya.

Wanita setengah baya itu langsung menarik Nanya kedalam pelukannya.

"Ibuk udah dengar semuanya nak, maaf... Selama ini ibuk buta dengan perlakuan putra ibu sendiri, sampai kamu harus menderita seperti ini...", wanita setengah baya itu bicara lirih.

Wanita setengah baya itu melepaskan pelukannya, menghapus lembut air mata Nanya.

Nanya mengerutkan keningnya, karena tidak mengerti dengan ucapan wanita setengah baya yang ada di hadapannya ini.

Wanita setengah baya itu meraih jemari tangan kiri Nanya, kemudian dengan lembut membuka cincin yang melingkar di jari manis Nanya.

"Ibuk...", Nanya bertanya bingung.

"Mulai hari ini, kamu bukan tunangannya Dimas lagi. Pernikahan dibatalkan. Kamu bebas nak...", perempuan setengah baya itu bicara dengan suara tercekat. Air matanya mengalir dengan derasnya.

"Ibuk... Nanya...", suara Nanya menghilang ditelan tangisnya.

"Dwi sudah cerita semuanya. Bagaimana kurang ajarnya Dimas sama kamu nak. Maafkan ibuk nak, selama ini tidak tahu akan hal ini. Karena ibuk, kamu harus menjalani semua penderitaan ini", wanita setengah baya itu bicara dengan rasa bersalah yang memuncak.

"Nanya g'ak apa-apa buk, Nanya baik-baik saja", Nanya bicara lirih, menghapus pelan jejak air mata di pipi wanita setengah baya yang ada di hadapannya.

Lelaki yang rambutnya mulai memutih meletakkan jemari tangan kanannya diatas kepala Nanya, "Pergilah nak, kamu bebas sekarang. Kejar kebahagiaan kamu sendiri", lelaki yang rambutnya mulai memutih angkat bicara kali ini, memberikan restu kepada Nanya.

Nanya meraih tangan tua yang ada di atas kepalanya, kemudian menciumnya penuh rasa takzim. "Terima kasih pak...", Nanya bicara lirih, air matanya kembali mengalir tanpa permisi.

***

Wulan melangkah perlahan menyusuri lorong kantor, setelah tiba di depan pintu yang bertuliskan ruang direktur utama. Wulan mengetuk perlahan daun pintu.

"Masuk...!!!", terdengar suara Candra setengah berteriak dari dalam ruangan.

Wulan membuka daun pintu dengan perlahan, kemudian melangkah masuk menghampiri meja Candra.

Candra masih sibuk dengan berkas-berkas yang bertumpuk diatas meja. "Mbak, kita berangkat habis makan siang saja. Masih ada yang harus Candra periksa", Candra bicara pelan, tetap fokus pada pekerjaannya.

"Ada yang bisa saya banting atau perlu saya bantai pak Direktur...?", Wulan bicara pelan, dengan tangan disilang didepan dadanya.

Candra menghentikan pekerjaannya, dengan kaget mengangkat tatapannya menuju kursi yang ada dihadapannya.

"Astagfirullah... Kamu Wulan...?", Candra melemparkan senyuman terbaiknya, kemudian bersandar di punggung kursi, melepaskan kacamatanya, kemudian melemparkan asal keatas meja.

"Sejak kapan Wulan jadi mbak-mbak...?", Wulan kembali bertanya, dengan tangan yang masih menyilang didepan dadanya.

Candra tersenyum lembut sebelum angkat bicara, "Kenapa Wulan ada disini...?", Candra malah balik bertanya.

"Mama minta Candra makan malam dirumah nanti", Wulan bicara pelan.

Candra mengerutkan keningnya. "Tapi... Candra...", Candra tidak bisa melanjutkan ucapannya, karena Wulan sudah menyela.

"Bang Cakya mau ketemu", Wulan kembali melanjutkan ucapannya.

Candra tidak tahu harus merespon apa.

"Jangan terlambat, jam 7 udah dirumah", Wulan memberikan ultimatum, kemudian beranjak dari tempat duduknya.

"Wulan mau kemana...?", Candra bertanya bingung.

"Pulang, mau istirahat, habis ngantar si bungsu kesekolah", Wulan menjawab santai.

"Sebentar, Candra antar", Candra segera meraih kunci mobilnya.

Wulan menahan jemari tangan Candra yang sudah meraih kunci mobil diatas meja kerjanya.

"G'ak perlu, Wulan bisa sendiri", Wulan bicara lembut.

"Tapi...", Candra berusaha protes.

Wulan tersenyum lembut, "Wulan bawa motor, lagian Candra lagi banyak kerjaan di kantor. Jangan terlambat nanti malam", Wulan kembali mengingatkan, kemudian berlalu meninggalkan Candra.

***

Setelah kepergian pengunjungnya, Nanya hanya tinggal berdua dengan Cakya didalam ruangan rawat inap.

Nanya berusaha meraih gelas yang ada dimeja kecil disampingnya, Cakya sigap membantu Nanya mengambil gelas.

"Terima kasih", Nanya bicara lirih, kemudian langsung mengosongkan isi gelas tersebut.

Cakya kembali meraih gelas yang telah kosong dari tangan Nanya, meletakkan dengan hati-hati ketempat semula, setelah mengisi penuh gelas itu kembali.

Nanya tiba-tiba menangis sejadi-jadinya.

Cakya langsung menghampiri Nanya, "Ibuk kenapa...? Ada yang sakit...? Apa perlu saya panggilkan dokter...?", Cakya bertanya panik.

Nanya menggeleng perlahan, "Akhirnya, setelah bertahun-tahun, Allah memberikan jalan atas penemuan penderitaan yang saya alami selama ini", Nanya bicara lega.

Nanya merasa semua beban yang ada dipundaknya telah lenyap begitu saja. Dadanya terasa lega, seolah oksigen yang selama ini hanya sampai ketenggorokannya saja mengalir sempurna masuk kedalam paru-parunya.

Terdengar suara ketukan pintu, sesaat kemudian Dwi muncul dari balik pintu.

"Ibuk dan bapak sudah pulang...?", Nanya langsung melemparkan pertanyaan pertamanya begitu melihat Dwi.

"Udah yuk...", Dwi duduk dibangku yang ada di samping tempat tidur Nanya. (Yuk/Ayuk:sebutan untuk kakak perempuan di Jambi)

"Kalau begitu saya permisi buk", Cakya mohon diri.

"Oh ya, mana revisi proposalnya...?", Nanya langsung menagih, karena menebak Cakya mencarinya untuk menyerahkan hasil revisi proposalnya.

"Nanti saja, setelah ibu pulih. Assalamu'alaikum", Cakya bicara pelan, kemudian berlalu meninggalkan ruangan Nanya.

"Wa'alaikumsalam...", Nanya dan Dwi menjawab hampir bersamaan.

"Siapa yuk...?", Dwi bertanya kepo setelah Cakya tidak terlihat lagi.

"Mahasiswa bimbingan", Nanya menjawab asal, kemudian kembali berbaring diatas tempat tidur dibantu oleh Dwi.

"Kenapa kamu balik lagi dek...?", Nanya bertanya bingung, karena perkiraan Nanya, Dwi akan ikut pulang bersama orang tua dan kakak sulungnya.

"Cari aman", Dwi menjawab asal, kemudian berbaring di sofa yang tidak jauh dari tempat tidur Nanya.

"Maksudnya...?", Nanya bertanya bingung.

"Ibuk lagi kalab, paling ntar murka sampai dirumah. Mending Dwi disini aja", Dwi menjawab pelan.

"Murka...? Kok bisa...?!", Nanya masih tidak mengerti dengan ucapan Dwi.

"Tadinya ibu sama bapak ngajakin kesini mau ngejenguk ayuk, karena tahu dari tetangga katanya ayuk dilarikan kerumah sakit tadi pagi. Pas nyampe disini, bang Dimas lagi di introgasi sama satpam. Setelah nego, bang Dimas akhirnya dibebaskan.

Saat mau masuk ke ruangan, ibu berhenti karena mendengar percakapan ayuk sama mahasiswa yuk Nanya.

Ibuk marah besar, bahkan tadi bang Dimas dapat sepasang tamparan pas di parkiran.

Paling bang Dimas nanti di kirim kembali ke Singapura sama ibuk", Dwi menjelaskan panjang lebar.

"Ya Allah... Kasihan bang Dimas, Dwi...", Nanya tiba-tiba merasa kasihan dengan Dimas.

"Ayuk ni aneh, orang camtu kelakuannyo masih jugo dibela. Dak pacaklah yuk", Dwi bicara kesal karena kebaikan Nanya. (Kakak ini aneh, orang sudah seperti itu perlakuannya masih saja dibela. Tidak pantaslah kak)

"Walau bagaimanapun, dia tetap abang kamu dek", Nanya mengingatkan.

"Biar raso tu orang, kelakuan kek gitu. Paling dicabutlah fasilitas samo bapak ibuk, nak apo cubok tu orang dak beduit", Dwi masih saja menumpahkan kekesalannya terhadap kakak sulungnya. (Biar dia rasakan, sikapnya seperti itu. Nanti akan ditarik kembali fasilitas sama Bapak dan ibu, bisa apa dia tanpa uang)