webnovel

Iya

Erfly mengangkat telfon yang masuk ke HPnya.

"Iya ko, kenapa...?", Erfly bicara pelan, sembari memasukkan makanan kedalam mulutnya.

"Kamu dimana...?"

"Sekolah"

"Pagi bener...?"

"Kenapa...?"

"Koko baru mau jemput kamu, sekalian nyari sarapan di jalan"

"Erfly udah sarapan di sekolahan"

"Ya udah, ntar pulang sekolah koko jemput"

"Iya"

Erfly kembali memasukkan HPnya kedalam tas, setelah memindahkan ke mode getar. Erfly masih konsentrasi penuh menghabiskan makanannya.

Cakya malah malas-malasan menghabiskan makanannya. Entah kenapa ada rasa aneh yang terlintas dalam hatinya.

Gama masuk kedalam kelas, langsung duduk dihadapan Erfly. Gama menyerahkan kunci motor Erfly.

"3 hari di cariin juga", Gama bicara kesal.

Erfly malah nyengir kuda.

Gama merebut sendok dari tangan Erfly, kemudian memasukkan suapan sendok penuh nasi goreng kedalam mulutnya.

***

Sinta kembali ke rumah tahanan menjenguk Candra. Kali ini dia membawa semua pesanan Candra. Bahkan Sinta tidak lupa membawa sop buntut, capcay seafood goreng dan es lemon tea kesukaan Candra.

Cakya menyalami, dan mencium punggung tangan Sinta. "Assalamualaikum", Sinta bicara disela senyumnya. "Wa'alaikumsalam mbak", Candra menjawab santun kemudian duduk dihadapan Sinta.

Sinta langsung mempersilakan Candra makan, makanan yang dibawa Sinta sudah tertata rapi di atas meja, Candra tidak protes sama sekali.

"Bagaimana kabar kamu dek...?", Sinta bertanya prihatin melihat keadaan Candra yang harus tinggal di rutan.

"Alhamdulillah baik mbak, Candra berusaha ikhlas mbak. Semua ini buah dari perbuatan Candra sendiri", Candra menjelaskan.

"Yang kuat dek", Sinta menepuk-nepuk pelan pundak Candra.

"Terima kasih mbak", Candra menjawab pelan, kemudian memasukkan suapan penuh kedalam mulutnya.

"Mama kamu semalam telfon, dia titip salam sama kamu. Dia minta maaf, belum bisa jenguk kamu dalam waktu dekat"

"G'ak apa-apa mbak"

"Mbak dengar dari pengacara ayah kamu, hakim sudah ketuk Palu. Surat cerai dalam proses dek"

Candra tidak merespon, dia masih berkonsentrasi menghabiskan makanannya. Entah tidak peduli, atau malah terlalu kecewa dengan keputusan egois orang tuanya.

"Oh ya, bagaimana kamu didalam...? Ada yang ngejahilin kamu g'ak...?"

"G'ak mbak, Candra baik-baik saja. Mbak g'ak usah khawatir"

"Dek, mbak bawa pesanan kamu. Ada sarung, peci, sajadah, ada baju koko dan ada Al-qur'annya mbak juga didalam tas", Sinta menggeser tas kertas yang dibawanya sedari tadi kehadapan Candra.

Candra melihat sekilas kepada tas tersebut, "Terima kasih mbak, Candra sudah banyak ngerepotin mbak", Candra bicara tidak enak.

"Ada yang kamu butuhkan, kamu tinggal bilang saja sama mbak", Sinta kembali mengingatkan Candra kalau dia tidak sendirian.

Candra hanya mengangguk pelan, tetap konsentrasi menghabiskan makanannya.

***

Saat jam istirahat sekolah. Erfly masih duduk di bangkunya, tidak berniat untuk beranjak pergi.

Cakya malah asik memetik segar gitarnya, mengeluarkan alunan sendu seperti biasanya.

Erfly melemparkan tatapannya kesegala penjuru kelas, setelah yakin tidak ada siapa-siapa Erfly mulai angkat bicara. Karena Erfly yakin, kalau ada orang Cakya tidak akan mau menjawab pertanyaannya.

"Cakya... ", Erfly bicara pelan menatap kearah Cakya yang masih fokus dengan gitarnya.

" Hem... ", Cakya menjawab santai, tetap memetik gitarnya. Bahkan dia tidak mengalihkan tatapannya dari senar gitar yang dipetiknya.

"Waktu kamu tidak masuk Mayang banyak cerita tentang Cakya", Erfly bicara antusias.

"Mayang...?", Cakya bertanya bingung.

"Itu, gadis rambut panjang. Yang duduk di pojokan belakang", Erfly menunjuk bangku Mayang yang ada di sudut kelas.

"O... ", jawab Cakya acuh, tangannya kembali memetik gitar dalam pelukannya.

"Katanya Cakya satu SMP sama dia ya...?"

"Emang iya...? Cakya g'ak pernah ingat"

"Ish... Cakya ini. Belum tua udah pukun. Malah katanya, Cakya pernah nolongin dia pas dikunciin di gudang waktu SMP"

"Gadis culun kuncir kuda"

"Iya, malah katanya Cakya belain dia dari teman-teman yang ngebuly dia. Bahkan Cakya mengancam mereka mau dilaporin kepsek segala. Sejak saat itu, dia g'ak pernah dibuly lagi sama teman-temannya"

"Hem... Jadi... Maksud Erfly cerita ini ke Cakya apa...?"

"Menurut Cakya Mayang cantik g'ak...?"

"Kalau ganteng mah cowok atuh neng"

"Erfly serius ini"

"Cakya juga serius. Langsung saja, Erfly jangan mutar-mutar ngomongnya. Ada apa sebenarnya...?", Cakya menatap wajah Erfly menagih jawaban yang masuk akal kali ini.

Erfly menundukkan kepalanya, tidak berani menatap mata Cakya. "Sepertinya... Mayang naksir Cakya", Erfly bicara lirih.

"Terus...?", Cakya bertanya sewot.

"Kita kan temen, jadi...", ucapan Erfly tepotong, karena Cakya sudah menyela.

"Temen...? Kita temen...?", Cakya bertanya heran dengan deklarasi Erfly barusan.

"La... Lalu...?", Erfly bertanya bingung.

"Udahlah", Cakya menjawab kesal.

Cakya kembali memetik gitarnya. Cakya bersenandung pelan, kali ini lagunya Melly Goeslow yang dapat giliran.

'Hanya dengan sedikit malu, akhirnya aku harus akui, keberadaan cintamu, dalam hatiku yang kau singgahi

Rasa resah singgah, bila terjadi perang, emosi kau dan aku

Jangan pernah mengaku cinta, bila tak mengerti maknanya cinta, satu terindah dalam diriku, kini ada dijiwamu

Ku inginkan cerita cinta, terindah bagaikan dalam dongeng, percintaan berhujankan rindu, asmara kita akankah lama'

Cakya menghentikan permainan gitarnya, kemudian bersandar di punggung kursi.

"Cakya... Erfly...", kata-kata Erfly kembali terputus, kali ini Cakya malah berlalu pergi meninggalkan Erfly dan gitar kesayangannya.

***

"Mbak... ", Candra bicara lirih, kepalanya tertunduk tidak berani menatap Sinta.

"Kenapa dek...?", Sinta menjawab lembut, melemparkan senyuman terbaiknya kepada Candra.

"Apa mungkin Candra masih punya masadepan setelah keluar dari sini...?"

"Hei... Kamu bicara apa dek"

"Masyarakat kita g'ak pernah bisa menerima orang-orang seperti Candra"

"Dek... Kamu masih muda, kamu masih punya masadepan. Hidup kamu masih panjang, mbak yang akan jamin hal itu dek"

"Tapi... Apa mungkin mbak...?"

Sinta menggenggam tangan Candra, memberi kekuatan kepada Candra. "Dek... Kamu g'ak sendirian. Umur kamu malah sekarang belum genap 18 tahun, mbak akan usahakan keringanan hukuman buat kamu. Bila perlu mbak akan temui pak Jendral. Kamu jangan takut dek", Sinta meyakinkan Candra.

"Buat apa mbak...? Orang tua Candra saja tidak perduli lagi sama Candra"

"Hei... Ada mbak disini, berapa kali mbak harus bilang. Kamu g'ak sendiri melewati ini semua. Ingat itu"

"Candra tidak tahu harus berterima kasih sama mbak kayak gimana caranya"

"Cukup kamu jadi adik mbak yang baik", Sinta mengacak rambut Candra sambil tersenyum.

Candra pamit, setelah waktu kunjungan habis.

Sinta seperti biasa memeluk Candra sebelum melepaskan kepergian Candra. "Kamu yang kuat dek", Sinta menyampaikan pesannya setiap kali berpisah dengan Candra.

Saat Candra telah menghilang dari pandangan Sinta, Sinta menemui kepala rutan.

"Ada apa ibu mau bertemu saya...?", kepala rutan bertanya bingung saat melihat sekretaris Pak Wiratama ada dihadapannya.

"Saya mau minta tolong sesuatu"

"Apa...?"

Sinta menyerahkan kartu nama kehadapan kepala rumah tahanan. "Itu nomor saya, kalau Candra butuh apa-apa. Atau terjadi apa-apa sama Candra tolong hubungi saya", Sinta bicara dengan sepenuh hati.

"Ini perintah dari pak Wiratama...?", lelaki setengah baya itu mencoba menebak. Wajahnya terlihat kurang bersahabat menatap Sinta dengan aura permusuhan.

"Bukan pak, anda salah, justru ini murni permintaan saya atas nama pribadi. Candra sudah seperti adik buat saya", Sinta mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam tasnya. Kemudian menyodorkan kehadapan kepala rutan. Sebenarnya itu bukan hanya sekedar sebungkus rokok semata, didalamnya Sinta sudah mengeluarkan beberapa batang rokok, kemudian menyelipkan beberapa lembar uang seratus ribuan. "Hanya sekedar teman ngopi pak", Sinta bicara pelan.