Mata Erfly perlahan terbuka, tatapannya langsung melihat kiri kanan. Erfly menatap infus yang terpasang menembus urat nadinya.
"Kamu udah bangun dek...?", Alfa muncul dari balik pintu kamar, membawa semangkuk bubur ayam dan segelas air putih hangat.
Erfly berusaha keras untuk bangun, Alfa segera meletakkan barang bawaannya keatas meja kecil disamping tempat tidur. Kemudian membantu Erfly untuk bersandar dikepala tempat tidur.
"Pakai diinfus segala, lebay amat Ko", Erfly bicara santai.
Alfa segera meraih gelas yang berisi air hangat, kemudian menyerahkan ketangan Erfly.
Erfly meminum air tanpa protes.
"Manis ko", Erfly bicara pelan.
Alfa kehabisan kata-kata untuk menjawab ucapan Erfly, padahal itu hanya segelas air putih hangat. Harusnya rasanya tawar, bukannya manis.
Erfly meletakkan gelas ketempat semula, Alfa meraih makuk bubur.
"Bisa makan sendirikan...?", Alfa bertanya pelan.
Erfly mengangguk pelan, "Erfly bukan anak kecil kali Ko", Erfly menjawab asal, kemudian meraih mangkuk pemberian Alfa.
"Pelan-pelan aja dek", Alfa bicara lembut.
Erfly memasukkan suapan penuh kedalam mulutnya.
"Kamu kenapa dek...?", Alfa bertanya lembut.
"G'ak apa-apa ko, ada kerjaan kantor aja yang g'ak bisa ditunda", Erfly bicara pelan, kembali memasukkan suapan penuh kedalam mulutnya.
"HP Erfly dimana ko...?", Erfly melirik kiri kanan.
"Udah dijual buat bayar infus kamu", Alfa menjawab asal.
Erfly tidak berani bertanya lagi, karena tahu kalau Alfa tidak akan memberikan HP miliknya sebelum keadaannya kembali pulih.
***
Nadhira mengetuk pintu, saat pintu dibuka oleh Salwa, Nadhira langsung melangkah masuk kedalam rumah, berniat menuju ruang kerja Erfly.
"Ilen masih di ruang kerja mbak...?", Nadhira bertanya tanpa mengurangi kecepatan langkahnya.
"Dikamar teh, tadi... Pingsan", Salwa menjawab pelan.
Nadhira spontan menghentikan langkahnya, kemudian menatap kearah Salwa.
"Kenapa...?", Nadhira bertanya cemas.
"Tadi... Kata dokter Alfa kecapean, sekarang lagi di infus dikamarnya", Salwa menjawab apa adanya.
Nadhira mengurungkan niatnya menuju ruang kerja Erfly, Nadhira menyerahkan tas dan berkas-berkas yang dia bawa ketangan Salwa.
"Minta tolong taro diruang kerjanya Ilen mbak, saya mau lihat keadaan Ilen dulu", Nadhira memberi perintah, sebelum meninggalkan Salwa.
Nadhira melangkah perlahan menghampiri kamar Erfly. Sebelum Nadhira masuk, Alfa sudah menghadang dengan membawa makuk dan gelas kosong.
Nadhira menatap Erfly dari jauh. "Bagaimana keadaannya...?", Nadhira bertanya pelan, tidak mau menganggu istirahat Erfly.
"Baru saja tidur", Alfa menjawab pelan, kemudian menuju arah dapur, meletakkan piring dan gelas kotor ketempat cucian piring.
"Ilen kenapa...?", Nadhira kembali mengejar jawaban.
Alfa duduk sambil menenggak minuman yang baru saja diisinya ke gelas.
"Kecapean, makanya Alfa infus. HPnya juga Alfa tinggalin di ruang kerja, biar dia bisa istirahat total", Alfa memaparkan keadaan Erfly.
Alfa melihat jam tangannya, "Alfa ada janji kontrol pagi ini, Alfa titip Erfly. Kalau ada apa-apa hubungi Alfa", Alfa mohon diri menuju tempat prakteknya.
Nadhira mengeluarkan HP dari saku celananya, menelfon salah satu nomor yang ada di HPnya.
"Assalamu'alaikum...", terdengar suara berat lelaki dari ujung lain telfon.
"Wa'alaikumsalam... Kamu apa kabar...?", Nadhira bertanya lembut.
"Alhamdulillah... Cakya sehat teh", lelaki dari ujung lain telfon menjawab pelan.
Nadhira diam sejenak, dia berpikir keras apa keputusannya menelfon Cakya saat ini benar atau tidak.
"Ada apa teh...?", Cakya langsung bertanya gelisah, menunggu ucapan Nadhira selanjutnya.
"I... Len... Sakit", Nadhira bicara terbata.
"Innalilahi, sakit apa...?", Cakya bertanya cemas.
"Ilen hanya butuh istirahat", Nadhira menjawab lirih.
Tidak ada suara yang terdengar.
"Tadi... Dia udah di infus sama Alfa, dan... Sekarang lagi istirahat", Nadhira kembali menambahkan.
"Titip Erfly teh", Cakya bicara lirih.
"Ya udah gitu aja. Teteh harus ngecek laporan", Nadhira bicara pelan.
"Iya teh, terima kasih teh", Cakya bicara pelan.
"Assalamu'alaikum...", Nadhira mengakhiri hubungan telfon.
"Wa'alaikumsalam...", Cakya menjawab pelan, sesaat sebelum hubungan telfon terputus.
***
Cakya duduk melamun diteras rumahnya.
"Abang kenapa ma...?", Wulan bertanya bingung, karena melihat Cakya yang uring-uringan.
"G'ak tahu, dari pagi pas pulang udah kayak gitu aja", ibu Cakya menjawab dengan bisik-bisik agar tidak terdengar oleh Cakya.
"Candra... Coba samperin boleh...?", Candra menawarkan untuk menemani Cakya.
"Ya udah sana, tapi... Hati-hati", Wulan memberi peringatan.
"Kenapa...?", Candra bertanya bingung.
"Bang Cakya kalau lagi galau, suka galak, doyan nyakar", Wulan tertawa kecil.
Spontan saja ibu Cakya mencubit lembut perut putrinya.
Candra melangkah dengan hati-hati menuju teras rumah. Cakya masih asik menghisap dalam rokok yang diselipkan disela jemari tangannya.
"Boleh... Candra duduk...?", Candra bertanya sopan.
Cakya memberi isyarat agar Candra duduk disampingnya. Cakya menyodorkan bungkus rokok kehadapan Candra.
Candra mengambil satu batang rokok, dengan gerakan halus membakar ujung rokok. Candra menghisap rokoknya pelan, agar lebih tenang menghadapi Cakya.
Belum juga Candra memulai topik pembicaraan, HP Candra berbunyi. Candra menerima telfon yang masuk, setelah diam beberapa saat kemudian Candra mengakhiri hubungan telfon.
"Iya pak g'ak apa-apa, semoga lekas sembuh. Ntar Candra cari supir pengganti saja untuk mengantar Candra selama di Garut", ucapan terakhir Candra langsung menarik minat Cakya.
"Candra mau ke Garut...?", Cakya bertanya dengan penuh antusias.
"Rencananya iya, mau berangkat siang ini. Tapi... Kayaknya Candra harus tunda dulu, susah kalau nyari supir pengganti dadakan begini", Candra menjelaskan sekenanya.
"Ke Garut naik mobil...?", Cakya kembali bertanya.
"G'ak lah, mana kuat Candra. Udah sewa helikopter dari bandara Hiang", Candra menjelaskan.
"Terus...? Itu supir buat apaan...?", Cakya bertanya bingung kali ini.
"Cakya ada kerjaan di Garut beberapa hari, dan... Rada repot aja kalau g'ak ada supir disana", Candra menjelaskan perlahan.
"Gimana kalau Cakya yang jadi supir pengganti", Cakya tiba-tiba menawarkan diri.
"Hah...? Cakya...? Candra... G'ak enak", Candra bicara sungkan.
"Lho, kenapa...?", Cakya bertanya bingung mengejar jawaban.
"Candra akan sering tinggal-tinggal Cakya nantinya, takutnya Cakya malah bosan", Candra bicara ragu.
"Sekalian Cakya mau ambil data di pabrik dodol. Buat bahan skripsi", Cakya kembali menimpali.
"O... Kalau gitu g'ak apa-apa. Sambil menyelam, minum susu", Candra tertawa renyah.
Wajah Cakya langsung berbinar begitu mendapat persetujuan dari Candra.
***
Gama segera menutup buku, berniat untuk segera meninggalkan kelas. Akan tetapi saat ingin melewati meja dosen, Gama ditahan oleh bu Nanya.
"Sebentar Gam", bu Nanya bicara pelan, sembari merapikan buku-bukunya.
"Ada apa buk...?", Gama bertanya sopan.
"Em... Cakya kemana...? Tumben dia tidak masuk kelas hari ini", bu Nanya langsung bertanya pada intinya.
"Maaf... Saya g'ak tahu buk, saya belum ketemu Cakya sejak dia sibuk skripsi", Gama bicara polos.
"Skripsi...? Cakya udah mulai garap...?", bu Nanya bertanya bingung. Karena Cakya sudah lama tidak pernah datang menemuinya untuk membahas proposal untuk skripsinya, sejak Dimas meninggal dunia. Padahal tak terhitung berapa kali bu Nanya menagih revisi proposal Cakya.