webnovel

Erfly masih belum sadarkan diri

Candra masih berbaring diatas tempat tidur. Wajahnya masih terlihat pucat, ini bahkan sudah infus ke 4 yang dia habiskan. Bahkan Alfa harus menambah transfusi darah.

"Kantor bagaimana mbak...?", Candra bertanya lemah.

"Kamu g'ak usah mikir kerjaan dulu dek, kamu pulih dulu, ntar bahas kerjaan", Sinta menjawab santai.

"Kasian mbak, pegawai dipotong gajinya tiap bulan. Candra merasa zalim sama mereka semua", Candra mulai protes.

"Mbak sudah ke kantor, dan sampai sekarang Kepala cabang belum muncul. Mbak sudah minta sekretarisnya untuk menelfon, mbak tunggu dia di kantor besok pagi", Sinta menjelaskan panjang lebar.

"Kelanjutan audit keuangannya bagaimana mbak...?", Candra kembali bertanya.

"Mbak sudah dapat salinan keuangannya, menurut bendahara kantor, selisih uangnya langsung masuk ke rekening pimpinan cabang", Sinta menjelaskan perlahan.

Candra memijit kepalanya yang terasa pusing, "Sudah berapa lama mbak...?", Candra kembali bertanya.

"Sudah hampir 6 bulan", Sinta menjawab dengan suara paling rendah.

"Astagfirullah...", Candra mengusap kasar mukanya.

"Lalu apa langkah kamu selanjutnya...?", Sinta kembali bertanya.

"Untuk langkah awal Candra mau ketemu sama pimpinan cabangnya mbak, kalau sampai besok siang dia tidak muncul, keluarkan surat pemecatan untuk pimpinan cabang. Buat laporan ke kantor polisi, masukkan dia ke DPO", Candra bicara dengan nada paling rendah.

Sinta segera mencatat perintah Candra.

"Selanjutnya Candra ingin bertemu dengan semua pegawai, Candra minta tolong siapkan makan siang untuk semua pegawai besok siang", Candra bicara pelan.

"Baik, kamu g'ak perlu khawatir", Sinta bicara dengan keyakinan. "Ada lagi...?", Sinta kembali bertanya.

"Untuk sementara itu dulu mbak", Candra kembali merubah posisinya agar lebih nyaman.

"Ya udah, kamu istirahat dek. Mbak keluar dulu, kalau perlu apa-apa kamu panggil mbak saja", Sinta bicara pelan.

"Terima kasih mbak", Candra bicara lirih.

Sinta langsung mengacak rambut Candra, kemudian berlalu keluar dari ruang rawat inap Candra.

Sinta duduk tepat dihadapan Cakya yang sedang menghisap dalam rokok yang berada disela jemari tangannya.

"Cakya, kafe ini punya dokter Alfa atau bagaimana...?", Sinta bertanya pelan.

"Adik angkatnya Alfa, Erfly...", Cakya menjawab santai, kembali menyeruput kopinya.

"Kira-kira mereka bisa terima pesanan untuk ketringan g'ak...?", Sinta bertanya sanksi.

"Mbak coba tanya saja sama managernya, mau Cakya panggilin...?", Cakya langsung menawarkan.

"Boleh kalau bisa", Sinta menjawab antusias.

"Sebentar mbak", Cakya segera berlalu dari hadapan Sinta.

***

Nadhira masih mondar-mandir seperti setrikaan. Wajahnya sangat terlihat cemas memikirkan keadaan Erfly, sudah hampir setengah jam tidak ada satupun yang keluar dari ruang IGD.

"Duduk biar tenang", Gama berusaha memberi saran, kepala Gama tiba-tiba pusing melihat Nadhira yang mondar-mandir tepat dihadapannya.

Sinta tidak punya pilihan lain selain duduk disamping Gama.

"Kok Erfly bisa disini...? Bukannya Cakya sedang di Garut...?", Gama membuka topik pembicaraan agar mengalihkan kecemasan Sinta.

"Ada pekerjaan yang harus dikerjakan oleh Erfly. Bahkan kita berangkatnya juga mendadak", Nadhira menjelaskan secara garis besar.

"Kerjaan...?", Gama menekankan inti ucapan Nadhira.

HP Nadhira tiba-tiba berbunyi.

"Sebentar", Nadhira mohon diri menjauh dari Gama untuk mengangkat telfon.

"Alfa...", Nadhira langsung menyerbu begitu menerima telfon.

"Disana ada siapa...?", Alfa bertanya masih dengan ketenangan yang sama.

"Ada Gama...", Nadhira menjawab pelan, kemudian menatap ke arah Gama sekilas.

"Nadhira sudah menelepon Cakya memberitahukan kalau Erfly masuk rumah sakit...?", Alfa bertanya dalam satu nafas, berusaha mengorek informasi.

"Belum, saya panik. Yang terpikir hanya menelepon dokter saja", Nadhira bicara jujur apa adanya.

"Bagus. Nadhira dengar saya baik-baik. Keadaan Erfly cukup gawat. Erfly masih belum sadarkan diri. Saya sudah kontak teman saya disana, Erfly akan dipindahkan ke Bali. Saya takut terjadi masalah dengan jantungnya. Nadhira tetap tenang, jangan beritahu siapapun untuk saat ini", Alfa bicara kata perkata dengan sangat hati-hati.

"Iya dok...", Nadhira menangis tidak mampu menahan air matanya lagi.

"Nadhira harus kuat, karena hanya Nadhira yang Erfly punya disampingnya saat ini", Alfa kembali mengingatkan Nadhira.

"Baik dok", Nadhira bicara pelan.

"Bisa saya bicara dengan Gama sebentar...?", Alfa kembali bertanya.

Nadhira melangkah menghampiri Gama, kemudian memberikan HP kepada Gama.

"Dokter Alfa ingin bicara", Nadhira bicara lirih, kemudian menghapus jejak air matanya.

Gama menerima HP pemberian Nadhira.

"Iya dok...", Gama bicara pelan, sama halnya dengan Alfa, Gama memiliki tingkat ketenangan yang sama saat semua orang panik, dia masih bisa berpikiran jernih.

"Keadaan Erfly g'ak terlalu baik, seharusnya dia ada pemeriksaan rutin besok. Akan tetapi malah ke Sungai Penuh tanpa sepengetahuan saya. Kalau bisa Alfa boleh minta tolong...?", Alfa bertanya dengan nada paling pelan.

"Iya dok...", Gama menjawab dengan kata yang sama seperti sebelumnya.

"Tolong rahasiakan keadaan Erfly saat ini. Sampai nanti Erfly bisa pulih kembali seperti semula", Alfa bicara penuh harap.

Gama diam sejenak sebelum menjawab permintaan Alfa, "Baik dok", Gama menjawab pelan.

"Terima kasih Gam...", Alfa bicara sesaat sebelum memutuskan hubungan telfon.

Gama kembali menyerahkan HP ketangan Nadhira.

Hanya hitungan detik HP Gama berbunyi, Gama mengangkat telfon, hanya diam, detik berikutnya Gama memutuskan hubungan telfon.

"Maaf, saya harus pulang sebentar. Nanti setelah isya InsyAllah saya kembali lagi", Gama bicara pelan kepada Nadhira.

Nadhira hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.

Menit berikutnya dokter Firman keluar dari IGD, Nadhira segera menghampiri dokter Firman.

"Bagaimana keadaan Ilen dokter...?", Nadhira bertanya cemas.

"Sampai saat ini pasien belum sadarkan diri. Saya sudah konfirmasi dengan dokter Alfa, kita akan pindahkan pasien sebentar lagi. Kalau begitu saya permisi...", dokter Firman bicara panjang lebar.

"Terima kasih dokter", Nadhira mengucapkan terima kasih kepada dokter Firman dengan air mata yang mengalir deras.

Seorang lelaki menghampiri Nadhira, "Maaf, anda Nadhira...?", lelaki itu bertanya dengan nada suara yang tegas.

"Iya, saya Nadhira", Nadhira bicara dengan raut muka yang bingung. Nadhira tidak yakin dia pernah bertemu lelaki ini dimana.

"Helikopter sudah siap, kita akan melakukan perpindahan pasien saat ini juga", lelaki itu bicara dengan tegas.

"Tapi... Gama...", Nadhira tidak bisa menyelesaikan ucapannya karena panggilan Alfa masuk kedalam HPnya.

"Iya...", Nadhira bicara pelan, setelah menekan tombol untuk menerima telfon.

"Nadhira dampingi Erfly, helikopter sudah menunggu diatap rumah sakit", Alfa memberi perintah.

"Gama...", Nadhira tidak melanjutkan ucapannya, karena Alfa sudah menyela.

"Gama sudah saya beritahu", Alfa bicara dengan nada tercekat.

Detik berikutnya, tidak ada suara lagi dari ujung lain telfon. Nadhira segera memasukan HP kedalam kantong celananya. Erfly didorong dengan menggunakan kursi roda menuju atap rumah sakit, lelaki yang sedari tadi ada disamping Nadhira dengan telaten mendorong kursi roda Erfly.

Saat sampai didalam helikopter, semua barang Nadhira dan Erfly yang ada di mobil sudah ada didalam helikopter. Lelaki yang mendorong kursi roda Erfly dengan telaten mengangkat tubuh Erfly, memindahkan agar duduk dengan nyaman didalam helikopter.