webnovel

Dasar bodoh, tidak punya otak

Pak Wiratama memutuskan untuk berhenti mengisi bensin. Setelah mengisi bensin, pak Wiratama memutuskan untuk membeli teh di warung terdekat.

Dirga mengekor ayahnya, kemudian duduk tepat dihadapan ayahnya.

"Kita langsung pulang yah...?", Dirga bertanya bingung melihat ayahnya, tidak biasa-biasanya ayahnya mau mengakui kekalahan semudah ini.

"Iya", pak Wiratama menjawab singkat.

"Apa kita tidak perlu menemui tua Bangka itu lagi...?", Dirga mencoba memberi solusi.

"Diam kamu!!!", suara pak Wiratama terdengar bergetar menahan marah.

"Yah, apa perlu Dirga kerahkan orang-orang Dirga untuk menekan tua Bangka itu?", Dirga masih nyerocos walaupun sudah disuruh diam oleh ayahnya.

Pak Wiratama menyirami muka Dirga dengan sisa teh yang ada digelasnya, airnya tidak terlalu panas hanya saja cukup untuk membuat Dirga berteriak kaget. Dia langsung berlari mencari toilet terdekat, mencuci mukanya dan membersihkan sisa-sisa air teh yang berserakan dimuka dan tangannya.

Setelah selesai, Dirga langsung menuju mobil. Dirga mengambil baju bersih dan berganti pakaian, ayahnya sudah duduk dikursi penumpang. Dirga tidak berani bicara lagi, terlihat jelas ayahnya sedang marah besar, dia tidak mau menjadi pelampiasan kemarahan ayahnya.

Perjalanan cukup panjang, hampir menjelang subuh, pak Wiratama dan Dirga sampai dirumah. Pak Wiratama langsung naik masuk kekamarnya, dilihat tidak ada siapapun disana. Kemudian pak Wiratama menuju arah dapur.

"Bapak mau teh atau kopi...?", kepala pembantu menawarkan.

"Dimana ibuk...?", pak Wiratama bertanya bingung karena tidak melihat istrinya dimanapun.

"Sejak ibu pergi hari itu, ibuk tidak pernah pulang", kepala pembantu bicara takut.

Pak Wiratama langsung membanting apa saja yang bisa diraih disekitarnya, Dirga karena kaget langsung muncul dari arah garasi. Dirga hanya terpaku bisu didaun pintu dapur, tidak berani mendekati ayahnya.

Pak Wiratama masuk keruang kerjanya, tidak ada yang dilakukannya. Dia hanya duduk terpaku dikursi meja kerjanya.

Tepat pukul 08.00 Wib terdengar suara ketukan pintu.

"Masuk...!!!", pak Wiratama bicara setengah berteriak.

Pengacara sekaligus tangan kanan pak Wiratama muncul dari daun pintu. Dengan langkah perlahan, dia mendekati meja kerja pak Wiratama. Pengacara pak Wiratama meletakkan sebuah amplop putih keatas meja, kemudian mendorong kehadapan pak Wiratama.

Muka pak Wiratama langsung pucat pasi, setelah membaca isi kertas yang ada didalam amplop.

"Kapan surat ini datang...?", pak Wiratama bertanya dengan nada paling rendah.

"Saya baru terima sore kemarin, kata Sinta bapak baru pulang dari provinsi pagi ini. Makanya saya langsung kesini", pengacara pak Wiratama bicara dengan nada tercekat karena merasa ketakutan.

Pak Wiratama mengeluarkan HPnya kemudian menelepon sebuah nomor. Percobaan pertamanya gagal karena tidak diangkat, kemudian pak Wiratama kembali mencoba untuk yang kedua kalinya.

"Halo...?", terdengar suara yang sangat familiar ditelinga pak Wiratama, suara wanita yang setia mendampinginya selama ini.

"Mama dimana...?", pak Wiratama bertanya dari nada suaranya terdengar jelas kalau dia sedang putus asa.

"Bandara"

"Mama di Bandara Hiang...?"

"Jambi"

"Mama kok g'ak bilang...? Kan ayah sama Dirga ada di Jambi"

"Kenapa harus...?"

"Ma... Mamakan masih istri ayah"

"Sudah terima surat gugatan cerainya...? Tanda tangani biar bisa diproses cepat"

"Ma...ayah minta maaf kalau ayah ada salah. Ayah..."

"Sudah tidak ada yang perlu kita bahas. Selamat pagi"

Hubungan telfon langsung terputus, "Ma...mama....!!!", pak Wiratama berteriak frustrasi, bahkan dia sampai berdiri dari kursinya.

Dirga masuk kedalam ruang kerja pak Wiratama. "Yah, Dirga harus berangkat ke Jakarta. Ada acara seminar kecantikan yang harus Dirga hadiri", Dirga meminta izin ayahnya.

Pak Wiratama langsung menampar Dirga hingga tersungkur kelantai, "Dasar bodoh, tidak punya otak...!!!", pak Wiratama bicara kesal mengeluarkan sumpah serapahnya.

"Yah... Dirga salah apa...?", Dirga bertanya dengan bingung, dia masih terduduk dilantai masih belum bisa berdiri karena telinganya masih berdengung.

"Candra masih dipenjara, ayah dipecat dari jabatan Walikota, ibu kamu nuntut cerai, perusahaan kacau balau. Kamu malah mau pergi senang-senang dengan wanita tidak bermoral...???!!!!", pak Wiratama kalab, berteriak sekeras yang dia mampu.

"Yah... Ini... Acara resmi peluncuran produk baru merk kosmetik...", Dirga bahkan tidak sanggup menyelesaikan kata-katanya karena asbak dari tanah liat sudah menyerempet keningnya, sebelum mendarat kelantai.

Pelipis Dirga mengeluarkan darah segar. Bahkan dia belum bisa bereaksi, kembali sebuah tamparan mendarat dipipinya.

"Kamu kira ayah terlalu bodoh buat kamu bodohi Hah...!!!", pak Wiratama melemparkan berkas kemuka Dirga yang diambilnya dari laci.

Semua kertas dan foto-foto berceceran di lantai, mata Dirga terbelalak. Dia kaget bagaimana bisa semua data peserta lomba fiktifnya, sekaligus foto-foto dia dengan beberapa cewek penghibur bisa ada ditangan ayahnya.

Jadi selama ini ayahnya sudah memata-matainya tanpa dia sadari. Dan bagaimana Dirga bahkan tidak pernah curiga akan hal itu.

"Yah... Dirga...", Dirga merangkul kaki ayahnya memohon ampun, tubuhnya sudah gemetaran karena merasa ketakutan dengan amarah ayahnya.

"Apa kamu tidak bisa gunakan otak kamu sedikit saja, untuk membantu ayah...? Ini malah adik kamu yang perempuan banting tulang menyelamatkan perusahaan...!!!", pak Wiratama berteriak memaki Dirga, meluapkan semua kekesalannya.

"Dirga mohon ampun yah...", Dirga menangis sejadinya memohon ampunan ayahnya.

"Keluar kamu...!!!", pak Wiratama berteriak kesal.

"Yah... Dirga...", kata-kata Dirga terputus karena disela pak Wiratama.

"Keluar....!!!!", pak Wiratama berteriak dengan nada 7 Oktaf.

Dirga mengaku kalah kali ini, dia melepaskan rangkulannya dari kaki ayahnya. Kemudian melangkah perlahan menuju daun pintu, baru beberapa langkah Dirga merasa pusing. Tubuhnya ambruk tak sadarkan diri.

***

Erfly masih menyeruput jus stroberi yang dibelinya dikantin, kemudian duduk ditempat favoritnya. Erfly masih fokus menatap teman-temannya yang berlarian dilapangan basket.

Seorang gadis teman sekelas Erfly duduk menghampiri Erfly. Gadis dengan kulit putih, tinggi 160 cm, rambut panjang lurus hitam yang diikat kuncir kuda sepinggang.

"Erfly... ", gadis itu bicara malu-malu.

"Yah, kenapa Mayang...?", gadis ini memang beda dari teman sekelas lainnya. Selain jarang bicara, dia juga lebih sering sendiri, bahkan saking pemalunya dia lebih sering menundukkan kepalanya saat bertemu orang lain.

"Em...Erfly tau... Cakya... Kemana hari ini...? Kok tidak masuk...?", Mayang bertanya terbata-bata. Bahkan dia mengumpulkan segenap keberaniannya untuk bicara dengan Erfly.

"Oh... Kata Gama dia demam. Karena kemarin kehujanan, dan kemalaman kali pulang dari gunungnya", Erfly menjelaskan sekenanya.

"Em... Erfly... Pacaran sama Cakya...?", gadis itu bertanya ragu.

Erfly menghentikan proses minumnya, dengan tetap menggigit sedotan jusnya Erfly menatap Mayang penuh arti.

"Ke... Kenapa... Erfly ngeliat... Mayang begitu?", Mayang kembali menundukkan kepalanya menghindari tatapan mata Erfly.

"Mayang suka Cakya...?", Erfly balik bertanya, matanya tetap menatap Mayang menagih jawaban.

"Em... Mayang... Masuk ke sini, karena... Ngikutin Cakya", Mayang bicara jujur.

"Maksudnya...?", Erfly bertanya bingung tidak mengerti maksud arah omongan Mayang.

"Dari SD Mayang selalu dibuly, mungkin karena Mayang anak g'ak punya. Sekolah juga karena mengandalkan beasiswa. Sampai akhirnya Mayang lulus SD dan diterima jalur prestasi ke SMP, Mayang dapat beasiswa penuh. Mayang kira Mayang bisa lepas dari teman-teman yang suka ngebuly Mayang waktu SD, ternyata kita satu sekolah lagi. Suatu hari Mayang pernah disekap digudang, dan... Cakya yang nolongin Mayang. Dia juga ngancam yang ngebuly Mayang buat dilaporin ke kepala sekolah, karena Cakya ketua Osis jadi anak-anak takut sama dia. Sejak saat itu Mayang tidak pernah dibuly lagi", Mayang bercerita panjang lebar. Sesekali bibirnya tersenyum membayangkan wajah Cakya.

"Mayang suka sama Cakya...?", Erfly langsung bertanya keintinya. Entah kenapa hatinya terasa tercubit saat mengeluarkan pertanyaan itu.