webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · 若者
レビュー数が足りません
251 Chs

Cakya g'ak ngerti harus mencari Erfly kemana lagi kang

Cakya menarik nafas dalam sebelum menjawab pertanyaan dari kang Untung.

"Cakya bingung kang", Cakya mulai bicara jujur.

"Bingung kenapa...?", kang Untung bertanya santai, membuat suasana tenang agar Cakya merasa nyaman untuk bicara.

"Erfly menghilang", Cakya bicara dengan nada putus asa.

"Menghilang...? Maksudnya...?", kang Untung yang kali ini malah bertanya bingung.

"Minggu kemarin Cakya di Garut, dan semua baik-baik saja.

Terus... Akhirnya Cakya g'ak bisa datang ke rumah Erfly, karena Candra tunanganya Wulan harus dirawat di klinik.

Keesokan harinya, Erfly malah tidak bisa dihubungi. Cakya sudah mencarinya kemana-mana, bahkan Cakya datang kerumahnya, hanya ada pembantunya dirumah. Diapun tidak bisa menghubungi Erfly", Cakya bicara panjang lebar.

"Kalian ada masalah...?", kang Untung berusaha mengorek informasi dari Cakya.

Cakya menggeleng pelan, "Kita baik-baik saja kang. Bahkan Cakya selama di Garut lebih sering menghabiskan waktu bersama Erfly, ketimbang dihotel", Cakya bicara apa adanya.

Kang Untung diam seribu bahasa, entah apa yang ada di benak kang Untung sebenarnya.

"Cakya g'ak ngerti harus mencari Erfly kemana lagi kang", Cakya bicara dengan nada suara putus asa.

***

Candra masih asik bermain bersama malaikat kecil. Sudah hampir seminggu penuh Candra tidak bertemu dengan malaikat kecil karena kesibukannya.

Malaikat kecil berbaring dipaha Candra, meminum susunya dari dot. Candra mengusap pelan rambut halus malaikat kecil.

"Malika tidur di kamar yuk", Tasya mengajak malaikat kecil untuk pindah ke kamarnya.

Malaikat kecil malah menggeleng enggan.

"G'ak apa-apa, mungkin dia kangen sama Papinya, udah lama g'ak ketemu", Sinta menyela saat keluar dari arah ruang cuci.

"Tumben, mbak nyuci malam-malam...?", Tasya malah balik bertanya.

"Cucian kemarin selama di Garut, rencananya mau masukin Loundry. Lupa mulu...", Sinta menjawab asal. Kemudian menuju kearah dispenser.

"Kamu mau kopi dek...?", Sinta bertanya tiba-tiba.

"G'ak mbak, terima kasih. Candra lagi berusaha mengurangi kafein", Candra bicara pelan, dengan tetap mengusap pucuk kepala malaikat kecil.

"Gimana kerjaannya...? Udah betah belum...?", Candra bertanya pelan menatap kearah Tasya.

"Betah g'ak betah, namanya kerja sama orang", Tasya menjawab pelan.

"Tawaran Candra masih berlaku lho", Candra kembali mengingatkan Tasya.

Tasya hanya diam tidak merespon ucapan Candra.

"Candra ada benarnya Sya, kalau kamu kerja sama orang kamu harus bisa bagi waktu. Kasian malaikat kecil, dia masih butuh kamu", Sinta malah menimpali ucapan Candra.

"Tasya g'ak enak mbak, selama ini Tasya udah banyak ngerepotin", Tasya bicara dengan nada paling rendah, kepalanya tertunduk tidak berani menatap kewajah Candra ataupun Sinta.

"G'ak enak kasih kucing", Candra menjawab asal.

Candaan Candra disambut tawa renyah dari Sinta.

"Kalau g'ak kayak gini aja deh. Candra kasih modal untuk usaha, terserah sistemnya mau bagaimana. Hitung pinjaman, atau investasi. Atur saja mana enaknya", Candra kembali menawarkan opsi lain.

"Tasya udah banyak ngerepotin, Tasya...", Tasya tidak bisa melanjutkan ucapannya karena sudah disela oleh Candra.

"Candra harus jelasin bagaimana lagi, malaikat kecil itu keponakan Candra sendiri. Dan ayahnya udah nitipin malaikat kecil sama Candra", Candra kembali bicara penuh arti.

"Tapi... Dirga kan...", Tasya menelan ucapan selanjutnya.

"Yang ada itu mantan suami, g'ak ada sejarahnya mantan anak", Candra bicara dengan nada tegas.

Tasya tidak berani protes lagi.

"Malaikat kecil udah tidur dek...", Sinta mengalihkan tema pembicaraan.

Candra menatap lembut wajah polos malaikat kecil yang tidur dengan menggunakan kakinya sebagai bantal.

"Udah mbak", Candra bicara lembut.

"Biar Tasya pindahin ke kamar aja", Tasya mengangkat tubuh kecil malaikat kecil, kemudian berlalu menuju salah satu kamar.

"Kamu mau makan apa dek...?", Sinta kembali menawarkan.

"Ada makanan apa mbak...?", Candra melangkah perlahan menuju arah meja makan, kakinya terasa kebas karena tidak bergerak dalam waktu yang cukup lama, karena menjadi bantal untuk malaikat kecil.

"Tadi Tasya yang masak", Sinta bicara dengan nada tidak yakin.

Candra duduk di salah satu kursi menghadap ke meja makan, "Maaf mbak, minta piring", Candra bicara pelan.

Sinta yang sedang sibuk mengaduk minuman segera mengambil piring dan sendok, kemudian menyerahkan ketangan Candra.

"Terima kasih mbak", Candra berucap pelan, detik berikutnya tatapannya fokus pada makanan yang ada di hadapannya.

Tasya kembali ke meja makan, setelah memastikan malaikat kecil telah tidur dengan nyenyak.

"Ada yang kurang g'ak rasanya...?", Tasya bertanya lembut, kemudian duduk disalah satu kursi.

Candra mengacungkan jempol kanannya, "Sejauh ini g'ak pernah mengecewakan rasanya", Candra kembali memasukkan suapan besar kedalam mulutnya.

Sinta juga memilih duduk disamping Candra, menyeruput kopi buatannya.

"Kalau g'ak buka order ketringan aja, kan kamu udah banyak kenal pelanggan selama kerja...", Sinta mengusulkan.

"Tasya pikir-pikir dulu mbak", Tasya menjawab dengan kurang yakin.

"Atau... Toko kue kecil-kecilan biar g'ak repot. Kafe tempat nongkrong anak ABG juga cakep itu", Candra nyeletuk asal.

***

Kang Untung masih setia mendengarkan curhatan Cakya. Sesekali kang Untung menyeruput kopinya, diselingi dengan menghisap dalam rokoknya hanya untuk sekedar menghangatkan tubuh.

"Selama ini saya mengenal Erfly, dia bukan tipe orang yang berpikiran jongkok. Setiap langkah yang dia ambil dalam hidupnya, sudah menempuh pemikiran yang matang. Ya... Walaupun dia masih muda, akan tetapi... Jujur saja, dia satu-satunya anak muda yang penuh perhitungan yang pernah saya kenal seumur hidup saya", kang Untung memuji Erfly.

Kang Untung sudah mendengar banyak cerita tentang Erfly, terutama dari Gama. Bagaimana anak sekecil Erfly yang masih ingusan, sudah bisa punya usaha dimana-mana.

Setelah tahu latar belakang keluarga Erfly, tidak heran Erfly punya tekat yang kuat. Orang tua Erfly bukan orang sembarangan, pengusaha sukses, setelah ayahnya meninggal, Erfly langsung mengambil alih semua usaha ayahnya. Perusahaan dengan ribuan karyawan, properti yang tak terhitung nilainya.

Yang membuat kang Untung lebih kagum dengan bocah ingusan itu, bahkan Erfly sudah mendirikan rumah singgah di Bandung, persis disebelah rumah kang Untung dipelosok Bandung. Dia menampung anak yatim piatu, bahkan mendirikan yayasan agar mereka bisa sekolah gratis.

"Dia cewek tergila yang pernah Cakya kenal kang", Cakya malah menimpali ucapan kang Untung.

Kang Untung tertawa renyah mendengar ucapan Cakya. Kemudian mengangguk pelan, mengiakan ucapan Cakya.

"Ngomongin makhluk astral yang satu itu memang tidak akan ada habisnya", Kang Untung tiba-tiba berusaha menyudahi sesi curhat dengan Cakya.

Suasana hening seketika, kang Untung kembali menghisap dalam rokoknya.

"Cakya... Apa ada penyesalan dihati kamu mengenal Erfly...?", kang Untung tiba-tiba bertanya diluar dugaan Cakya.

"Maksud pertanyaan kang Untung...?", Cakya malah balik bertanya.

"Hidup kamu masih panjang Cakya, kalau saya boleh saran, kamu sebaiknya lanjutkan hidup kamu. Lupakan Erfly...", kang Untung bicara dengan nada suara paling pelan.

"Kang Untung tahu dimana Erfly saat ini...?!", Cakya tiba-tiba duduk dengan posisi siap, menatap penuh harap kewajah kang Untung.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Suasana terasa hening, hanya suara jangkrik yang mengisi kesunyian.