Cakya sampai dirumah dalam keadaan basah kuyup, bibirnya membiru menahan dingin. Ibu Cakya langsung memberikan handuk kepada Cakya saat Cakya muncul didaun pintu rumah.
"Ya ampun nak, kamu dari mana saja seharian...?", ibu Cakya bertanya cemas.
"Cakya capek, mau mandi terus istirahat", Cakya bicara dengan nada suara paling rendah, kemudian menuju kamar mandi.
Setelah mandi Cakya langsung berbaring diatas tempat tidur, Cakya tersenyum sendiri mengingat wajah Erfly yang makan seperti orang tidak bertemu nasi selama berhari-hari. Terdengar suara ketukan pintu.
"Mama masuk ya bang", ibu Cakya bicara setelah membuka pintu.
Ibu Cakya duduk dikursi kecil disamping tempat tidur. "Diminum dulu biar g'ak masuk angin", ibu Cakya menyerahkan teh hangat jahe kepada Cakya.
Cakya menghabiskan minuman tersebut tanpa protes. Kemudian Cakya menyerahkan kembali gelas ketangan ibunya.
"Abang sudah makan...?", ibu Cakya bertanya pelan.
Cakya hanya mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan ibunya.
"Ya sudah, abang istirahat", ibu Cakya kemudian meninggalkan Cakya agar bisa istirahat.
***
Pak Wiratama naik pitam, setelah dengan terpaksa menandatangani surat pemberhentian secara tidak hormat di kantor gubernur. Pak Wiratama memilih untuk kembali melakukan negosiasi dengan Gubernur Jambi.
Pak Wiratama dan Dirga menuju rumah makan, tempat pertemuan yang telah disepakati dengan Gubernur, pak Wiratama sengaja mengambil satu ruangan khusus agar tidak ada tamu lain yang mendengar percakapan mereka nantinya. Pak Wiratama menyalami gubernur saat muncul, kemudian mempersilakan untuk duduk.
"Silakan makan pak", pak Wiratama mempersilakan gubernur untuk menyantap makanan yang telah dipesan, dan memenuhi meja.
Mulai dari gurame asam manis, kepiting lada hitam, cumi saos padang, ayam goreng, telur balado, soto, belum cah kangkung jambal roti, beserta lalapan dan sambal.
Pak gubernur memberi isyarat kepada pelayan, dengan hormat pelayan perempuan menghampiri pak gubernur. "Bawakan saya air mineral dingin", pak gubernur memberi perintah.
"Baik pak", pelayan menjawab sopan. Dengan segera membawakan pesanan pak gubernur.
"Terima kasih", pak gubernur menerima pemberian pelayan, kemudian langsung meminum air mineral miliknya.
"Ada apa...?", pak gubernur bertanya dengan nada suara yang kurang bersahabat.
"Em... Sudah lama kita tidak makan bersama, saya tidak tahu lagi akan bertemu bapak kapan. Makanya saya putuskan untuk mentraktir makan malam, sebelum saya pulang bersama Dirga", pak Wiratama bicara basa-basi.
"Saya sudah makan sebelum kesini. Tadi ada pertemuan di kantor gubernur bersama kepala koperasi", pak gubernur langsung menolak.
"Tidak perlu basa-basi yang sudah basi. Ada apa anda ingin bertemu saya...?", pak gubernur kembali bertanya, nadanya kali ini terdengar semakin tidak bersahabat.
"Sekian lama pertemanan kita, bahkan ini masa jabatan saya periode kedua. Saya mau minta tolong, atas nama rekan kerja. Em...", omongan pak Wiratama tepotong karena pak gubernur sudah menyela.
"Kalau untuk membatalkan surat keputusan pemecatan kemarin siang saya tidak bisa. Itu bukan keputusan saya, tapi... memenuhi surat petisi yang ditandatangani oleh bawahan anda sendiri di kota", pak gubernur bicara apa adanya.
"Petisi...?"
"Iya, sebenarnya surat itu sudah saya terima 2 minggu yang lalu. Dan sesuai hasil rapat dengan staf akhirnya keputusan itu diambil"
"Saya..."
"Bukan wewenang saya lagi untuk menarik surat itu kembali"
"Em... Sepertinya anda tidak bisa diajak bicara baik-baik", pak Wiratama mulai geram.
"Justru sekarang saya sudah bicara sangat baik dengan anda", pak gubernur tidak menahan diri lagi melihat tingkah laku pak Wiratama yang tidak menunjukkan rasa hormat kepadanya.
"Anda jangan main-main dengan saya. Saya bisa tarik kembali bantuan saya kepada kota dan provinsi. Anda lupa berapa banyak orang yang akan menjadi pengangguran begitu saya menarik bantuan saya...?", pak Wiratama kali ini berusaha mengeluarkan kartu ASnya berusaha mengancam pak gubernur.
Bukannya takut, pak gubernur malah tersenyum penuh arti. "Sepertinya anda lupa, siapa yang memberikan izin usaha anda. Silakan anda tarik semua bantuan anda, kita bisa cari investor lain. Saat Anda menarik bantuan anda, saat itu juga tempat usaha anda akan langsung disegel. Izin usaha langsung dibekukan", pak gubernur bicara dengan nada paling rendah, akan tetapi kata-katanya langsung tepat menusuk jantung pak Wiratama.
"Pak gubernur, saya...", pak Wiratama gemetar ketakutan. Bahkan suaranya tidak mampu lagi melewati tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering.
"Saya rasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, saya permisi. Terima kasih atas traktiran air mineralnya", pak gubernur menggoyangkan botol minum yang masih digenggamnya. Kemudian berlalu pergi meninggalkan pak Wiratama dan Dirga dengan meja yang masih penuh makanan.
Pak gubernur langsung masuk kedalam mobilnya, "Dasar orang tidak punya malu, muka tembok", pak gubernur bicara kesal.
"Cari semua orang yang terlibat menanam saham diperusahaan Pak Wiratama. Kita lihat berapa lama dia mampu berlagak menjadi orang penting", pak gubernur memberikan perintah kepada ajudannya.
"Siap pak", ajudan pak gubernur menjawab santun.
***
Pak Wiratama terlihat semakin kesal menatap semua makanan diatas meja yang masih utuh. Bukan hanya kehilangan uang milyaran yang diinfestasikan untuk program koperasi membangun masyarakat daerah terpencil.
Pak Wiratama hampir saja dipaksa menutup usahanya. 'Sudah jatuh tertimpa tangga', bukan hanya dipecat dari jabatannya sebagai Walikota Sungai Penuh. Dia harus menanggung kerugian atas investasi uang yang tidak bisa ditarik lagi, bahkan sekarang izin usahanya nyaris saja dibekukan.
Pak Wiratama memutuskan untuk kembali pulang ke Sungai Penuh bersama Dirga. Dia tidak mau ambil resiko menemui pak gubernur lagi untuk melakukan negosiasi lanjutan. Alih-alih mendapatkan keuntungan, dia malah nanti harus gulung tikar usahanya.
***
Cakya tidak bisa tidur, dia mulai merasa gelisah. Badannya terasa panas, sedangkan dia malah menggigil seperti orang kedinginan.
Cakya melangkah keluar kamar, bermaksud ingin mengambil minum membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Seketika sekeliling Cakya terasa berputar, Cakya tidak bisa melihat apa-apa lagi pandangannya langsung gelap, tubuhnya jatuh kelantai.
"Abang...!!!", ibu Cakya berteriak saat melihat Cakya terkapar dilantai.
Ayah Cakya langsung menyusul istrinya saat mendengar teriakan panik istrinya. "Tio, bantu papa", ayah Cakya berteriak.
Tio langsung keluar dari kamar, kemudian membantu ayahnya memapah Cakya kembali ketempat tidur.
Ibu Cakya langsung mengompres Cakya dengan air hangat, keringat mengalir disekujur tubuh Cakya.
"Apa perlu kita bawa kerumah sakit ma...?", ayah Cakya bertanya cemas.
"Kita lihat dulu pa, kalau setelah dikompres panasnya masih tidak turun. Kita bawa kerumah sakit", ibu Cakya bicara pelan.
Cakya perlahan mulai sadar. Ibu Cakya langsung membantu Cakya untuk minum agar panasnya cepat turun.
"Abang demam, karena kelamaan dibawah hujan, sama cuaca diluar dingin g'ak pakai jaket bawa motor", ibu Cakya mengomeli Cakya.
Cakya tidak menanggapi, dia malah kembali memejamkan matanya. Tanpa sadar Cakya mengukir senyum dibibirnya. Ibunya malah mencubit Cakya gemas.