webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · 若者
レビュー数が足りません
251 Chs

Astagfirullah...

Erfly melangkah sangat pelan, berusaha keras agar tidak membuat suara sedikitpun. Erfly menuju arah dapur, terlihat punggung seorang wanita sedang sibuk di dapur.

"Maaf... Anda siapa...?", Erfly bertanya setengah berteriak saat hanya berjarak 2 meter di belakang wanita yang sedang membelakanginya saat ini.

Wanita itu membalikkan tubuhnya perlahan, menatap lembut wajah Erfly.

"Astagfirullah... Teh Nadhira...?", Erfly bicara lega, kakinya terasa lemas, beruntung seorang lelaki segera menangkap tubuh Erfly hingga tidak jatuh membentur meja makan.

Erfly duduk di lantai, kemudian menatap wajah orang yang menangkap tubuhnya.

"Aa...? Kok bisa disini...?!", Erfly bertanya bingung, kalau ingatan Erfly benar, lelaki ini adalah suami Nadhira.

Lelaki itu tidak menjawab, kemudian mengangkat tubuh Erfly di lengannya. Nadhira segera menarik salah satu kursi di meja makan, agar suaminya lebih gampang untuk menurunkan Erfly keatas kursi.

"Terima kasih Aa...", Erfly bicara pelan saat telah duduk dengan nyaman diatas kursi.

Nadhira kembali kearah dapur, kemudian keluar dengan masakannya. Dibelakang, suaminya menyusul dengan membawa makanan masakan istrinya.

Nadhira mengisi piring kosong yang ada di hadapan Erfly, kemudian kembali menyerahkan ketangan Erfly.

"Kenapa teteh sama Aa ada disini...?", Erfly kembali menagih jawaban.

Nadhira hanya tersenyum menjawab pertanyaan Erfly. Kemudian mengisi piring kosong suaminya dengan makanan, kemudian menyerahkan kepada suaminya.

Erfly balik menatap suami Nadhira menagih jawaban.

"Ini... Teteh kamu yang maksa ke sini", suami Nadhira menjawab santai, kemudian memasukkan makanan kedalam mulutnya.

Erfly kembali menatap Nadhira menagih jawaban.

"Teteh telfon Salwa, katanya dia lagi digusur ke Bali sama kamu. Terus... Teteh juga dapat kabar pak supir dikasih cuti 3 hari sama kamu. Makanya teteh kepikiran, karena bingung juga g'ak ada kerjaan, akhirnya teteh mutusin untuk kesini aja", Nadhira menjawab panjang lebar.

Erfly geleng-geleng kepala mendengar penjelasan Nadhira. Kemudian memasukkan makanan kedalam mulutnya.

Setelah makan, Erfly memilih untuk masuk kedalam ruangan kerjanya. Selang beberapa menit kemudian, Nadhira menyusul masuk.

Nadhira duduk dihadapan Erfly.

"Katanya kerjasama udah deal...? Kok bisa Ilen milih perusahaan itu...?", Nadhira tiba-tiba bertanya.

"Sesuai rekomendasi mbak Salwa", Erfly menjawab jujur.

Nadhira melemparkan senyumnya, "Hem... Pantes, Salwa langsung di gusur ke Bali, karena berhasil bikin deal proyek gede ternyata", Nadhira manggut-manggut pelan.

"G'ak gitu juga teh, kebetulan kuliahnya mbak Salwa libur, terus... Ilen pikir juga mbak Salwa udah lama g'ak ketemu keluarganya. Sekalian aja", Erfly menjawab santai.

"Teteh sendiri kok muncul...? Kan udah Ilen kasih cuti 2 minggu...?", Erfly malah balik bertanya.

"Bosen habisnya dirumah", Nadhira menjawab sekenanya.

Erfly malah tertawa terbahak-bahak, "Dasar maniak kerja", Erfly kembali tertawa.

"Si Aa juga besok berangkat ke Jakarta", Nadhira kembali menimpali.

"Teh... Kalau teteh mau, teteh konsentrasi saja sama Aa. Kasian atuh di Aa", Erfly tiba-tiba bicara diluar dugaan Nadhira.

"Kamu mecat teteh Len...?", Nadhira memasang wajah tegang, dia tidak pernah berfikir kalau hari ini akan menjadi hari terakhir dia bekerja dengan Erfly.

"Bukan gitu teh, maksud Ilen... Kasian si Aa kalau pergi sendiri. Masa udah punya istri masih ngurusin semuanya sendiri aja. Teteh sebagai istri juga punya kewajiban untuk ngurusin Aa", Erfly kembali menjelaskan maksud ucapannya sebelumnya, agar tidak terjadi salah paham.

"G'ak apa-apa Len, Aa g'ak mau menjadi penghalang dalam karirnya teteh kamu. Aa juga g'ak mau memaksakan kehendak Aa sama teteh kamu, biar saja dia menjalani hidupnya sesuai apa yang dia senangi", suami Nadhira entah sejak kapan muncul ke ruang kerja Erfly bicara panjang lebar.

"Beruntung teh Nadhira dapat suami kayak Aa", Erfly bicara pelan mengagumi suami Nadhira.

"Aa lagi Len yang beruntung bisa dapetin teteh kamu", suami Nadhira menjawab lembut.

***

Cakya melangkah perlahan menyusuri lorong kampus, belum juga Cakya sampai ke ruang yang dia tuju. Cakya sudah di hadang oleh seorang lelaki, Cakya ingat dengan pasti lelaki yang ada di hadapannya saat ini adalah Dimas, mantan tunangan bu Nanya.

"Bisa kita bicara sebentar...?", lelaki itu meminta dengan sopan kepada Cakya.

Cakya hanya mempersilakan lelaki itu untuk jalan didepannya. Lelaki itu memilih untuk duduk di salah satu bangku taman kampus, beruntung sekarang sudah sore, jadi tidak terlalu banyak mahasiswa yang berada di kampus.

Setelah duduk dengan nyaman, lelaki yang ada dihadapan Cakya mulai angkat bicara.

"Saya dan Nanya dijodohkan oleh orang tua", lelaki itu bicara lirih. Setelah tidak ada tanggapan dari Cakya, lelaki itu kembali menarik nafas panjang sebelum melanjutkan ucapannya.

"Jujur saja, saya tidak menyukai Nanya. Bukan karena latar belakang dia sebagai anak pembantu. Akan tetapi... Saya... Tidak mau mengecewakan Nanya", lelaki itu bicara lirih, terlihat gurat wajah kesedihan dari matanya yang dalam.

Cakya mengerutkan keningnya, tidak mengerti dengan maksud dari arah pembicaraan lelaki yang ada di hadapannya ini. Akan tetapi, Cakya tetap masih sabar menunggu ucapan lelaki yang ada di hadapannya saat ini.

"Saya mengidap kanker hati stadium akhir", lelaki yang ada dihadapan Cakya bicara lirih.

Cakya bengong, tidak tahu harus merespon apa atas ucapan lelaki yang ada dihadapannya saat ini.

"Saya sengaja, menyakiti Nanya dan keluarga. Agar mereka tidak sedih saat saya pergi. Tidak ada satupun keluarga yang tahu akan penyakit saya. Dan... Perempuan yang pernah saya perkenalkan sebagai pacar, itu... Dokter pribadi saya", lelaki itu bicara panjang lebar menjelaskan dirinya.

"Lalu, kenapa anda menjelaskan ini kepada saya...? Apa untungnya buat saya", Cakya bertanya dingin. Sejujurnya Cakya bingung dengan pola pikir lelaki yang ada dihadapannya saat ini, kenapa malah repot-repot menjelaskan dirinya kepada Cakya, bukannya kepada bu Nanya dan bahkan keluarganya sendiri.

"Saya titip Nanya", seperti petir disiang bolong, Cakya tidak menyangka kalau lelaki yang ada dihadapannya akan bicara seperti itu.

"Saya...? Kenapa harus saya...?", Cakya bertanya bingung, menagih penjelasan.

Lelaki yang ada di hadapan Cakya tidak langsung menjawab, melainkan dia tersenyum penuh arti sebelum melanjutkan ucapannya.

"Waktu pertama kali kita ketemu, kamu menolong Nanya tanpa pikir panjang. Saat itu aku tahu, kalau kamu bisa menjaga Nanya dengan baik. Aku ngikutin kamu mengantar Nanya sampai dirumah dengan selamat, dan... Aku... Selama ini g'ak pernah lihat tatapan Nanya begitu lembut ke seseorang. Nanya itu... Suka sama kamu", lelaki itu bicara panjang lebar.

"Cakya...?!", Cakya bertanya bingung, lelaki yang ada dihadapannya ini waras? Bagaimana mungkin bu Nanya bisa suka sama Cakya, hanya anak ingusan kemarin sore.

Cakya merasa tidak ada gunanya lagi pembicaraan ini dilanjutkan, Cakya beranjak dari posisi duduk, berniat meninggalkan lelaki yang ada di hadapannya.

"Setelah dari sini aku langsung ke Malaysia", lelaki itu tiba-tiba bicara.

Cakya menghentikan langkahnya, menoleh kebelakang menatap lekat wajah lelaki yang telah menghabiskan waktunya sia-sia.

"Menjalani perawatan intensif, aku tahu kemoterapi hanya untuk memperpanjang rasa sakit ku saja", lelaki itu bicara lirih.

Lelaki itu berdiri dan menyerahkan 2 amplop putih ketangan Cakya. "Tolong sampaikan surat ini ke Nanya, sampaikan permohonan maafku padanya", lelaki itu bicara dengan tangis tertahan.

"Kamu harus sampaikan ini sendiri kepadanya, tidak ada kewajiban Cakya untuk menyampaikan surat ini", Cakya bersikeras menolak permintaan lelaki yang ada di hadapannya.

Lelaki yang ada dihadapan Cakya tiba-tiba batuk, bahkan mulutnya memuntahkan darah segar. Detik berikutnya, tubuhnya limbung ditangkap oleh Cakya.