webnovel

Apa mungkin...?

Erfly masih berdebar menunggu kemungkinan jawaban dari Mayang.

Mayang masih tertunduk tidak berani menatap keatas, apalagi menatap wajah Mayang.

"Mayang tahu diri, orang seperti Mayang mana punya hak buat jatuh cinta"

"Mayang ngomong apa sih...? Orang seperti apa maksud Mayang...?"

"Orang g'ak punya, wajah juga jelek, cupu, bahkan temen aja g'ak punya", Mayang tertawa meremehkan dirinya sendiri sebelum melanjutkan kalimatnya. "Bisa sekolah disini saja sudah keajaiban buat Mayang"

"Hei... Ngomong apa sih? Erfly g'ak suka kalau Mayang ngomong gitu. Dimata tuhan kita itu sama g'ak ada kaya miskin, lagian siapa bilang Mayang jelek...? Kalau soal cupu, itu cuma Mayang aja yang suka merendahkan diri sendiri. Emang Erfly bukan temen Mayang...?"

"Hah... "

" Jangan suka menyudutkan diri sendiri. Kalau bukan kita yang menghargai diri kita, terus siapa lagi...? Mayang dibuly sama temen Mayang, itu karena Mayang yang ngasih kesempatan buat Mayang dibuly. G'ak ada ya yang berhak menyakiti kita, kecuali kita yang memberi mereka kesempatan untuk menyakiti kita. Ingat itu"

"Makasih... Butterfly... "

"Erfly saja, seperti yang lainnya"

"Em... Iya"

"Mayang jujur deh, gimana perasaan Mayang ke Cakya sebenarnya...?"

"Jauh sebelum Cakya nolongin Mayang, Mayang sudah sering meratiin Cakya. Tapi... Mayang g'ak pernah punya keberanian buat deketin Cakya"

"Mayang mau Erfly bantu...?"

"Apa mungkin...?"

"Kenapa g'ak...?!"

"Mana mungkin orang kayak Cakya bisa suka sama orang kayak Erfly"

"Belum kita coba, mana bisa kita tahu jawabannya"

"Cakya... Dia... Em... Erfly..."

"Erfly hanya temenan sama Cakya", entah kenapa seperti ada batu yang tiba-tiba menghimpit dadanya, saat mengucapkan kalimat itu, nafasnya terasa sesak, seolah oksigen tidak mampu menembus paru-parunya.

"Em... Sudah mau bel, Erfly mau ke toilet dulu"

"Iya"

Erfly menepuk pelan pundak kanan Mayang dengan tangan kirinya.

"Em... Erfly... "

"Yah...", Erfly menoleh menatap Mayang.

"Terima kasih", Mayang bicara disela senyumnya.

Erfly memaksakan senyumnya, kemudian melangkah menjauh dari Mayang secepat mungkin. Air mata Erfly mengalir tidak mampu dibendung lagi. Beruntung tidak ada orang di toilet, Erfly dengan segera mencuci mukanya, berharap jejak air matanya tidak bersisa.

***

Ibu Cakya menghampiri Cakya yang masih terbaring ditempat tidur. Tangan ibu Cakya diletakkan ke kening Cakya, untuk mengecek suhu tubuh Cakya.

"Sudah tidak panas lagi", ibu Cakya bicara pelan.

"Abang mau makan sekarang...?", ibu Cakya bertanya penuh perhatian.

Cakya hanya menggelengkan kepalanya pelan.

"Cakya haus", Cakya bicara dengan nada paling rendah.

Ibu Cakya langsung mengambil air yang telah disediakan di atas meja kecil disamping tempat tidur. Dengan hati-hati ibu Cakya membantu Cakya minum.

***

Sinta masih menikmati hari cutinya, dia duduk bersila dilantai masih asik mengutak-atik laptopnya. Sinta duduk menatap laporan di laptopnya, bibirnya melengkung kecil.

"Mbak... ", Tasya menghampiri.

"Yah... Kenapa dek...?", Sinta bertanya pelan mengalihkan tatapannya kepada Tasya.

"Mbak mau dimasakin apa hari ini...?", Tasya bertanya antusias.

"Kita makan diluar hari ini. Ada rumah makan ikan bakar favorit mbak, nanti kita kesana jam 12", Sinta melemparkan senyuman terbaiknya. Kemudian kembali menatap laptopnya.

"Kenapa mbak...? Sepertinya mbak seneng banget...?", Tasya bertanya penasaran.

"Mbak lagi nunggu bom waktu meledak"

"Hah...?"

"Kita lihat berapa lama lagi pak Wiratama bisa bertahan di kursi singgasananya..."

"Oh..."

"Mbak baru menerima laporan keuangan dari perusahaan cabang milik pak Wiratama yang ada dibeberapa kota. Hampir semua mengalami kerugian. Bahkan.... Mbak g'ak yakin dia mampu menggaji karyawan 3 bulan kedepan, kalau keadaannya masih seperti ini saja. Usaha pak Wiratama bisa gulung tikar"

"Kasian pak Wiratama"

"Itu karma dek"

"Hah... "

"Setiap perusahaan pak Wiratama didirikan dengan darah, entah berapa banyak nyawa yang sudah melayang karena keegoisannya. Berapa banyak anak yang kehilangan ayahnya, istri yang kehilangan suaminya demi memenuhi hasrat pak Wiratama. Dia bukan hanya licik, culas, bahkan tidak segan-segan menghabisi nyawa orang lain. Demi tujuannya bisa tercapai"

"Apa iya mbak...? Selama ini Tasya pikir dia orang baik, selalu peduli terhadap rakyat kecil"

"Semua hanya topeng. Mbak yang lebih tau seberapa bejatnya pak Wiratama. Belum lagi Dirga"

"Dirga...?"

"Kerjanya hanya main sama perempuan, menghamburkan harta kekayaan orang tuanya. Petantang-petenteng g'ak jelas. G'ak tau sudah berapa gadis yang dia tidurin"

"Mhk... "

"Mbak mau lihat bagaimana pak Wiratama bisa keluar dari semua ini"

HP Sinta berdering, Sinta langsung mengangkat telfon yang masuk. Sinta bingung karena tidak mengenal nomor siapa yang muncul di layar HPnya tidak ada namanya.

"Assalamualaikum", Sinta bicara pelan, mengira-ngira siapa yang menelfon.

"Wa'alaikumsalam...", terdengar suara dari sebrang telfon lirih.

"Ibuk, ada apa...?", Sinta kaget karena yang menelfonnya adalah istrinya pak Wiratama.

"Kamu dimana...?"

"Sinta dirumah buk, ada apa...?"

"Saya lagi jalan kepesawat, saya mau minta tolong kamu jaga Candra"

"Maaf, maksud ibuk...?"

"Saya berencana kembali ke Malaysia, saya juga lagi menunggu surat keputusan cerai dari pengadilan agama. Untuk sementara waktu, saya tidak akan kembali ke Indonesia. Makanya saya titip Candra"

"Saya..."

"Candra anak yang baik sebenarnya, dia... Hanya salah salah pergaulan. Tolong jaga dia, anggap dia sebagai adik kamu sendiri"

Sinta tidak tahu harus menjawab apa.

"Saya titip Candra nak, saya sudah di dalam pesawat sekarang. Saya tutup telfonnya. Assalamu'alaikum"

Telfon langsung terputus.

"Wa'alaikumsalam", Sinta bicara pelan. Otaknya masih belum bisa mencerna apa yang diucapkan oleh istri pak Wiratama.

***

Gama menyenggol bahu Erfly. "G'ak pulang kamu...?", Gama bicara bingung.

"Hah... Udah bel emang...?", Erfly melihat sekeliling kelasnya, sudah tidak ada siswa lagi. Erfly malah nyengir kuda, memamerkan giginya.

Gama malah duduk dikursi di depan Erfly, menghadap kebelakang.

"Dari tadi Gama perhatiin kamu aneh deh"

"Aneh gimana...? Ngawur"

"Sejak habis jam istirahat kamu seperti g'ak ada di sini. Ada apa...?"

"G'ak ada apa-apa"

"Atau ada yang salah dengan ucapan Mayang...?"

"Ma... Mayang...?", Erfly kaget mengapa Gama bisa tahu kalau dia berbicara dengan Mayang selama jam olahraga.

"Iya, kalian kan ngobrol pas jam olahraga. Apa ada yang salah...?"

"Ngaco aja. Balik yuk"

Erfly langsung merapikan bukunya, kemudian meletakkan tas kepunggungnya. Gama tidak bicara lagi, hanya mengikuti langkah Erfly menuju gerbang.

"Gama bawa motor...?", Erfly bertanya saat melewati lorong menuju gerbang.

"Hari ini g'ak", Gama bicara santai.

Erfly malah menyerahkan kunci motornya ketangan Gama. "Balik bareng Erfly saja", Erfly bicara pelan.

Gama menerima kunci motor Erfly, kemudian menuju parkiran, menjemput Erfly digerbang sekolah.

Bukannya pulang kerumahnya, Gama malah langsung menuju rumah Erfly.

"Erfly...!!!", Gama bicara setengah berteriak membuyarkan lamunan Erfly.

"Oh, udah nyampe ya", Erfly tersenyum malu. "Erfly langsung balik ya kalau gitu", Erfly bicara lagi.

"Mau balik kemana lagi non...?", Gama bicara santai.

Erfly menatap rumahnya. "Em... Kok malah langsung kesini, bukannya kerumah Gama dulu", Erfly berusaha mengalihkan pembicaraan.

Gama malah duduk dikursi yang ada diteras rumah Erfly.

"Gama laper, kalau balik g'ak ada makanan pastinya", Gama bicara santai.

Erfly tersenyum, "Dasar pengeretan", Erfly pura-pura kesal. Kemudian membuka pintu rumahnya, satelah masuk, Erfly kembali keluar dengan minuman dingin. Memberikan satu ketangan Gama.

"Kita makan di depan saja, Erfly juga g'ak sempat masak kali", Erfly bicara pelan, kemudian meneguk minuman dinginnya sendiri.