webnovel

Pohon besar bagus untuk tempat berteduh

Setelah memilah-milah hal-hal dalam benaknya, Aurel tiba-tiba merasa dirinya sangat nyaman berada di sofa. Beberapa saat berlalu dan Kevin masih belum kembali. Karena bosan menunggu, dia membuka berbagai majalah di meja kecil di sampinya.

Saat itu, rasa sakit yang dirasakannya di pipinya perlahan mulai mereda.

Beberapa saat kemudian, Kevin muncul kembali di depan Aurel.

Tubuhnya yang ramping namun kuat menyela sinar matahari yang menerangi wajah Aurel.

Aurel begitu tenggelam dalam aktifitasnya sehingga dia tidak memperhatikan kembalinya Kevin. Dia merenungkan perasaannya untuk Kevin. Mempertimbangkan, kelembutan, dan perhatian Kevin yang tampaknya melembutkan sikapnya juga. Dia tidak akan mengatakan bahwa dia mencintai Kevin, tetapi dia bisa merasakan sesuatu yang istimewa dihatinya. Dia tidak bisa menjelaskannya. Namun, Aurel merasa bahwa dia bisa lebih percaya diri jika Kevin berada di dalam hidupnya.

Atau, mungkin itu hanya rasa aman yang tidak bisa dia jelaskan.

Akhirnya Aurel merasakan kehadiran Kevin dan dia mendadak gelisah karena gugup. Karena dia tidak bisa merasionalisasi perubahan perasaannya pada Kevin, dia mulai merasa cemas.

Tangannya mengepal dan tidak dikepal tanpa sadar dan dia tidak memiliki keberanian untuk melihat Kevin.

Kevin berdiri untuk waktu yang lama tetapi tidak menerima tanggapan dari Aurel. Jadi dia berjongkok untuk bisa melihat Aurel.

Begitu Kevin menurunkan dirinya, Aurel memperhatikan kantong es di tangannya. Matanya melebar ketika dia menyadari mengapa Kevin pergi ke dapur. Perhatian Kevin menghangatkan hatinya.

"Letakkan ini di memarnya."

Bahu Aurel merosot mendengar nada dingin Kevin. Rasa dari nadanya, seolah dia tidak peduli dengan Aurel sama sekali.

Mungkinkah … kelemahlembutannya tersebut hanya pura-pura?

Kevin bertanya-tanya kenapa Aurel tidak mengambil es tersebut darinya. Apa yang dipikirkannya? "Apa kamu lebih suka jika aku yang menaruh es ini untukmu?" Dia bertanya.

Tanpa menunggu jawabannya, Kevin mengulurkan tangannya dan dengan lembut meletakkan kantong es di wajahnya. Aurel bingung dengan tindakannya dan dengan cepat meraih dan mengambil es tersebut dari Kevin.

"Mereka…"

Aurel berencana menjelaskan mengapa ayah dan saudara tirinya datang berkunjung. Baru saja dia memulai penjelasannya, Kevin sudah berdiri. Sepertinya dia tidak peduli untuk mendengarnya. Karena dia tidak tertarik, Aurel berhenti berbicara. Dia merasa, mungkin Kevin memiliki hal-hal yang lebih penting untuk dipikirkan sekarang.

"Aku pulang untuk mengambil barang-barangku. Aku tidak suka pengunjung kejutan di vilaku."

Kevin menjawab singkat. Aurel mengangguk linglung. Penjelasannya telah menyelesaikan rasa penasaran Aurel.

Karena Aurel sudah menganggap ini sebagai alasan yang masuk akal untuk kepulangannya, dia hanya menjawab dengan "Aku tahu."

"Aku tidak ingin ini terjadi lagi. Istriku seharusnya tidak dimanipulasi dan dihina oleh siapapun bahkan oleh keluarganya sendiri. Aku akan dipermalukan jika orang lain mengetahui hal ini."

'Apa?' Jean tertegun. 'Apa yang baru saja dia katakan? Istriku?'

"Tapi kita sudah sepakat untuk bercerai!"

Aurel mengingatkan Kevin. Dia terkejut dengan desakannya yang terus-menerus bahwa mereka akan tetap dalam hubungan menikah dan dia akan tetap menjadi 'Istri' Kevin. Kenapa dia tidak bisa berpegang pada persetujuan kontrak nikahnya sendiri sebelumnya?

"Cerai? Siapa yang mengatakan itu?"

Kevin memelototi Aurel. Meskipun dia bingung, sebagian dirinya merasa gembira karena mental Aurel tampaknya cukup sehat untuk kembali berdebat dengannya. Pikiran itu menyelesaikan kekhawatiran Kevin karena dia merasa bahwa dia tidak mengalami cedera besar atau kesedihan mental yang mendalam akibat kejadian akhir-akhir ini.

"Aku! Aku bilang kita akan bercerai. Dan kita sudah mencapai kesepakatan tentang itu, kan?"

Aurel merasa sedikit tidak berdaya. Beberapa hari yang lalu, mereka membicarakan perceraian. Mereka bahkan setuju untuk pergi ke pengadilan. Namun, Kevin tidak muncul untuk pertemuan mereka tersebut. Pada hari yang sama, dia mengambil dan menyembunyikan surat cerai milik Aurel. Tanpa itu, mereka tidak bisa bercerai.

"Kita sudah sepakat? Kenapa aku tidak ingat."

Kevin mengangkat alisnya dan bertanya dengan senyum genit.

Aurel heran dengan permainan Kevin. Dia tidak bisa berhenti memikirkan betapa tampannya pria itu ketika dia tersenyum. Pipinya yang halus dan matanya yang dalam benar-benar memikatnya. "Aku sangat beruntung menjadi istrinya."

Aurel terkejut oleh pikirannya sendiri. Dia menjadi gelisah dan gugup, dan sadar bahwa dia tidak bisa memandang Kevin untuk waktu yang lama sekarang.

Mengalihkan pandangannya ke lantai, dia menjawab dengan lemah lembut, "Ya, kita sudah sepakat. Kita sudah membahas ini berkali-kali sebelumnya. Kenapa kamu melakukan ini padaku?"

"Yah, lalu apa?"

Kevin merespons. Dia menggaruk dagunya dengan perenungan pura-pura. "Aku ingin mempertimbangkan kembali. Jika kamu tetap bersikeras, kamu bebas untuk menemukan pengacara untuk menyusun surat cerainya lagi sendirian. Tapi aku tidak akan menandatanganinya."

"Kamu …" Aurel dibuat terdiam.

Dia berpikir, 'Kevin benar-benar berengsek!'

Aurel marah dengan apa yang dikatakan Kevin. Setelah kejutan awal bisa dilaluinya dengan tetap tenang, Aurel tahu dia tidak akan mendapat apa-apa dari bertengkar dengan Kevin seperti ini. Karena ayahnya masih belum mendapatkan tanah yang dia dambakan, Aurel yakin bahwa keluarganya akan menimbulkan masalah lagi untuknya.

Kata-kata mutiara terlintas di benak Aurel dengan tiba-tiba dan itu membuatnya nyaman. "Pohon besar bagus untuk tempat berteduh." Aurel tahu bahwa Kevin akan menjadi 'pohon besar' yang sempurna untuknya. Dia lemah, tidak punya uang, dan tidak punya dukungan sekarang. Untuk menjadi lebih kuat, dia membutuhkan perlindungannya.

"Apa yang diperlukan untuk meyakinkanmu untuk bisa setuju kembali dengan perceraian? Aku bersumpah aku tidak akan meminta apa pun. Aku tidak membutuhkan rumahmu, mobilmu, atau uangmu. Satu-satunya hal yang aku inginkan, adalah perceraian." kata Aurel dengan nada lembut. Meskipun pikirannya menyebabkan wajahnya memerah karena malu, dia merasa senang telah memikirkan alternatif berbeda yang lebih terasa nyaman.

Kevin memelototi Aurel dengan jijik sebelum berjalan pergi. Dia bertingkah seolah-olah tidak ada yang terjadi barusan.

'Hmm, jangan keras kepala. Kita lihat saja. Cepat atau lambat, aku akan membuatmu menandatangani surat cerainya,' pikir Aurel.

Aurel merengut pada Kevin untuk meredakan amarah yang dirasakannya.

Kevin yang telah mencapai pintu, mendadak bisa merasakan tindakan Aurel. Secara naluriah, dia menoleh untuk menatap istrinya. Aurel tidak menyangka akan reaksi seperti itu dan dengan cepat memindahkan bungkusan es di tangannya untuk menyembunyikan ekspresinya. Dia menghindari kontak mata dengan Kevin seolah-olah tidak ada yang terjadi.

Kemudian Kevin pergi dengan sukacita di dalam hatinya.

Aurel tidak berani membuka mulut sampai dia yakin Kevin sudah pergi. Saat sendirian, Aurel bisa berpikir jernih. Bukankah Kevin mengatakan bahwa dia pulang untuk mengambil sesuatu. Tapi dia pergi lagi dengan tangan kosong.

Aurel mulai sadar bahwa Kevin tidak sepenuhnya jujur ​​padanya atas alasan kepulangan mendadaknya tersebut. Karena frustrasi, Aurel melempar bungkus es ke meja kopi.

Meskipun kesal dengan Kevin, Aurel tersentuh dengan tindakannya. Memikirkan Kevin yang membuat kantong es untuk memarnya.

***

Hal pertama yang Kevin lakukan setelah kembali ke kantornya adalah memerintahkan sekretarisnya untuk memanggil pengacaranya. Kemudian Kevin menyebutkan apa yang terjadi di luar vilanya kepada pengacara sebelum meminta pemberitahuan hukum untuk dikirimkan kepada tuan Harris Nugraha.

Setelah menyelesaikan urusan itu, Kevin akhirnya memiliki waktu untuk tenang.

'Aurel adalah istriku, istriku yang baik. Aku harus memastikan bahwa tidak ada yang menyakitinya. Bahkan jika orang yang ingin menyakitinya adalah keluarganya sendiri. Dan jika seseorang berani menyakiti Aurel, mereka harus menderita sebagai balasannya!'

Kevin bertekad untuk melindungi Aurel. Ketika dia memikirkan ayah Aurel dan perlakuannya, ekspresi Kevin menjadi dingin. Tiba-tiba, suara dari luar kantornya mengganggu Kevin. Dia mengerutkan kening pada gangguan tersebut.

Pada saat berikutnya, suara sekretaris Kevin dapat didengar dengan sopan saat berbicara kepada seorang pengunjung, "Nona Karina, anda tidak dapat memasuki kantor tanpa izin."