webnovel

Pernikahan Kontrak

"Ada apa dengan kalian? Apa kalian nggak punya TV di rumah? Mata kalian masih berfungsi dengan baik kan? Iklan seperti ini sudah banyak beredar!" Vian menggebrak meja karena tidak puas dengan kinerja tim kreatif saat ini.

Hilda, ketua dari tim kreatif hanya bisa diam dan menunduk setelah gagasan dari timnya ditolak oleh pimpinanya tersebut.

"Kalian nggak sedang menginginkan kenaikan gaji kan?" tanya Vian kemudian.

"Tidak pak," jawab semua tim kreatif serempak.

"Lakukan lagi dengan benar. Saya beri waktu sampai jam dua siang. Jika kalian belum menemukan ide yang bagus untuk proyek iklan ini, maka nggak ada yang boleh pulang hari ini," kata Vian kemudian berdiri dan pergi meninggalkan ruangan rapat.

Para tim kreatif bernapas lega setelah Vian keluar dari ruangan.

"Bukannya sebentar lagi pak Vian mau menikah? Aku kira dia akan sedikit berubah. Ternyata masih sama aja," desis salah seorang tim kreatif yang langsung di senggol lengannya oleh Hilda.

"Jaga bicaramu," bisik Hilda tidak enak karena mendapatkan tatapan sinis dari Arini.

Akhirnya mereka semua pergi meninggalkan ruangan rapat untuk kembali bekerja. Dan Arini adalah orang terakhir yang meninggalkan ruangan.

Dia kemudian mengejar langkah Vian hingga berhasil mensejajarkan kakinya di sebelah pria itu.

"Mereka membicarakanmu lagi," ucap Arini sambil memperhatikan reaksi dari wajah Vian.

"Bukannya udah biasa," jawab Vian dengan santai.

"Apa kamu benar-benar mau menikah dengan wanita asing itu?"

"Iya. Memangnya kenapa?"

"Apa kamu mencintainya?"

"Aku akan mencobanya." Vian tidak mengatakan jika pernikahannya dengan Mila hanyalah pernikahan kontrak. Namun Vian serius melakukannya.

"Aku tahu dia mirip dengan Delia. Tapi mereka tetap dua orang yang berbeda."

Vian menghentikan langkahnya dan menatap Arini dari samping.

"Aku bilang aku akan mencobanya." Setelah mengucapkan hal itu Vian meninggalkan Arini dan masuk ke dalam ruangannya.

Arini hanya bisa terdiam melihat punggung Vian yang kemudian menghilang di balik pintu.

"Kenapa kamu nggak mau mencoba buat menyukaiku?" gumamnya.

Arini adalah seorang Account Executive di perusahaan Vian. Dia juga teman baik pria itu saat masih kuliah. Arini bahkan sudah menyimpan perasaannya sejak kuliah hingga sekarang.

Bahkan saat Vian memutuskan menikah dengan Delia, Arini masih memendam perasaannya untuk pria itu. Dan setelah kepergian Delia, dia pikir dengan pelan ia akan bisa mengambil hati Vian. Namun ternyata tidak.

Dia harus menerima kenyataan pahit kembali saat Vian memutuskan menikah dengan wanita lain yang bahkan belum lama dia kenal.

*

"Kamu yakin mau menikah dengan pak Vian?" tanya Deni yang mencemaskan keputusan anaknya untuk menikah dengan atasannya tersebut. Ia tak tahu jika pernikahan itu ternyata hanyalah pernikahan kontrak dua tahun.

Deni berpikir jika dirinya tidak sakit, mungkin Mila tidak harus berhutang budi pada Vian yang tidak lain adalah atasannya di kantor.

"Mila yakin yah. Sepertinya dia orang yang baik. Mila yakin saat dia mau mendonorkan ginjalnya buat ayah," jawab Mila berusaha menenangkan perasaan ayahnya.

"Ayah harap kamu akan bahagia dengan pernikahanmu nanti. Kalau nggak, ayah nggak akan memaafkan diri ayah sendiri karena udah menyebabkan kamu harus seperti ini."

Mila memeluk ayahnya dan tersenyum agar ayahnya tidak perlu mencemaskannya lagi.

"Ayah nggak usah khawatir. Karena apapun yang terjadi, Mila akan tetap bahagia asalkan ayah hidup lebih lama."

"Ayah juga berharap, semoga pak Vian bisa kembali seperti dirinya yang dulu setelah dia menikah denganmu," batin Deni sambil mengelus rambut anak kesayangannya itu.

Malam harinya Mila tidak bisa memejamkan matanya. Dia sibuk menata hati untuk menghadapi pernikahannya yang akan dilaksanakan besok. Semoga keputusannya ini tidak salah dan dia juga berharap semua berjalan dengan lancar sampai masa kontraknya berakhir.

***

Sementara itu Vian masih berada di ruang rapatnya bersama dengan Arini dan tim kreatifnya. Dia memijit keningnya karena lelah dengan pekerjaan hari ini.

"Kamu harus pulang, bukannya besok hari pernikahanmu?" bisik Arini yang mendekatkan tubuhnya pada Vian yang duduk di sebelahnya.

"Tapi ini semua belum selesai."

"Besok bisa lanjutkan lagi. Lagipula mereka udah lelah." Arini membujuk Vian agar bisa sedikit memberi kelonggaran untuk hari ini.

Vian memperhatikan para karyawannya yang tampak lesu. Mungkin memang ada benarnya perkataan dari Arini.

"Baiklah, untuk hari ini kita sudahi sampai di sini. Kita lanjutkan lagi besok," kata Vian di hadapan karyawannya. Sontak mereka yang tadinya lesu akhirnya bisa bernapas lega karena sudah diijinkan untuk pulang.

*

"Kamu mau pulang bareng?" tanya Vian saat berpapasan dengan Arini yang masih menunggu taksi di depan kantor.

Arini menjawab dengan senyum kemudian menggeleng.

"Mana mungkin aku berduaan dengan pria yang besok mau menikah," jawabnya.

"Oke kalau itu maumu. Aku pergi duluan," kata Vian.

"Oh iya, selamat buat pernikahanmu," ucap Arini tiba-tiba berhasil membuat Vian berhenti melangkah.

"Seharusnya kamu ngucapin itu besok kan?"

"Maaf aku nggak bisa dateng besok." Arini masih mencoba tersenyum tegar di hadapan lelaki yang sangat ia sukai itu.

"Lagi? Pernikahanku yang dulu kamu juga nggak dateng. Kenapa?"

"Karena aku nggak bisa melihatmu bersanding dengan wanita lain," jawab Arini dalam hati.

Vian menunggu jawaban dari Arini yang masih terdiam.

"Tentu aja karena aku ada urusan lain," jawab Arini pada akhirnya.

"Walaupun aku nggak bisa datang, tapi aku tetap mendoakan yang terbaik buat kamu. Semoga kamu bisa bahagia dengan pilihanmu."

"Makasih Arini. Kamu emang temen baikku." Vian akhirnya meninggalkan Arini seorang diri di depan kantor.

Tetapi sebenarnya dia tidak benar-benar pergi dari sana. Vian menunggu di dalam mobil sampai Arini mendapatkan taksi untuk pulang. Karena sebenarnya dia adalah orang yang hangat.

Dia tidak mungkin meninggalkan temannya yang seorang wanita sendirian di tengah malam.

Setelah memastikan Arini sudah masuk ke dalam taksi. Vian menyalakan mobilnya dan pergi dari sana.

Dia sampai di rumah hampir pukul dua belas malam. Setelah selesai membersihkan diri, Vian berbaring di tempat tidurnya. Matanya menerawang ke atas langit-langit kamar. Memikirkan pernikahannya besok.

Apa dia bisa melupakan Delia jika dia menikahi Mila? Sebenarnya Vian menawarkan pernikahan kontrak pada Mila karena dia melihat harapan pada diri Mila. Namun Vian tidak mau terlalu mengikat wanita itu karena dia mungkin akan gagal melupakan Delia nanti.