"Pada suatu hari, impian ku pun tak akan dikenal lagi, namun disela-sela huruf sajak ini, kau tak akan letih-letih kucari."
Mikayla terdiam, isi surat itu telah dibacanya, tapi kali ini tidak ada bunga yang bermekaran di hartinya meski telah mengetahu isinya.
Mikayla berbaring perlahan, kalimat Aljuna sangat mengusik ketenangannya, dan terkaparnya Gavin di sekolah tadi telah menekan fikirannya.
"Apa benar aku yang salah, tapi apa, kenapa Kak Juna harus bicara seperti itu."
Mikayla memejamkan matanya dengan meremas kertas di tangannya, kenapa Mikayla harus mendapatkan itu dan dari siapa sebenarnya surat-surat itu.
"Mika," panggil Nina yang masuk dan duduk di samping Mikayla.
"Mika, kamu kenapa, ayo makan."
"Ibu duluan saja."
"Kamu kenapa, ada masalah apa, katanya kamu mau cerita sama Ibu."
Mikayla duduk dan mengahadap Nina, apa Mikayla ceritakan saja semuanya pada Nina, tapi bagaimana kalau Nina malah memarahinya.
"Kenapa, Sayang?"
Mikayla menunjukan kertas di tangannya, Nina membawanya dan membacanya, jadi Mikayla mendapatkan surat lagi, tapi kenapa tidak ada keceriaan seperti biasanya.
"Lalu kenapa, kamu gak senang?"
Mikayla menggeleng, apa yang harus dibuat senang, bukankah semua hanya jadi masalah saja.
"Kenapa, kamu sudah tahu pengirimnya siapa, dan kamu kecewa karena ternyata orangnya bukan yang kamu inginkan?"
"Aku gak tahu, Bu."
"Terus kenapa kamu seperti ini?"
"Tadi di sekolah, Kak Gavin sama Kak Juna berkelahi."
"Juna?"
"Yang tadi sore antar aku pulang."
"Oh .... terus?"
"Mereka berkelahi dan orang-orang mikir kalau aku penyebabnya, mereka berkelahi karena aku bareng Kak Gavin tadi pagi."
Nina mengernyit, lalu apa yang harus difikirkan Nina sekarang tentang mereka berdua.
"Bu, aku gak niat buat masalah sama mereka, aku gak tahu kalau mereka sedang ada masalah."
"Lalu bagaimana keadaan Gavin sekarang?"
"Yang jelas, lukanya lebih parah dari luka Kak Juna."
Nina menggeleng dan menahan nafasnya, dan apa yang sedang terjadi dengan mereka, Nina tidak yakin jika Mikayla adalah penyebab keributan mereka.
"Bu, aku takut, Bu."
"Takut apa?"
"Aku takut ejekan satu sekolah nantinya."
Nina tersenyum dan mengusap kepala Mikayla, tapi semua sudah terjadi dan Mikayla tidak bisa lari dari semua itu.
"Kalau kamu tidak salah, kenapa harus takut, mereka pasti memiliki masalah sendiri meski tidak melibatkan kamu."
"Tapi aku tidak dapat jawaban pastinya, aku tidak tahu apa benar itu salah aku atau bukan, aku hanya mau mereka jelaskan saja."
"Kalau mereka tidak mau jelaskan, berarti memang bukan kamu sumber masalahnya, mereka memiliki masalah pribadi hanya saja kebetulan kamu ada diantara mereka."
Mikayla diam, itu bisa saja benar, tapi tetap Mikayla ingin mendapatkan jawaban pasti dari mereka, atau mungkin salah satunya.
"Mika, kamu jangan terlalu memikirkan hal seperti itu, kamu harus fokus sama sekolah kamu, harus ingat kalau tujuan kamu datang kesana adalah untuk belajar."
"Aku ingat Bu, tapi kan tetap saja aku juga mau merasa nyaman disana, dan kalau ada masalah seperti ini gimana aku bisa merasa nyaman dan fokus."
"Iya, Ibu tahu, tapi kamu jangan terlalu memfokuskan diri kamu pada mereka, biarkan saja lambat laun semua pasti akan terbuka."
Mikayla kembali diam, mungkin Mikayla bisa dapatkan penjelasannya dari Gavin, tidak apa jika Aljuna tidak mau menjelaskan karena masih ada Gavin.
Lelaki itu pasti mau mengatakan semuanya pada Mikayla, bukankah Gavin sendiri yang datang pada Mikayla dan tidak mungkin Gavin berniat untuk membuat susah Mikayla.
"Sudahlah, sekarang lebih baik kamu makan, habis itu tidur kalau memang kamu tidak ada tugas sekolah."
"Ibu sudah makan?"
"Belum, kan Ibu tunggu kamu, kita makan sama-sama ya."
Mikayla tersenyum dan mengangguk, baiklah kalau memang seperti itu, lagi pula Mikayla juga merasa lapar sekarang.
"Mau kan?"
"Ya sudah, ayo makan."
Nina tersenyum, kedunya lantas bangkit dan berjalan keluar, Nina yakin Mikayla akan bisa selesaikan masalahnya.
Putrinya itu semakin dewasa dan pasti mengerti bagaimana cara atasi permasalahannya, apa lagi Nina yakin jika keadaan itu bukan salah Mikayla, semua pasti hanya kebetulan saja.
----
Devan meneguk minum yang disediakan untuknya, malam ini Devan ada di rumah Niara, sejak tadi Devan ada di rumah Niara.
Sejak melihat Mikayla selamat sampai di rumah, Devan mengantarkan Niara pulang dan sampai saat ini mereka masih bersama.
Niara yang hanya sendirian di rumah itu meminta Devan untuk menemaninya, dan Devan pun menyetujuinya karena memang dengan begitu Devan bisa berbincang banyak dengan Niara.
Sekarang mereka telah menikmati makan malamnya, karena ART Niara telah memasak untuk mereka, Devan senang berada di rumah itu karena memang rumahnya yang membuat nyaman.
"Devan, besok kita ke sekolah bareng saja, kamu kesini jadi gak usah diantar sopir."
"Yang ada juga kamu ke rumah aku, kan ke sekolah lewat sana."
Niara tersenyum dan mengangguk, benar juga apa yang dikatakan Devan, dan Niara telah melupakan semua itu.
"Tapi kamu mau kan?"
"Boleh saja, lagi pula kalau kamu datang ke rumah, Papah pasti percaya aku akan tetap ke sekolah."
"Kamu anak Papah banget ya?"
Devan mengangkat kedua bahunya sekilas, Devan memang begitu diperhatikan oleh papahnya, mungkin karena sudah tidak ada mamahnya lagi.
"Mamah kamu juga pasti turut memanjakan kamu?"
"Iya, tapi itu dulu."
"Dulu?"
"Sekarang, Mamah sudah tenang di surga, dan wanita yang sekarang bersama Papah tidak bisa menjadi seperti Mamah."
Niara diam, apa maksud Devan yang ada sekarang adalah mamah tirinya, Niara tidak pernah tahu tentang hal tersebut dan sekarang Devan mengatakannya.
"Ra," panggil Devan.
Niara mengangkat alisnya sekilas, Devan bisa katakan apa pun yang ingin dikatakannya.
"Kalau aku sering main kesini, gak apa-apa?"
"Memangnya kenapa?"
"Aku takut ganggu kamu saja."
"Ya enggaklah, kan kamu lihat sendiri sekarang seperti apa, aku selalu seperti ini ditinggal sendiri."
"Jadi, boleh?"
"Boleh, silahkan saja, aku jadi ada teman disini kalau kamu kesini."
Devan mengangguk, itu jawaban yang diinginkan Devan, dan Niara telah mengatakannya dengan sempurna.
"Memangnya, kamu juga gak ada teman di rumah?"
"Ada, aku ada saudara tiri, tapi aku gak begitu dekat sama dia, dan dia juga selalu pergi."
"Kamu anak satu-satunya?"
"Iya."
Niara tersenyum dan mengangguk, itu hal baru yang diketahuinya tentang teman barunya, Niara senang mengetahui hal itu karena dengan begitu Niara bisa lebih mengenal teman barunya itu.
"Ya sudah, aku pulang ya, Ra."
"Oke, terimakasih ya sudah mau temani aku."
"Sama-sama, besok jadi ya kamu ke rumah aku?"
"Tunggu aku kabari besok pagi ya."
"Oke, bye."
"Bye, hati-hati."